Konflik Bisnis Keluarga Bisa Hancurkan Usaha Puluhan Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Konflik terus mewarnai banyak perusahaan keluarga. Tidak hanya perusahaan besar banyak juga perusahaan kecil yang mengalami pecah kongsi antar saudara dalam menjalankan bisnisnya. Perlu tangan profesional untuk meminimalisir konflik dalam perusahaan keluarga.
Berbagai konflik disebut selalu menghantui sebuah perusahaan keluarga. Biasanya berawal mesra lalu berujung pecah kongsi. Salah satunya adalah ayam goreng merek Suharti. Pasangan suami-isteri pemilik jaringan restoran asal Yogyakarta tersebut, yakni Bambang Sachlan Praptohardjo dan Suharti akhirnya bercerai setelah 30 tahun menjalankan usaha bersama. Api persoalan pribadi pun menyambar ke urusan bisnis.
Konflik juga pernah melanda Blue Bird taksi yang berujung saling gugat ke pengadilan antara kakak beradik pada sekitar tahun 2004. Yang terbaru adalah yang melanda Grup Sinar Mas. Freddy Wijaya, salah satu anak dari pendiri Grup Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja menggugat 5 saudara tirinya. Freddy menggugat 5 saudara tirinya atas harta warisan berbagai perusahaan senilai Rp600 triliun yang ditinggalkan pendiri Grup Sinar Mas.
Konflik kerap terjadi di perusahaan keluarga menurut Peneliti strategi transformasi dan inovasi PPM School of Management Wahyu T Setyobudi karena kepentingan yang berbeda-beda. Tetapi konflik sejatinya memiliki dampak yang positif bila dosisnya tepat. (Baca: Pengacara Djoko Tjandra Temui Ketua MA, Jubir: Itu Silaturahmi Bukan Lobi)
Namun Wahyu menilai konflik yang pas akan jadi pendorong kinerja, asal sumber masalah bisa diselesaikan dan tidak berkepanjangan. "Khususnya untuk perusahaan yang dikuasai anggota keluarga konflik jadi masalah karena berubah menjadi masalah personal dengan sentimen. Konflik perusahaan yang biasa tapi malah jadi ruwet," jelas Wahyu.
Apa sih yang sesungguhnya terjadi pada konflik perusahaan keluarga. Wahyu menengarai karena hilangnya visi sang pendiri. Semua pendiri, khususnya perusahaan besar, lazimnya mempunyai kekuatan visi. Kekuatan visi yang menyatukan kekuatan keluarga dan menjadikannya solid untuk mencapai tujuan bersama mereka.
Namun seiring berjalannya waktu kemurnian visi turut luntur dengan ego masing-masing anggota keluarga. Kondisi ini dialami sebagian besar perusahaan. Dalam penelitian Lansberg, hanya kurang dari 30% perusahaan keluarga yang selamat pada generasi kedua. Bahkan hanya 10% yang bisa berlanjut ke generasi ketiga.
"Ini proses alamiah dan ini wajar. Sehingga sudah umum bila risiko ini juga harus disiapkan. Ada istilah Accidental Adversaries. Awalnya bersekutu karena kepentingan sama dan saling menguatkan. Namun karena perbedaan kepentingan lalu berkonflik. Ini siklus perusahaan keluarga," katanya.
Sementara untuk perusahaan keluarga yang melibatkan tenaga profesional kemungkinan akan lebih aman. Para profesional nonkeluarga akan bisa menjadi objek para anggota keluarga. "Kalau ada konflik pihak profesional akan jadi objek. Karena anggota keluarga kadang masih terlibat menekan. Karena tidak bisa menahan diri walaupun posisinya komisaris," tegas Wahyu. (Baca juga: Lawan WTO Soal Diskriminasi Sawit Indonesia, Dubes Pede Menang)
Lalu apa yang menjadi kunci sukses utama suatu perusahaan keluarga. Hal paling penting adalah tongkat estafet dari kekuatan visi pendiri harus terus dilanggengkan ke generasi berikutnya. Adalah tanggung jawab sang founder menciptakan sistem yang kokoh sehingga mengakar jadi kultur.
Untuk itu ada teknik yang sering digunakan, yaitu membangun artefak atau simbol-simbol warisan sang pendiri. Selain berbentuk fisik, ini juga dapat dalam bentuk habbit atau slogan. Bila semua disatukan akan terlihat sebuah visi, misi, dan budaya yang diwariskan. "Ini penting bila perusahaan keluarga ingin maju dan sustainable atau jangka panjang," papar Wahyu.
Ada juga opsi yang menggunakan pendekatan kemampuan profesionalisme dibanding status keluarga. Penghargaan berdasarkan kompetensi jadi lebih penting. Namun bila dipilah-pilah begitu juga akan memicu konflik baru lagi sehingga bila dipisahkan justru bercampur dengan sentimen yang kemudian menjadi bibit perpecahan. "Sebaiknya harus tegas saja, dipisahkan dari pihak keluarga. Bila mau bisnis bangun sendiri akan lebih nyaman," ujarnya. (Baca juga: AS Tes Rudak Hipersonik yang Melesat 17 Kali dari Kecepatan Suara)
Dalam kasus Sinarmas dirinya mengakui masalahnya ibarat api dalam sekam. Banyak orang sudah memprediksi akan muncul kobaran api suatu saat nanti seperti saat ini. Korban terbesar tentu saja adalah nama dan reputasi. Karena reputasi dibangun dengan kehandalan Sinarmas melewati waktu panjang.
Namun risikonya kini di mata masyarakat Sinarmas tidak bisa menangani konflik. Dampak langsungnya akan ada penurunan kepercayaan lalu berlanjut pengurangan revenue. Bahkan harga saham langsung drop. Perusahaan akan diliputi ketidakpastian dan penurunan kepercayaan.
Sebaiknya masalah seperti ini diselesaikan di dalam atau secara internal. Tapi ternyata kabarnya keluar dan saling merugikan. Langkah terbaik kini adalah dengan konsensus menggunakan konsultan arbitrase yang mampu mendamaikan.
"Momen ini adalah ujian sekaligus pendidikan kultur. Ujian bagi sebuah ikatan kekeluargaan. Bila berhasil lulus, tentu akan lebih kuat ikatannya. Karena ada bukti mereka bisa menyelesaikan konflik. Ini saat penentuannya," kata Wahyu. (Baca juga: Anies Minta Masyarakat Tidak Anggap remeh Kasus Covid-19)
Dimata pengamat bisnis Yuswohady karakter perusahaan keluarga lebih kompleks. Setidaknya ada tiga bentuk pengelolaan. Pertama bisnis dikelola profesional, kedua keluarga yang terlibat sebagian atau seluruhnya pada posisi tertentu. "Ketiga berbentuk ownership atau saham yang dibagi. Ini seperti perusahaan keluarga Sinarmas," papar Yuswohady.
Untuk model pertama menurutnya belum kompleks karena dimiliki generasi orangtua. Lalu masuk generasi kedua, ketiga, hingga keempat sehingga ini artinya ranting dari pohon keluarga semakin banyak bahkan hingga keponakan dan cucu.
Perusahaan keluarga pada umumnya menjadi rumit, khususnya di Indonesia mayoritas, kata Yuswo, karena tidak direncanakan secara matang. Awalnya hanya UKM sederhana namun terus sukses dan berkembang. Hal ini jarang direncanakan sejak awal. Terlebih bagi generasi yang lahir era 70an 80an yang minim pendidikan bisnis modern.
Namun generasi pebisnis di 90an mulai sudah paham bisnis bahkan khusus kuliah ke luar negeri. "Biasanya founder awalnya hanya enterpreneur yang modal nekat. Tapi model ini yang seringkali berhasil. Setelah usahanya semakin besar mungkin diatur, tapi pemilik mungkin tidak menyangka sizenya akan begitu," katanya. (Lihat videonya: Heboh! Pedagang Angkringan Cantik di Sragen Bikin Pembeli Gagal Fokus)
Kebiasaan yang jamak adalah pada saat pendiri masih aktif, tidak ada pihak keluarga yang berani mengusik. Namun akan menjadi masalah bila tidak diformalkan dan diatur soal kepemilikan. Bila tidak diatur oleh pendiri lalu masanya berganti dan kekuasaan terdistribusi ke generasi anak lalu cucu. "Mereka masing-masing punya hak klaim. Pihak founder dan generasi kedua seharusnya bikin ketentuan pembagian warisannya," tegas Yuswo.
Hal lain yang diingatkannya adalah masalah soliditas keluarga yang juga penting. Belum lagi bila founder memiliki istri banyak lalu memiliki anak tiri. Bila soliditas lemah tentu lebih berisiko. Bila ada anggota keluarga yang menguasai administrasi bisnis biasanya akan bagus dan governance bisa lebih disiapkan. "Kalau foundernya banyak istri dan setiap istri juga punya banyak anak lalu cucu kemungkinan besar tidak akan solid. Tapi kuncinya inisiatif dari pendiri. Fenomena yang sama seperti warisan. Hal biasa bisa membuat jadi saling curiga," pungkasnya.
Jadi bagi Anda yang memiliki usaha bersama keluarga, ada baiknya saran dari para pengamat diatas dicamkan dan diimplementasikan. Jangan sampai berujung konflik dan menghancurkan usaha yang telah dirintis puluhan tahun. (Hafid Fuad/Rakhmat Baihaqi)
Berbagai konflik disebut selalu menghantui sebuah perusahaan keluarga. Biasanya berawal mesra lalu berujung pecah kongsi. Salah satunya adalah ayam goreng merek Suharti. Pasangan suami-isteri pemilik jaringan restoran asal Yogyakarta tersebut, yakni Bambang Sachlan Praptohardjo dan Suharti akhirnya bercerai setelah 30 tahun menjalankan usaha bersama. Api persoalan pribadi pun menyambar ke urusan bisnis.
Konflik juga pernah melanda Blue Bird taksi yang berujung saling gugat ke pengadilan antara kakak beradik pada sekitar tahun 2004. Yang terbaru adalah yang melanda Grup Sinar Mas. Freddy Wijaya, salah satu anak dari pendiri Grup Sinar Mas, Eka Tjipta Widjaja menggugat 5 saudara tirinya. Freddy menggugat 5 saudara tirinya atas harta warisan berbagai perusahaan senilai Rp600 triliun yang ditinggalkan pendiri Grup Sinar Mas.
Konflik kerap terjadi di perusahaan keluarga menurut Peneliti strategi transformasi dan inovasi PPM School of Management Wahyu T Setyobudi karena kepentingan yang berbeda-beda. Tetapi konflik sejatinya memiliki dampak yang positif bila dosisnya tepat. (Baca: Pengacara Djoko Tjandra Temui Ketua MA, Jubir: Itu Silaturahmi Bukan Lobi)
Namun Wahyu menilai konflik yang pas akan jadi pendorong kinerja, asal sumber masalah bisa diselesaikan dan tidak berkepanjangan. "Khususnya untuk perusahaan yang dikuasai anggota keluarga konflik jadi masalah karena berubah menjadi masalah personal dengan sentimen. Konflik perusahaan yang biasa tapi malah jadi ruwet," jelas Wahyu.
Apa sih yang sesungguhnya terjadi pada konflik perusahaan keluarga. Wahyu menengarai karena hilangnya visi sang pendiri. Semua pendiri, khususnya perusahaan besar, lazimnya mempunyai kekuatan visi. Kekuatan visi yang menyatukan kekuatan keluarga dan menjadikannya solid untuk mencapai tujuan bersama mereka.
Namun seiring berjalannya waktu kemurnian visi turut luntur dengan ego masing-masing anggota keluarga. Kondisi ini dialami sebagian besar perusahaan. Dalam penelitian Lansberg, hanya kurang dari 30% perusahaan keluarga yang selamat pada generasi kedua. Bahkan hanya 10% yang bisa berlanjut ke generasi ketiga.
"Ini proses alamiah dan ini wajar. Sehingga sudah umum bila risiko ini juga harus disiapkan. Ada istilah Accidental Adversaries. Awalnya bersekutu karena kepentingan sama dan saling menguatkan. Namun karena perbedaan kepentingan lalu berkonflik. Ini siklus perusahaan keluarga," katanya.
Sementara untuk perusahaan keluarga yang melibatkan tenaga profesional kemungkinan akan lebih aman. Para profesional nonkeluarga akan bisa menjadi objek para anggota keluarga. "Kalau ada konflik pihak profesional akan jadi objek. Karena anggota keluarga kadang masih terlibat menekan. Karena tidak bisa menahan diri walaupun posisinya komisaris," tegas Wahyu. (Baca juga: Lawan WTO Soal Diskriminasi Sawit Indonesia, Dubes Pede Menang)
Lalu apa yang menjadi kunci sukses utama suatu perusahaan keluarga. Hal paling penting adalah tongkat estafet dari kekuatan visi pendiri harus terus dilanggengkan ke generasi berikutnya. Adalah tanggung jawab sang founder menciptakan sistem yang kokoh sehingga mengakar jadi kultur.
Untuk itu ada teknik yang sering digunakan, yaitu membangun artefak atau simbol-simbol warisan sang pendiri. Selain berbentuk fisik, ini juga dapat dalam bentuk habbit atau slogan. Bila semua disatukan akan terlihat sebuah visi, misi, dan budaya yang diwariskan. "Ini penting bila perusahaan keluarga ingin maju dan sustainable atau jangka panjang," papar Wahyu.
Ada juga opsi yang menggunakan pendekatan kemampuan profesionalisme dibanding status keluarga. Penghargaan berdasarkan kompetensi jadi lebih penting. Namun bila dipilah-pilah begitu juga akan memicu konflik baru lagi sehingga bila dipisahkan justru bercampur dengan sentimen yang kemudian menjadi bibit perpecahan. "Sebaiknya harus tegas saja, dipisahkan dari pihak keluarga. Bila mau bisnis bangun sendiri akan lebih nyaman," ujarnya. (Baca juga: AS Tes Rudak Hipersonik yang Melesat 17 Kali dari Kecepatan Suara)
Dalam kasus Sinarmas dirinya mengakui masalahnya ibarat api dalam sekam. Banyak orang sudah memprediksi akan muncul kobaran api suatu saat nanti seperti saat ini. Korban terbesar tentu saja adalah nama dan reputasi. Karena reputasi dibangun dengan kehandalan Sinarmas melewati waktu panjang.
Namun risikonya kini di mata masyarakat Sinarmas tidak bisa menangani konflik. Dampak langsungnya akan ada penurunan kepercayaan lalu berlanjut pengurangan revenue. Bahkan harga saham langsung drop. Perusahaan akan diliputi ketidakpastian dan penurunan kepercayaan.
Sebaiknya masalah seperti ini diselesaikan di dalam atau secara internal. Tapi ternyata kabarnya keluar dan saling merugikan. Langkah terbaik kini adalah dengan konsensus menggunakan konsultan arbitrase yang mampu mendamaikan.
"Momen ini adalah ujian sekaligus pendidikan kultur. Ujian bagi sebuah ikatan kekeluargaan. Bila berhasil lulus, tentu akan lebih kuat ikatannya. Karena ada bukti mereka bisa menyelesaikan konflik. Ini saat penentuannya," kata Wahyu. (Baca juga: Anies Minta Masyarakat Tidak Anggap remeh Kasus Covid-19)
Dimata pengamat bisnis Yuswohady karakter perusahaan keluarga lebih kompleks. Setidaknya ada tiga bentuk pengelolaan. Pertama bisnis dikelola profesional, kedua keluarga yang terlibat sebagian atau seluruhnya pada posisi tertentu. "Ketiga berbentuk ownership atau saham yang dibagi. Ini seperti perusahaan keluarga Sinarmas," papar Yuswohady.
Untuk model pertama menurutnya belum kompleks karena dimiliki generasi orangtua. Lalu masuk generasi kedua, ketiga, hingga keempat sehingga ini artinya ranting dari pohon keluarga semakin banyak bahkan hingga keponakan dan cucu.
Perusahaan keluarga pada umumnya menjadi rumit, khususnya di Indonesia mayoritas, kata Yuswo, karena tidak direncanakan secara matang. Awalnya hanya UKM sederhana namun terus sukses dan berkembang. Hal ini jarang direncanakan sejak awal. Terlebih bagi generasi yang lahir era 70an 80an yang minim pendidikan bisnis modern.
Namun generasi pebisnis di 90an mulai sudah paham bisnis bahkan khusus kuliah ke luar negeri. "Biasanya founder awalnya hanya enterpreneur yang modal nekat. Tapi model ini yang seringkali berhasil. Setelah usahanya semakin besar mungkin diatur, tapi pemilik mungkin tidak menyangka sizenya akan begitu," katanya. (Lihat videonya: Heboh! Pedagang Angkringan Cantik di Sragen Bikin Pembeli Gagal Fokus)
Kebiasaan yang jamak adalah pada saat pendiri masih aktif, tidak ada pihak keluarga yang berani mengusik. Namun akan menjadi masalah bila tidak diformalkan dan diatur soal kepemilikan. Bila tidak diatur oleh pendiri lalu masanya berganti dan kekuasaan terdistribusi ke generasi anak lalu cucu. "Mereka masing-masing punya hak klaim. Pihak founder dan generasi kedua seharusnya bikin ketentuan pembagian warisannya," tegas Yuswo.
Hal lain yang diingatkannya adalah masalah soliditas keluarga yang juga penting. Belum lagi bila founder memiliki istri banyak lalu memiliki anak tiri. Bila soliditas lemah tentu lebih berisiko. Bila ada anggota keluarga yang menguasai administrasi bisnis biasanya akan bagus dan governance bisa lebih disiapkan. "Kalau foundernya banyak istri dan setiap istri juga punya banyak anak lalu cucu kemungkinan besar tidak akan solid. Tapi kuncinya inisiatif dari pendiri. Fenomena yang sama seperti warisan. Hal biasa bisa membuat jadi saling curiga," pungkasnya.
Jadi bagi Anda yang memiliki usaha bersama keluarga, ada baiknya saran dari para pengamat diatas dicamkan dan diimplementasikan. Jangan sampai berujung konflik dan menghancurkan usaha yang telah dirintis puluhan tahun. (Hafid Fuad/Rakhmat Baihaqi)
(ysw)