Pelonggaran Moneter Diyakini Mampu Kurangi Tekanan Akibat Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyatakan, partisipasi Bank Indonesia (BI) dalam membantu pemerintah menalangi pembiayaan APBN tahun ini berdampak positif dalam mengurangi tekanan pertumbuhan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Meskipun relatif terlambat, membaiknya koordinasi dengan pemerintah akan memberikan sinyal positif di sektor keuangan.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kebijakan moneter BI yang lebih ekspansif tersebut sejalan dengan langkah-langkah bank sentral di negara-negara lain yang cenderung ekspansif di masa pandemi, diantaranya kebijakan quantitative easing untuk membiayai stimulus fiskal. Bahkan, beberapa bank sentral melakukan injeksi likuiditas langsung ke perekonomian dalam bentuk penyaluran pinjaman kepada UMKM dan pembelian surat utang korporasi.
"Likuiditas global yang berlimpah akibat kebijakan bank sentral yang ekspansif tersebut, membuka peluang aliran modal masuk ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia,yang menawarkan imbal hasil yang cukup tinggi," ujar Piter saat diskusi online CORE Midyear Review 2020 di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
(Baca Juga: Ikut Tanggung Beban Negara, BI Akan Beli SBN Rp397 Triliun Tahun Ini)
Dengan adanya aliran modal asing yang masuk, rupiah mengalami penguatan sejak bulan April dan saat ini cukup stabil di kisaran Rp14.000-an. Selain faktor likuiditas global yang melimpah, sambung Piter, faktor lain yang juga menurunkan tekanan pelemahan kepada rupiah adalah membaiknya current account yang dipicu oleh menurunnya impor akibat pembatasan aktivitas ekonomi di tengah wabah Covid-19.
Menurut dia, stabilnya rupiah memberi ruang kepada BI untuk terus melonggarkan kebijakan moneter. Selama tahun 2020 Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan, menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), dan melakukan pembelian SBN di pasar perdana.
Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah mengatakan, kebijakan moneter BI yang lebih ekspansif tersebut sejalan dengan langkah-langkah bank sentral di negara-negara lain yang cenderung ekspansif di masa pandemi, diantaranya kebijakan quantitative easing untuk membiayai stimulus fiskal. Bahkan, beberapa bank sentral melakukan injeksi likuiditas langsung ke perekonomian dalam bentuk penyaluran pinjaman kepada UMKM dan pembelian surat utang korporasi.
"Likuiditas global yang berlimpah akibat kebijakan bank sentral yang ekspansif tersebut, membuka peluang aliran modal masuk ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia,yang menawarkan imbal hasil yang cukup tinggi," ujar Piter saat diskusi online CORE Midyear Review 2020 di Jakarta, Selasa (21/7/2020).
(Baca Juga: Ikut Tanggung Beban Negara, BI Akan Beli SBN Rp397 Triliun Tahun Ini)
Dengan adanya aliran modal asing yang masuk, rupiah mengalami penguatan sejak bulan April dan saat ini cukup stabil di kisaran Rp14.000-an. Selain faktor likuiditas global yang melimpah, sambung Piter, faktor lain yang juga menurunkan tekanan pelemahan kepada rupiah adalah membaiknya current account yang dipicu oleh menurunnya impor akibat pembatasan aktivitas ekonomi di tengah wabah Covid-19.
Menurut dia, stabilnya rupiah memberi ruang kepada BI untuk terus melonggarkan kebijakan moneter. Selama tahun 2020 Bank Indonesia telah menurunkan suku bunga acuan, menurunkan Giro Wajib Minimum (GWM), dan melakukan pembelian SBN di pasar perdana.
(fai)