BI Diminta Wasapadai Dampak Kenaikan Suku Bunga The Fed
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom yang juga Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira meminta Bank Indonesia responsif terhadap keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve ( The Fed ) yang kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) menjadi 5,25-5,5%.
"Saya pikir BI harus responsif, satu hal memang harus ada penyesuaian suku bunga, kebijakan suku bunga ini kan juga untuk menahan arus modal asing yang keluar. Tapi mungkin kenaikannya hanya 25 basis points (bps) harapannya pada bulan Agustus nanti," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (27/7/2023).
Dikatakan Bhima, kebijakan BI juga harus diimbangi kebijakan lainnya seperti yang saat ini sudah ada, yaitu mewajibkan devisa hasil ekspor (DHE) paling sedikit 30% yang wajib ditempatkan dalam sistem keuangan dalam negeri minimal tiga bulan dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. Menurutnya, semua kebijakan yang saat ini ada itu harus didorong dan dimonitor secara terus-menerus.
Kedua, lanjutnya, Indonesia juga harus mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed akan berdampak pada biaya bunga, khususnya pinjaman valas yang akan semakin mahal. Katanya, kondisi itu juga bisa menimbulkan risiko pada sektor keuangan terutama pada perusahaan-perusahaan yang mungkin belum melakukan hedging terhadap utang luar negeri.
"Jadi BI dan OJK atau KSSK, harus stress test terus, harus melakukan antisipasi terhadap dampak masih agresifnya suku bunga The Fed ini terhadap stabilitas di sektor riil dan juga likuiditas perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki kewajiban utang valas terutama yang utang valasnya jatuh tempo tahun ini dan tahun depan," tukasnya.
Sebelumnya, Bhima juga telah memproyeksikan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuannya dua sampai tiga kali hingga akhir 2023. "Ya jadi ancaman kenaikan (suku bunga) The Fed ini berarti masih ada ruang mereka akan menaikkan lagi misalnya dua sampai 3 kali lagi di akhir 2023 atau pada semester kedua nanti," jelasnya kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (27/7/2023)
Menurut Bhima, kenaikan suku bunga The Fed ini menjadi indikasi bahwa inflasi di negara maju masih akan cukup tinggi. Menurutnya, hal itu kemudian akan berpengaruh terhadap devisa ekspor yang masuk. Sebab, negara-negara maju yang menjadi mitra dagang Indonesia masih menghadapi masalah tekanan ekonomi domestik, inflasi serta konsumsi domestik, termasuk misalnya permasalahan tenaga kerja.
Ia menambahkan, masalah kedua yaitu terkait arus modal keluar di portofolio yang juga harus diantisipasi karena akan dapat melemahkan nilai tukar rupiah.
"Jadi kalau The Fed terus agresif dan konsisten menaikkan suku bunga, sementara Bank Indonesia masih menahan suku bunganya ya akan terjadi flight-to-quality, akan mencari imbal hasil yang lebih menarik di mata investor global sehingga akan ada pergeseran keluar," jelasnya.
"Saya pikir BI harus responsif, satu hal memang harus ada penyesuaian suku bunga, kebijakan suku bunga ini kan juga untuk menahan arus modal asing yang keluar. Tapi mungkin kenaikannya hanya 25 basis points (bps) harapannya pada bulan Agustus nanti," ujarnya kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (27/7/2023).
Dikatakan Bhima, kebijakan BI juga harus diimbangi kebijakan lainnya seperti yang saat ini sudah ada, yaitu mewajibkan devisa hasil ekspor (DHE) paling sedikit 30% yang wajib ditempatkan dalam sistem keuangan dalam negeri minimal tiga bulan dari kegiatan pengusahaan, pengelolaan, dan/atau pengolahan sumber daya alam. Menurutnya, semua kebijakan yang saat ini ada itu harus didorong dan dimonitor secara terus-menerus.
Kedua, lanjutnya, Indonesia juga harus mengantisipasi kenaikan suku bunga The Fed akan berdampak pada biaya bunga, khususnya pinjaman valas yang akan semakin mahal. Katanya, kondisi itu juga bisa menimbulkan risiko pada sektor keuangan terutama pada perusahaan-perusahaan yang mungkin belum melakukan hedging terhadap utang luar negeri.
"Jadi BI dan OJK atau KSSK, harus stress test terus, harus melakukan antisipasi terhadap dampak masih agresifnya suku bunga The Fed ini terhadap stabilitas di sektor riil dan juga likuiditas perusahaan-perusahaan swasta yang memiliki kewajiban utang valas terutama yang utang valasnya jatuh tempo tahun ini dan tahun depan," tukasnya.
Sebelumnya, Bhima juga telah memproyeksikan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuannya dua sampai tiga kali hingga akhir 2023. "Ya jadi ancaman kenaikan (suku bunga) The Fed ini berarti masih ada ruang mereka akan menaikkan lagi misalnya dua sampai 3 kali lagi di akhir 2023 atau pada semester kedua nanti," jelasnya kepada MNC Portal Indonesia, Kamis (27/7/2023)
Menurut Bhima, kenaikan suku bunga The Fed ini menjadi indikasi bahwa inflasi di negara maju masih akan cukup tinggi. Menurutnya, hal itu kemudian akan berpengaruh terhadap devisa ekspor yang masuk. Sebab, negara-negara maju yang menjadi mitra dagang Indonesia masih menghadapi masalah tekanan ekonomi domestik, inflasi serta konsumsi domestik, termasuk misalnya permasalahan tenaga kerja.
Ia menambahkan, masalah kedua yaitu terkait arus modal keluar di portofolio yang juga harus diantisipasi karena akan dapat melemahkan nilai tukar rupiah.
Baca Juga
"Jadi kalau The Fed terus agresif dan konsisten menaikkan suku bunga, sementara Bank Indonesia masih menahan suku bunganya ya akan terjadi flight-to-quality, akan mencari imbal hasil yang lebih menarik di mata investor global sehingga akan ada pergeseran keluar," jelasnya.
(uka)