Rupiah Hampir Sentuh Rp16 Ribu, Mantan Menkeu Chatib Basri Bilang BI Punya 3 Opsi Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonom senior, Chatib Basri menilai pelemahan rupiah yang saat ini terjadi tidak terlepas dari adanya tekanan pasar keuangan global. Seperti diketahui, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) sempat hampir menyentuh Rp16.000 pada awal pekan ini.
Diakui Chatib, saat ini ekonomi dunia memang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Karena dalam satu bulan terakhir terlihat bahwa tingkat imbal hasil atau bond yield di US Treasury meningkat tajam. Menurutnya, hal ini pun berbeda dengan fenomena kenaikan bon yield akibat kekhawatiran tingginya laju inflasi.
"Kalau argumennya ketakutan mengenai inflasi, maka seharusnya kita melihat ada kecendrungan di AS inflasi headlinenya sudah mulai agak rendah, corenya juga. Tapi kenapa tiba-tiba bond yieldnya naik? Ekspetasinya bahwa di AS less likely terjadi resesi saat ini, kelihatan dari numbernya yang sangat strong," tuturnya ketika ditemui di Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Selain itu, Mantan Menteri Keuangan ini juga menilai bahwa saat ini pemegang obligasi di AS telah melihat risiko dari resesi sehingga mengakibatkan suplai dari obligasi di AS naik, sementara permintaan mengalami penurunan.
Menurutnya, kelebihan pasokan obligasi ini pun berakibat pada harga obligasi di AS yang mengalami penurunan sangat tajam dimana yield obligasi di AS ini sempat mengalami kenaikan kemarin sampai 5%, namun balik lagi ke level 4,84% saat ini.
Lebih lanjut, Chatib menilai arah kebijakan yang dilakukan BI saat ini yaitu meredam volatilitas di pasar keuangan. Menurutnya BI memiliki tiga opsi, di antaranya melepas rupiah jadi membiarkan terjadinya pelemahan, menaikkan tingkat suku bunga atau melakukan manajemen capital flow.
"Opsinya hanya 3 itu, atau kombinasi dari 3 itu. Nah sekarang kalau saya liat kecenderungan yang terjadi di AS, maka dugaan saya bahwa interest ratenya masih akan naik," urainya.
Namun demikian, Chatib menilai, tingkat depresiasi rupiah sejatinya masih relatif sangat kecil yakni hanya sekitar 2% atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya seperti Malaysia dan Jepang.
"Situasi kita tidak seburuk yang terjadi di 2013. Saya tidak terlalu khawatir sebetulnya, karena rupiah kita dibanding currency lain, depresiasinya sebetulnya relatif kecil hanya 2%, bandingkan dengan ringgit Malaysia sekitar 8% atau yen Jepang," pungkasnya.
Baca Juga
Diakui Chatib, saat ini ekonomi dunia memang dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Karena dalam satu bulan terakhir terlihat bahwa tingkat imbal hasil atau bond yield di US Treasury meningkat tajam. Menurutnya, hal ini pun berbeda dengan fenomena kenaikan bon yield akibat kekhawatiran tingginya laju inflasi.
"Kalau argumennya ketakutan mengenai inflasi, maka seharusnya kita melihat ada kecendrungan di AS inflasi headlinenya sudah mulai agak rendah, corenya juga. Tapi kenapa tiba-tiba bond yieldnya naik? Ekspetasinya bahwa di AS less likely terjadi resesi saat ini, kelihatan dari numbernya yang sangat strong," tuturnya ketika ditemui di Jakarta, Selasa (24/10/2023).
Selain itu, Mantan Menteri Keuangan ini juga menilai bahwa saat ini pemegang obligasi di AS telah melihat risiko dari resesi sehingga mengakibatkan suplai dari obligasi di AS naik, sementara permintaan mengalami penurunan.
Menurutnya, kelebihan pasokan obligasi ini pun berakibat pada harga obligasi di AS yang mengalami penurunan sangat tajam dimana yield obligasi di AS ini sempat mengalami kenaikan kemarin sampai 5%, namun balik lagi ke level 4,84% saat ini.
Lebih lanjut, Chatib menilai arah kebijakan yang dilakukan BI saat ini yaitu meredam volatilitas di pasar keuangan. Menurutnya BI memiliki tiga opsi, di antaranya melepas rupiah jadi membiarkan terjadinya pelemahan, menaikkan tingkat suku bunga atau melakukan manajemen capital flow.
"Opsinya hanya 3 itu, atau kombinasi dari 3 itu. Nah sekarang kalau saya liat kecenderungan yang terjadi di AS, maka dugaan saya bahwa interest ratenya masih akan naik," urainya.
Namun demikian, Chatib menilai, tingkat depresiasi rupiah sejatinya masih relatif sangat kecil yakni hanya sekitar 2% atau jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lainnya seperti Malaysia dan Jepang.
"Situasi kita tidak seburuk yang terjadi di 2013. Saya tidak terlalu khawatir sebetulnya, karena rupiah kita dibanding currency lain, depresiasinya sebetulnya relatif kecil hanya 2%, bandingkan dengan ringgit Malaysia sekitar 8% atau yen Jepang," pungkasnya.
(akr)