Tak Ada Faedah, GINSI Tolak Biaya Survei Peti Kemas di Depo Empty
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) menilai kegiatan survei peti kemas di depo empty yang biayanya dibebankan kepada importir di pelabuhan atau pemilik barang merupakan malpraktik bisnis logistik yang mesti dihentikan.
Selain itu, GINSI meminta tarif container freigh station (CFS) di kawasan lini 2 pelabuhan Tanjung Priok juga perlu ditertibkan karena cenderung menerapkan tarif semaunya dan tanpa kontrol.
Wakil Ketua Umum bidang Logistik BPP GINSI Erwin Taufan mengatakan, pihaknya menerima aduan dari para importir berkaitan dengan rencana operator depo empty yang tergabung dalam Asdeki untuk melakukan survei berbiaya yang akan di bebankan kepada pemilik barang.
(Baca Juga: Mesin Industri Logistik Mati 90%, Panasinnya Lama Jika PSBB Lagi)
Padahal, imbuhnya, kegiatan tersebut tanpa memberikan manfaat buat importir, sehingga hal ini semakin memperlihatkan bahwa pengelola depo empty semakin semaunya dalam berkegiatan bisnisnya.
"Kami melihat survei seperti itu tidak ada manfaatnya bagi pemilik barang, apalagi jika berbayar. Sebaiknya Asdeki fokus beresin tarif layanan lift on-lift off (LoLo) di depo yang tinggi dan cenderung sesukanya lantaran tidak ada keseragaman tarif layanan itu di depo empty, bahkan ada yang tarifnya sampai Rp 600.000 per kontainer kosong ukuran 20 feet," ujar Taufan kepada wartawan, Sabtu (22/8/2020).
Dia menegaskan, selain itu biaya logistik yang paling tinggi dan cenderung semaunya juga terjadi pada layanan logistik di luar pelabuhan seperti CFS lini 2. "Di CFS Lini 2 Priok hingga kini masih tidak terkendali tarifnya. Sedangkan di depo empty bahkan untuk tarif lolo dan claim kerusakan di terapkan sesukanya. Makanya menurut GINSI jika pemerintah serius ingin menurunkan biaya logistik nasional maka benahi pengenaan tarif di kedua tempat tersebut," tandas Taufan.
(Baca Juga: GINSI Apresiasi Inpres Pembenahan Logistik dan Pengetatan Impor)
Ketua Umum BPP GINSI, Capt Subandi mengatakan asosiasinya siap menyampaikan data tentang pengenaan tarif di kedua tempat pelayanan peti kemas importasi tersebut yang sangat membenani pemilik barang dan menciptakan cost logistik nasional semakin sulit terkendali.
"Kami juga akan melaporkan ke pihak yang berwenang seperti Ombudsman RI dan Kementerian maupun Lembaga (K/L) terkait untuk segera merespon dan menindaklanjuti persoalan tessebut," ujar dia.
Selain itu, GINSI meminta tarif container freigh station (CFS) di kawasan lini 2 pelabuhan Tanjung Priok juga perlu ditertibkan karena cenderung menerapkan tarif semaunya dan tanpa kontrol.
Wakil Ketua Umum bidang Logistik BPP GINSI Erwin Taufan mengatakan, pihaknya menerima aduan dari para importir berkaitan dengan rencana operator depo empty yang tergabung dalam Asdeki untuk melakukan survei berbiaya yang akan di bebankan kepada pemilik barang.
(Baca Juga: Mesin Industri Logistik Mati 90%, Panasinnya Lama Jika PSBB Lagi)
Padahal, imbuhnya, kegiatan tersebut tanpa memberikan manfaat buat importir, sehingga hal ini semakin memperlihatkan bahwa pengelola depo empty semakin semaunya dalam berkegiatan bisnisnya.
"Kami melihat survei seperti itu tidak ada manfaatnya bagi pemilik barang, apalagi jika berbayar. Sebaiknya Asdeki fokus beresin tarif layanan lift on-lift off (LoLo) di depo yang tinggi dan cenderung sesukanya lantaran tidak ada keseragaman tarif layanan itu di depo empty, bahkan ada yang tarifnya sampai Rp 600.000 per kontainer kosong ukuran 20 feet," ujar Taufan kepada wartawan, Sabtu (22/8/2020).
Dia menegaskan, selain itu biaya logistik yang paling tinggi dan cenderung semaunya juga terjadi pada layanan logistik di luar pelabuhan seperti CFS lini 2. "Di CFS Lini 2 Priok hingga kini masih tidak terkendali tarifnya. Sedangkan di depo empty bahkan untuk tarif lolo dan claim kerusakan di terapkan sesukanya. Makanya menurut GINSI jika pemerintah serius ingin menurunkan biaya logistik nasional maka benahi pengenaan tarif di kedua tempat tersebut," tandas Taufan.
(Baca Juga: GINSI Apresiasi Inpres Pembenahan Logistik dan Pengetatan Impor)
Ketua Umum BPP GINSI, Capt Subandi mengatakan asosiasinya siap menyampaikan data tentang pengenaan tarif di kedua tempat pelayanan peti kemas importasi tersebut yang sangat membenani pemilik barang dan menciptakan cost logistik nasional semakin sulit terkendali.
"Kami juga akan melaporkan ke pihak yang berwenang seperti Ombudsman RI dan Kementerian maupun Lembaga (K/L) terkait untuk segera merespon dan menindaklanjuti persoalan tessebut," ujar dia.
(fai)