Diguncang Kudeta, Ekonomi Bangladesh Rugi hingga Rp158 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Ekonomi Bangladesh mendapatkan pukulan telak usai protes mahasiswa mengguncang politik dan kondisi sosial di negara tersebut hingga membuat Perdana Menteri Sheikh Hasina lengser. Akibat kudeta , Ekonomi domestik diperkirakan menelan kerugian hingga mencapai miliaran dolar.
Meski telah muncul nama pemimpin baru, yakni Nobel Muhammad Yunus untuk menahkodai pemerintahan sementara di Dhaka, namun banyak pelaku bisnis masih waswas. Banyak dari pebisnis yang takut untuk menghadapi apa yang terjadi selanjutnya karena peristiwa ini tidak pernah diprediksi.
"Sangat sedikit yang memperkirakan situasi akan berubah seperti ini. Bangladesh telah mengalami banyak kudeta, tetapi baru ini yang memiliki kekuatan besar. Sekarang kita berada di wilayah yang belum dipetakan," kata Wakil Presiden Penelitian dan Strategi di Asia Pacific, Vina Nadjibulla dikutip dari Al-Jazeera, Kamis (8/8/2024).
Presiden Kamar Dagang dan Industri Investor Asing (FICCI), Zaved Akhtar mengatakan, bahwa ekonomi Bangladesh telah menderita kerugian sebesar USD10 miliar atau setara Rp158 triliun akibat protes mahasiswa dan pemberlakuan jam malam serta pemutusan komunikasi.
Reuters melaporkan bahwa beberapa pabrik garmen, pemberi kerja utama dan penghasil pendapatan bagi negara Asia Selatan tersebut, telah dibuka kembali setelah empat hari tutup. Pada saat yang sama, ada kekhawatiran akan kerusakan pada perdagangan karena setidaknya satu produsen pakaian India di Bangladesh mengatakan akan mengalihkan produksinya ke India untuk sisa tahun ini.
“Mereka yang melihat Bangladesh sebagai strategi China+1 yang menarik … ketidakstabilan politik ini menimbulkan tanda tanya di sekitarnya dan membuatnya lebih mendesak untuk memulihkan hukum dan ketertiban sehingga rantai pasokan tidak semakin terdampak,” kata Nadjibulla.
Meskipun tujuan langsung dari pemerintah sementara adalah untuk memulihkan hukum dan ketertiban, pada akhirnya mereka harus membuat rencana untuk mengatasi tekanan ekonomi yang mendorong protes. Hal itu diungkapkan oleh Direktur South Asia Institute, Michael Kugelman di Wilson Center.
Untuk diketahui, sekitar 67% dari 170 juta penduduk Bangladesh berusia 15-64 tahun, dan lebih dari seperempatnya berusia antara 15 dan 29 tahun, menurut Organisasi Perburuhan Internasional. Negara ini telah membuat kemajuan yang mengesankan berkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,25% per tahun selama dua dekade terakhir.
Meski telah muncul nama pemimpin baru, yakni Nobel Muhammad Yunus untuk menahkodai pemerintahan sementara di Dhaka, namun banyak pelaku bisnis masih waswas. Banyak dari pebisnis yang takut untuk menghadapi apa yang terjadi selanjutnya karena peristiwa ini tidak pernah diprediksi.
"Sangat sedikit yang memperkirakan situasi akan berubah seperti ini. Bangladesh telah mengalami banyak kudeta, tetapi baru ini yang memiliki kekuatan besar. Sekarang kita berada di wilayah yang belum dipetakan," kata Wakil Presiden Penelitian dan Strategi di Asia Pacific, Vina Nadjibulla dikutip dari Al-Jazeera, Kamis (8/8/2024).
Presiden Kamar Dagang dan Industri Investor Asing (FICCI), Zaved Akhtar mengatakan, bahwa ekonomi Bangladesh telah menderita kerugian sebesar USD10 miliar atau setara Rp158 triliun akibat protes mahasiswa dan pemberlakuan jam malam serta pemutusan komunikasi.
Reuters melaporkan bahwa beberapa pabrik garmen, pemberi kerja utama dan penghasil pendapatan bagi negara Asia Selatan tersebut, telah dibuka kembali setelah empat hari tutup. Pada saat yang sama, ada kekhawatiran akan kerusakan pada perdagangan karena setidaknya satu produsen pakaian India di Bangladesh mengatakan akan mengalihkan produksinya ke India untuk sisa tahun ini.
“Mereka yang melihat Bangladesh sebagai strategi China+1 yang menarik … ketidakstabilan politik ini menimbulkan tanda tanya di sekitarnya dan membuatnya lebih mendesak untuk memulihkan hukum dan ketertiban sehingga rantai pasokan tidak semakin terdampak,” kata Nadjibulla.
Meskipun tujuan langsung dari pemerintah sementara adalah untuk memulihkan hukum dan ketertiban, pada akhirnya mereka harus membuat rencana untuk mengatasi tekanan ekonomi yang mendorong protes. Hal itu diungkapkan oleh Direktur South Asia Institute, Michael Kugelman di Wilson Center.
Untuk diketahui, sekitar 67% dari 170 juta penduduk Bangladesh berusia 15-64 tahun, dan lebih dari seperempatnya berusia antara 15 dan 29 tahun, menurut Organisasi Perburuhan Internasional. Negara ini telah membuat kemajuan yang mengesankan berkat pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,25% per tahun selama dua dekade terakhir.