Melawan Hegemoni Ekonomi AS, Negara Asia Berbondong-bondong Berminat Gabung BRICS
loading...
A
A
A
JAKARTA - Negara-negara asal Asia Tenggara berbondong-bondong mengajukan minat untuk bergabung dengan BRICS yang awal berdirinya hanya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. Namun dalam beberapa tahun terakhir, blok negara berkembang itu semakin berusaha memposisikan dirinya sebagai suara dari apa yang disebut Global South.
Istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan ekonomi berkembang pascakolonial. Ini adalah argumen yang meningkat sejak perang Rusia Ukraina pecah pada tahun 2022, lalu yang menyoroti kekuatan AS dalam sistem ekonomi global.
"Bagi beberapa negara, BRICS dapat menjadi penyeimbang terhadap hegemoni ekonomi AS ," kata Rahman Yaacob, seorang peneliti dalam program Asia Tenggara di Lowy Institute seperti dilansir Fortune.
Setelah 13 tahun tidak menambah anggota baru, BRICS akhirnya melakukan perluasan dengan menyambut Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Bahkan Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Naledi Pandor pernah mengklaim, bahwa lebih dari 30 negara ingin bergabung dengan kelompok internasional BRICS.
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim sangat vokal tentang keinginan untuk bergabung dengan BRICS. Malaysia langsung bergerak cepat dengan melobi Rusia, China, dan minggu ini menyambangi India. Selanjutnya ada Thailand yang juga mengajukan permohonan resmi untuk bergabung dengan blok BRICS pada Juni lalu, dan para pejabat berharap negara Asia Tenggara itu akan dapat bergabung dengan KTT BRICS di Rusia Oktober ini.
Bergabung dengan BRICS dinilai juga bisa menjadi cara untuk melakukan lindung nilai secara politik, karena persaingan yang semakin intensif antara Washington dan Beijing berisiko memecah dunia menjadi dua kelompok yang berlawanan.
"Jika dunia pecah menjadi blok, berada di dalam lebih mengalahkan bila kita berada di keluar," kata Deborah Elms, kepala kebijakan perdagangan di Hinrich Foundation.
"China sudah menjadi mitra dagang terbesar bagi Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dan juga merupakan sumber bantuan pembangunan terbesar buat beberapa negara di kawasan ini," kata Rahman.
Istilah tersebut dipakai untuk menggambarkan ekonomi berkembang pascakolonial. Ini adalah argumen yang meningkat sejak perang Rusia Ukraina pecah pada tahun 2022, lalu yang menyoroti kekuatan AS dalam sistem ekonomi global.
"Bagi beberapa negara, BRICS dapat menjadi penyeimbang terhadap hegemoni ekonomi AS ," kata Rahman Yaacob, seorang peneliti dalam program Asia Tenggara di Lowy Institute seperti dilansir Fortune.
Setelah 13 tahun tidak menambah anggota baru, BRICS akhirnya melakukan perluasan dengan menyambut Mesir, Ethiopia, Iran, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA).
Bahkan Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Naledi Pandor pernah mengklaim, bahwa lebih dari 30 negara ingin bergabung dengan kelompok internasional BRICS.
Perdana Menteri Malaysia, Anwar Ibrahim sangat vokal tentang keinginan untuk bergabung dengan BRICS. Malaysia langsung bergerak cepat dengan melobi Rusia, China, dan minggu ini menyambangi India. Selanjutnya ada Thailand yang juga mengajukan permohonan resmi untuk bergabung dengan blok BRICS pada Juni lalu, dan para pejabat berharap negara Asia Tenggara itu akan dapat bergabung dengan KTT BRICS di Rusia Oktober ini.
Bergabung dengan BRICS dinilai juga bisa menjadi cara untuk melakukan lindung nilai secara politik, karena persaingan yang semakin intensif antara Washington dan Beijing berisiko memecah dunia menjadi dua kelompok yang berlawanan.
"Jika dunia pecah menjadi blok, berada di dalam lebih mengalahkan bila kita berada di keluar," kata Deborah Elms, kepala kebijakan perdagangan di Hinrich Foundation.
Mengapa Malaysia dan Thailand Ingin Gabung BRICS?
"China sudah menjadi mitra dagang terbesar bagi Malaysia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dan juga merupakan sumber bantuan pembangunan terbesar buat beberapa negara di kawasan ini," kata Rahman.