Sri Mulyani Ramal Indonesia Butuh Rp4.000 Triliun untuk Biaya Transisi Energi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati memperkirakan Indonesia membutuhkan anggaran USD281 miliar atau sekitar Rp4.000 triliun untuk biaya transisi energi
"Jumlah ini (biaya transisi energi) sekitar 1,1 kali total anggaran Indonesia, ini besar sekali," jelas Sri Mulyani dalam International Sustainibility Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat (6/92024).
Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya menggunakan berbagai instrumen fiskal, seperti insentif pajak dan pengecualian bea masuk guna mendorong pera sektor swasta dalam mendukung transisi energi tersebut.
"Jadi, tentu saja, anggaran tidak bisa menjadi satu-satunya sumber (pembiayaan), meskipun kami terus berupaya tidak hanya dalam hal alokasi anggaran, tetapi juga menggunakan instrumen fiskal kami, seperti tax allowance, tax holiday, import duty exemption," terangnya.
Tak hanya itu, lanjut Menkeu, pemerintah juga menciptakan berbagai instrumen keuangan, seperti penerbitan sukuk hijau serta obligasi biru untuk mendanai proyek-proyek pemerintah yang bertujuan menurunkan emisi karbon. Sejak 2018 hingga 2023, Indonesia mencatat telah menerbitkan sukuk senilai USD7,07 miliar.
Menkeu menambahkan pemerintah terus mengoptimalkan instrumen keuangan hijau melalui penerbitan sukuk hijau serta obligasi biru untuk mendanai proyek-proyek pemerintah yang ramah lingkungan. Dia mencatat, Indonesia telah menerbitkan sukuk senilai USD 7,07 miliar dalam kurun waktu 2018 hingga 2023.
Kemudian pemerintah juga terus mengoptimalkan pendanaan kreatif untuk mempercepat transisi energi hijau, seperti menerbitkan kebijakan pajak karbon sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan atas emisi yang ditimbulkan dari kegiatan bisnisnya.
"Kami juga sedang menyiapkan regulasi teknis untuk melaksanakan perdagangan karbon lintas batas. Karena seperti yang saya katakan, karbon itu dikeluarkan dan mereka tidak memiliki 'identitas'. Jadi kita perlu memastikan apa yang dapat dianggap sebagai kontribusi dari Indonesia, Singapura, Malaysia dan siapa yang harus membayar, dan berapa," tutupnya.
"Jumlah ini (biaya transisi energi) sekitar 1,1 kali total anggaran Indonesia, ini besar sekali," jelas Sri Mulyani dalam International Sustainibility Forum (ISF) 2024 di Jakarta, Jumat (6/92024).
Oleh karena itu, pemerintah terus berupaya menggunakan berbagai instrumen fiskal, seperti insentif pajak dan pengecualian bea masuk guna mendorong pera sektor swasta dalam mendukung transisi energi tersebut.
"Jadi, tentu saja, anggaran tidak bisa menjadi satu-satunya sumber (pembiayaan), meskipun kami terus berupaya tidak hanya dalam hal alokasi anggaran, tetapi juga menggunakan instrumen fiskal kami, seperti tax allowance, tax holiday, import duty exemption," terangnya.
Tak hanya itu, lanjut Menkeu, pemerintah juga menciptakan berbagai instrumen keuangan, seperti penerbitan sukuk hijau serta obligasi biru untuk mendanai proyek-proyek pemerintah yang bertujuan menurunkan emisi karbon. Sejak 2018 hingga 2023, Indonesia mencatat telah menerbitkan sukuk senilai USD7,07 miliar.
Menkeu menambahkan pemerintah terus mengoptimalkan instrumen keuangan hijau melalui penerbitan sukuk hijau serta obligasi biru untuk mendanai proyek-proyek pemerintah yang ramah lingkungan. Dia mencatat, Indonesia telah menerbitkan sukuk senilai USD 7,07 miliar dalam kurun waktu 2018 hingga 2023.
Kemudian pemerintah juga terus mengoptimalkan pendanaan kreatif untuk mempercepat transisi energi hijau, seperti menerbitkan kebijakan pajak karbon sebagai bentuk tanggung jawab perusahaan atas emisi yang ditimbulkan dari kegiatan bisnisnya.
"Kami juga sedang menyiapkan regulasi teknis untuk melaksanakan perdagangan karbon lintas batas. Karena seperti yang saya katakan, karbon itu dikeluarkan dan mereka tidak memiliki 'identitas'. Jadi kita perlu memastikan apa yang dapat dianggap sebagai kontribusi dari Indonesia, Singapura, Malaysia dan siapa yang harus membayar, dan berapa," tutupnya.
(fch)