Jangan Buru-buru Viralkan Keluhan di Medsos, Konsumen Bisa Lakukan Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Jika menemukan produk-produk pangan yang sudah tidak layak lagi untuk dikonsumsi alias rusak, para konsumen sebaiknya tidak langsung memviralkannya di media sosial (medsos). Hal ini untuk menghindari adanya tuntutan hukum dari pelaku usaha karena menilai konsumen telah mencemarkan nama baik mereka.
“Kita sudah sampaikan kepada konsumen bagaimana cara mereka untuk mengadu,” ujar Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ), Rio Priambodo kepada media baru-baru ini.
Menurutnya, cara yang bisa dilakukan konsumen adalah secara internal, eksternal, dan paling tinggi bisa melalui pengadilan. Di tahan internal, katanya, ini biasanya konsumen harus mengklarifikasi terlebih dahulu atau mengadukan dulu kepada pelaku usahanya sebelum kepada pihak ketiga maupun ke medsos, sehingga apa yang dikeluhkan konsumen bisa teratasi.
“Jadi, diselesaikan dulu secara internal. Tidak perlu dipublikasi secara luas karena akan berpotensi digugat oleh pelaku usaha itu sangat tinggi,” tukasnya.
Dalam hal membuat pengaduan, konsumen juga harus menyampaikan bukti-bukti pendukung dan juga fakta-fakta yang ada. “Jadi, kronologis suasana yang ada harus disampaikan secara jujur dan jelas apa adanya yang didukung bukti-bukti otentik lainnya seperti kwitansi atau bukti pembelian dan pembayaran dan sebagainya. Bahkan, kalau ada perjanjian itu juga bisa dilampirkan sehingga itu bisa mendukung pengaduan yang akan kita disampaikan kepada pelaku usaha,” tuturnya.
Ketika itu tidak bisa diselesaikan dengan pelaku usaha, Rio mengatakan ada pihak-pihak eksternal yang bisa dimanfaatkan oleh konsumen sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen. “Jadi, harapannya seperti itu,” ucapnya.
Adapun lembaga-lembaga yang dihadirkan negara melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk bisa menjembatani keluhan-keluhan konsumen adalah YLKI, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
“Nah, media sosial itu hanya menjadi alternatif terakhir dan jangan untuk dijadikan supaya si konsumen menjadi viral dan lain sebagainya,” katanya.
Dia meminta konsumen agar jeli dan bijak dalam menggunakan media sosial. Memang, lanjutnya, ada jargon no viral no justice atau tidak viral tidak ada keadilan.
“Tapi, sebaiknya konsumen harus menyampaikan pengaduannya dengan fakta terlebuh dahulu ke pelaku usahanya sehingga ada klarifikasi keseimbangan informasi,” ujarnya.
Ditegaskan, YLKI sudah beberapa kali mewanti-wanti konsumen agar ketika mengadukan masalahnya, sebaiknya mereka meengikuti alur-alur tersebut. “Ini untuk menghindari adanya gugatan baik secara perdata maupun yang dilaporkan ke kepolisian terkait dengan pencemaran nama baik. Nah, ini kita harapkan tidak terjadi pada konsumen,” tandasnya.
YLKI saja, menurutnya, dalam melakukan pendampingan terhadap konsumen sangat berhati-hati. Hal itu mengingat di zaman sekarang sangat rentan konsumen itu digugat balik. Karenanya, YLKI perlu melihat secara utuh bukti-bukti yang disampaikan konsumen.
“Ketika menerima pengaduan,YLKI tidak langsung menindaklanjuti. Tapi menganalisa dengan betul apa yang terjadi dan juga apakah pengaduan itu didukung fakta-fakta yang otentik, sehingga ini memperkuat posisi konsumen ketika kita melakukan advokasi dan kita kemudian meneruskan pengaduan,” tuturnya.
Lanjutnya, jangan sampai meneruskan pengaduan ternyata nanti konsumen yang salah informasi atau memang ada sesuatu yang tidak kuat, sehingga memperlemah kedudukan konsumen. Misalkan bukti-buktinya tidak ada dan hanya karena emosional saja, hanya menyampaikan luapan amarahnya saja, tapi tidak didukung dengan bukti-bukti yang kuat. “Nah, yang seperti ini yang tidak kita harapkan,” tukasnya.
“Kita sudah sampaikan kepada konsumen bagaimana cara mereka untuk mengadu,” ujar Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia ( YLKI ), Rio Priambodo kepada media baru-baru ini.
Menurutnya, cara yang bisa dilakukan konsumen adalah secara internal, eksternal, dan paling tinggi bisa melalui pengadilan. Di tahan internal, katanya, ini biasanya konsumen harus mengklarifikasi terlebih dahulu atau mengadukan dulu kepada pelaku usahanya sebelum kepada pihak ketiga maupun ke medsos, sehingga apa yang dikeluhkan konsumen bisa teratasi.
“Jadi, diselesaikan dulu secara internal. Tidak perlu dipublikasi secara luas karena akan berpotensi digugat oleh pelaku usaha itu sangat tinggi,” tukasnya.
Dalam hal membuat pengaduan, konsumen juga harus menyampaikan bukti-bukti pendukung dan juga fakta-fakta yang ada. “Jadi, kronologis suasana yang ada harus disampaikan secara jujur dan jelas apa adanya yang didukung bukti-bukti otentik lainnya seperti kwitansi atau bukti pembelian dan pembayaran dan sebagainya. Bahkan, kalau ada perjanjian itu juga bisa dilampirkan sehingga itu bisa mendukung pengaduan yang akan kita disampaikan kepada pelaku usaha,” tuturnya.
Ketika itu tidak bisa diselesaikan dengan pelaku usaha, Rio mengatakan ada pihak-pihak eksternal yang bisa dimanfaatkan oleh konsumen sebagai lembaga alternatif penyelesaian sengketa konsumen. “Jadi, harapannya seperti itu,” ucapnya.
Adapun lembaga-lembaga yang dihadirkan negara melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen untuk bisa menjembatani keluhan-keluhan konsumen adalah YLKI, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).
“Nah, media sosial itu hanya menjadi alternatif terakhir dan jangan untuk dijadikan supaya si konsumen menjadi viral dan lain sebagainya,” katanya.
Dia meminta konsumen agar jeli dan bijak dalam menggunakan media sosial. Memang, lanjutnya, ada jargon no viral no justice atau tidak viral tidak ada keadilan.
“Tapi, sebaiknya konsumen harus menyampaikan pengaduannya dengan fakta terlebuh dahulu ke pelaku usahanya sehingga ada klarifikasi keseimbangan informasi,” ujarnya.
Ditegaskan, YLKI sudah beberapa kali mewanti-wanti konsumen agar ketika mengadukan masalahnya, sebaiknya mereka meengikuti alur-alur tersebut. “Ini untuk menghindari adanya gugatan baik secara perdata maupun yang dilaporkan ke kepolisian terkait dengan pencemaran nama baik. Nah, ini kita harapkan tidak terjadi pada konsumen,” tandasnya.
YLKI saja, menurutnya, dalam melakukan pendampingan terhadap konsumen sangat berhati-hati. Hal itu mengingat di zaman sekarang sangat rentan konsumen itu digugat balik. Karenanya, YLKI perlu melihat secara utuh bukti-bukti yang disampaikan konsumen.
“Ketika menerima pengaduan,YLKI tidak langsung menindaklanjuti. Tapi menganalisa dengan betul apa yang terjadi dan juga apakah pengaduan itu didukung fakta-fakta yang otentik, sehingga ini memperkuat posisi konsumen ketika kita melakukan advokasi dan kita kemudian meneruskan pengaduan,” tuturnya.
Lanjutnya, jangan sampai meneruskan pengaduan ternyata nanti konsumen yang salah informasi atau memang ada sesuatu yang tidak kuat, sehingga memperlemah kedudukan konsumen. Misalkan bukti-buktinya tidak ada dan hanya karena emosional saja, hanya menyampaikan luapan amarahnya saja, tapi tidak didukung dengan bukti-bukti yang kuat. “Nah, yang seperti ini yang tidak kita harapkan,” tukasnya.
(akr)