30 Prediksi Konsumen di New Normal (1)
loading...
A
A
A
Yuswohady
Managing Partner Inventure
Covid-19 telah mengubah perilaku konsumen dengan sangat ekstrem, mendasar, dan supercepat. Perubahan yang harusnya berjalan selama lima tahun, kini "dimampatkan" hanya dalam 2-3 bulan. Akibatnya konsumen jungkir-balik beradaptasi menuju kenormalan baru (new normal).
Bagaimana kira-kira kondisi perilaku konsumen di kenormalan baru saat pandemi telah lewat? Berikut ini adalah 30 prediksinya. Minggu ini ada 15 prediksi, dan 15 prediksi sisanya kita lanjutkan minggu depan.
#1. The Fall of Mobility, The Rise of Stay @ Home
Wabah, praktis menghentikan mobilitas dan memaksa orang untuk berdiam diri di rumah. "the death of mobility". Krisis Covid-19 membawa manusia seperti kembali ke zaman purba di mana hidupnya hanya di gua, yaitu rumah. "Welcome stay @ home economy."
#2. Online-Shopping Widening+Deepening: From Wants to Needs
Pembelian daring (online shopping) mulai bergeser dari produk yang sifatnya keinginan (wants) ke produk yang sifatnya adalah kebutuhan (needs). Belanja daring konsumen melebar (widening) dari barang-barang nonesensial ke esensial (daily needs). Dan mendalam (deepening) di mana volume pembeliannya makin besar.
#3. Food Delivery: From “Indulgence” to “Utility”
Konsumen menghindari eating out dan beralih ke layanan delivery. Selama ini konsumen memanfaatkan layanan delivery untuk jenis makanan "indulgence", yaitu untuk pleasure dan enjoyment (seperti: boba tea, piza, burger, atau ayam geprek) akan bergeser ke "utility" untuk kebutuhan rutin sehari-hari. Dari pemesanan sesekali (occasional), ke pemesanan berulang (habitual/routine).
#4. The Comeback of Home Cooking
Memiliki waktu cukup luang di rumah selama pandemi memberikan kesempatan bagi milenial mengasah keahlian baru yaitu masak. Dalam Millennials Kill Everything (2019), saya mengatakan milenial "membunuh" home cooking karena emak-emak milenial semakin kehilangan kemampuan memasak. Namun, rupanya Covid-19 "menghidupkannya" kembali.
#5. Frozen Food: Convenience Solution
Emak-emak milenial sudah telanjur tidak piawai memasak. Walaupun stay @ home menjadi momentum comeback-nya kebiasaan memasak, gaya memasak milenial berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih suka memasak yang simple dan convenient. Maka frozen food dan kemasan ready to cook akan menjadi pilihan.
#6. Going Omni
Dengan matangnya online shopping akibat Covid-19, brand-brand besar-menengah-kecil mulai hadir dengan platform omni channel-nya sendiri baik via website atau e-commerce dan tentu physical channels. Mereka tak bisa lagi cuma mengandalkan marketplace besar yang sudah ada. Ingat, customer data is the new gold.
#7. Subscription Model Matters
Covid-19 memaksa konsumen membeli dan mengonsumsi secara serbadaring: Belanja grocery, menikmati film/musik, membeli makanan, bekerja dan belajar, bermain games, bahkan berolahraga dan yoga pun melalui live class secara daring. Tak hanya, belanja daring itu dilakukan secara rutin tiap hari atau berkala tiap minggunya. Karena kebutuhannya rutin dan terus-menerus, model pembelian berlangganan akan lebih cocok dan efisien. Subscription model will matter.
#8. TV Strikes Back
Dalam buku Milenial Kills Everything (2019), kami mengatakan bahwa milenial telah membunuh televisi. Namun, Covid-19 telah menghidupkannya kembali, khusunya smart TV. TV memiliki keunggulan dasar yang tak mungkin dimiliki smartphone, yaitu layar besar yang lebih ramah dilihat. Karena itu memasuki era “the death of mobility” akibat social distancing, TV menemukan momentumnya kembali.
#9. DIY & Self-Care @ Home
Ketika konsumen sudah terbiasa dengan stay @ home maka mereka mulai mencoba berbagai hal baru yang menyenangkan. Salah satunya melakukan self-care atau peremajaan diri seperti facial, meni-pedi, spa. Maka tren do it yourself (DIY) ini dapat menjadi kenormalan baru dan pembelian produk-produk self-care secara otomatis mengalami kenaikan.
#10. Zoomable Workplace @ Home
Work from Home memunculkan tren baru "zoomable workplace"di rumah. Kalau sebelumnya populer istilah "instagramable" maka kini ada istilah tempat kerja di rumah yang "zoomable". Tren ini dipicu oleh popularitas aplikasi Zoom untuk meeting virtual. Mendekorasi ruang kerja yang eye-catching sebagai background meeting. IKEA atau Informa bakal makin ramai pembeli. Tanpa disadari, hal ini telah menjadi kebutuhan self-esteem.
#11. “Work-Live-Play” Balance: Well-Being Revolution
Ketika work from home (WFH) dan flexible working hour (FWH) menjadi kenormalan baru, batas waktu antara bekerja (working), mengurus keluarga dan menjalankan parenting ke anak (living), dan menikmati leisure time (playing) menjadi kian kabur. Karena karyawan mengatur waktunya sendiri, mereka bisa mengatur keseimbangan working-living-playing dengan lebih baik. Hal ini akan meningkatkan kualitas dan kebahagiaan hidup (well-being).
#12. The Century of Self Distancing
Begitu wabah Covid-19 berlalu, tak serta-merta orang berinteraksi fisik seperti sediakala. Bayang-bayang kematian akibat virus akan terus menghantui. Self-distancing akan menjadi kebiasaan permanen. Memakai masker, mencuci tangan setiap saat, menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan akan menjadi kenormalan baru. Akankah cipika-cipiki atau jabat-tangan punah dari muka bumi?
#13. Contact-Free Lifestyle
Self distancing yang permanen akan melahirkan gaya hidup baru yaitu: "contact-free lifestyle". Belanja dilakukan secara daring untuk menghindari paparan virus. Menerima barang dari layanan antar cukup di depan pintu tanpa kontak fisik. Menghindari kerumunan seperti nonton konser musik atau event olahraga yang syarat kontak fisik. Menghindari olahraga yang “contact-intensive” seperti gulat, tinju, karate, bahkan sepak bola. Jarak antarkursi di pesawat atau bioskop akan lebih lebar.
#14. Low-Trust Society
Krisis Covid-19 juga turut membuat kecurigaan antarwarga meningkat di masyarakat. Beberapa kasus penolakan jenazah positif Covid-19; pengusiran tenaga kesehatan karena takut tertular; atau penolakan pemudik oleh masyarakat di kampung saat lebaran, menciptakan kondisi yang saya sebut "low-trust society". Social distrust di antara anggota masyarakat akan semakin tinggi.
#15. Constantly-Fear Customers
Di tengah krisis dan ketidakpastian. Orang mengalami kekacauan mental healthiness sehingga menjalani hari-hari dalam ketakutan. Takut akan krisis ekonomi, takut kehilangan pekerjaan, takut usaha bangkrut, takut tak mampu bayar utang bank, takut diri dan keluarga terpapar virus, dan puncaknya takut terenggut nyawa.
Managing Partner Inventure
Covid-19 telah mengubah perilaku konsumen dengan sangat ekstrem, mendasar, dan supercepat. Perubahan yang harusnya berjalan selama lima tahun, kini "dimampatkan" hanya dalam 2-3 bulan. Akibatnya konsumen jungkir-balik beradaptasi menuju kenormalan baru (new normal).
Bagaimana kira-kira kondisi perilaku konsumen di kenormalan baru saat pandemi telah lewat? Berikut ini adalah 30 prediksinya. Minggu ini ada 15 prediksi, dan 15 prediksi sisanya kita lanjutkan minggu depan.
#1. The Fall of Mobility, The Rise of Stay @ Home
Wabah, praktis menghentikan mobilitas dan memaksa orang untuk berdiam diri di rumah. "the death of mobility". Krisis Covid-19 membawa manusia seperti kembali ke zaman purba di mana hidupnya hanya di gua, yaitu rumah. "Welcome stay @ home economy."
#2. Online-Shopping Widening+Deepening: From Wants to Needs
Pembelian daring (online shopping) mulai bergeser dari produk yang sifatnya keinginan (wants) ke produk yang sifatnya adalah kebutuhan (needs). Belanja daring konsumen melebar (widening) dari barang-barang nonesensial ke esensial (daily needs). Dan mendalam (deepening) di mana volume pembeliannya makin besar.
#3. Food Delivery: From “Indulgence” to “Utility”
Konsumen menghindari eating out dan beralih ke layanan delivery. Selama ini konsumen memanfaatkan layanan delivery untuk jenis makanan "indulgence", yaitu untuk pleasure dan enjoyment (seperti: boba tea, piza, burger, atau ayam geprek) akan bergeser ke "utility" untuk kebutuhan rutin sehari-hari. Dari pemesanan sesekali (occasional), ke pemesanan berulang (habitual/routine).
#4. The Comeback of Home Cooking
Memiliki waktu cukup luang di rumah selama pandemi memberikan kesempatan bagi milenial mengasah keahlian baru yaitu masak. Dalam Millennials Kill Everything (2019), saya mengatakan milenial "membunuh" home cooking karena emak-emak milenial semakin kehilangan kemampuan memasak. Namun, rupanya Covid-19 "menghidupkannya" kembali.
#5. Frozen Food: Convenience Solution
Emak-emak milenial sudah telanjur tidak piawai memasak. Walaupun stay @ home menjadi momentum comeback-nya kebiasaan memasak, gaya memasak milenial berbeda dengan generasi sebelumnya. Mereka lebih suka memasak yang simple dan convenient. Maka frozen food dan kemasan ready to cook akan menjadi pilihan.
#6. Going Omni
Dengan matangnya online shopping akibat Covid-19, brand-brand besar-menengah-kecil mulai hadir dengan platform omni channel-nya sendiri baik via website atau e-commerce dan tentu physical channels. Mereka tak bisa lagi cuma mengandalkan marketplace besar yang sudah ada. Ingat, customer data is the new gold.
#7. Subscription Model Matters
Covid-19 memaksa konsumen membeli dan mengonsumsi secara serbadaring: Belanja grocery, menikmati film/musik, membeli makanan, bekerja dan belajar, bermain games, bahkan berolahraga dan yoga pun melalui live class secara daring. Tak hanya, belanja daring itu dilakukan secara rutin tiap hari atau berkala tiap minggunya. Karena kebutuhannya rutin dan terus-menerus, model pembelian berlangganan akan lebih cocok dan efisien. Subscription model will matter.
#8. TV Strikes Back
Dalam buku Milenial Kills Everything (2019), kami mengatakan bahwa milenial telah membunuh televisi. Namun, Covid-19 telah menghidupkannya kembali, khusunya smart TV. TV memiliki keunggulan dasar yang tak mungkin dimiliki smartphone, yaitu layar besar yang lebih ramah dilihat. Karena itu memasuki era “the death of mobility” akibat social distancing, TV menemukan momentumnya kembali.
#9. DIY & Self-Care @ Home
Ketika konsumen sudah terbiasa dengan stay @ home maka mereka mulai mencoba berbagai hal baru yang menyenangkan. Salah satunya melakukan self-care atau peremajaan diri seperti facial, meni-pedi, spa. Maka tren do it yourself (DIY) ini dapat menjadi kenormalan baru dan pembelian produk-produk self-care secara otomatis mengalami kenaikan.
#10. Zoomable Workplace @ Home
Work from Home memunculkan tren baru "zoomable workplace"di rumah. Kalau sebelumnya populer istilah "instagramable" maka kini ada istilah tempat kerja di rumah yang "zoomable". Tren ini dipicu oleh popularitas aplikasi Zoom untuk meeting virtual. Mendekorasi ruang kerja yang eye-catching sebagai background meeting. IKEA atau Informa bakal makin ramai pembeli. Tanpa disadari, hal ini telah menjadi kebutuhan self-esteem.
#11. “Work-Live-Play” Balance: Well-Being Revolution
Ketika work from home (WFH) dan flexible working hour (FWH) menjadi kenormalan baru, batas waktu antara bekerja (working), mengurus keluarga dan menjalankan parenting ke anak (living), dan menikmati leisure time (playing) menjadi kian kabur. Karena karyawan mengatur waktunya sendiri, mereka bisa mengatur keseimbangan working-living-playing dengan lebih baik. Hal ini akan meningkatkan kualitas dan kebahagiaan hidup (well-being).
#12. The Century of Self Distancing
Begitu wabah Covid-19 berlalu, tak serta-merta orang berinteraksi fisik seperti sediakala. Bayang-bayang kematian akibat virus akan terus menghantui. Self-distancing akan menjadi kebiasaan permanen. Memakai masker, mencuci tangan setiap saat, menjaga jarak fisik, menghindari kerumunan akan menjadi kenormalan baru. Akankah cipika-cipiki atau jabat-tangan punah dari muka bumi?
#13. Contact-Free Lifestyle
Self distancing yang permanen akan melahirkan gaya hidup baru yaitu: "contact-free lifestyle". Belanja dilakukan secara daring untuk menghindari paparan virus. Menerima barang dari layanan antar cukup di depan pintu tanpa kontak fisik. Menghindari kerumunan seperti nonton konser musik atau event olahraga yang syarat kontak fisik. Menghindari olahraga yang “contact-intensive” seperti gulat, tinju, karate, bahkan sepak bola. Jarak antarkursi di pesawat atau bioskop akan lebih lebar.
#14. Low-Trust Society
Krisis Covid-19 juga turut membuat kecurigaan antarwarga meningkat di masyarakat. Beberapa kasus penolakan jenazah positif Covid-19; pengusiran tenaga kesehatan karena takut tertular; atau penolakan pemudik oleh masyarakat di kampung saat lebaran, menciptakan kondisi yang saya sebut "low-trust society". Social distrust di antara anggota masyarakat akan semakin tinggi.
#15. Constantly-Fear Customers
Di tengah krisis dan ketidakpastian. Orang mengalami kekacauan mental healthiness sehingga menjalani hari-hari dalam ketakutan. Takut akan krisis ekonomi, takut kehilangan pekerjaan, takut usaha bangkrut, takut tak mampu bayar utang bank, takut diri dan keluarga terpapar virus, dan puncaknya takut terenggut nyawa.
(ysw)