Masyarakat Sipil Desak Pembahasan RPMK Soal Produk Tembakau Dihentikan
loading...
A
A
A
Sementara itu Ali Rido menilai RPMK ini sangat hegemonik karena melampaui kewenangannya mengatur hal yang semestinya tidak diatur dalam peraturan menteri. Dalam pembahasan RPMK, Kemenkes tidak mengakomodir seluruh kepentingan stakeholder pertembakuan.
Sedangkan anggota DPR RI, Muhammad Misbakhun menyebut kuatnya kepentingan perusahaan raksasa dalam rezim kesehatan internasional menyebabkan bangkrutnya usaha rakyat, hilangnya lapangan kerja dan suramnya masa depan petani tembakau, petani cengkeh, serta kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) nasional.
"Pemerintah sebagai regulator tidak pernah menempatkan diri sebagai fasilitator yang memberikan exit strategy yang solutif bagi ekosistem pertembakauan," ungkapnya.
Misbakhun juga menyebut RPMK tentang tembakau dan rokok elektronik ini juga minim partisipasi industri dan publik untuk mengkaji dampak (khususnya ekonomi) yang ditimbulkan dari beberapa pasal yang berkaitan dengan sektor IHT.
"Saya melihat minimnya partisipasi ini memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi di masa akan datang," tuturnya.
Baca Juga: Cium Ada Titipan Asing, KNPK Tolak Rancangan Permenkes Pengamanan Produk Tembakau
Senada dengan Misbakhun, Budiman dari Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia menilai pelarangan dan pembatasan penjualan produk, pasti akan berdampak pada penurunan produksi dan berdampak pada tenaga kerja dan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh. Indonesia memiliki 97 persen rokok kretek yang menggunakan cengkeh, dan 1,5 juta petani cengkeh memenuhi penyerapan kebutuhan rokok kretek. Pembatasan akan berdampak pada masyarakat yang menopang ekosistem pertembakauan.
Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnasi Mudi juga mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri dari hulu ke hilir karenadampaknya akan sangat besar terhadap masa depan tembakau. Menurutnya, RPMK belum berdasarkan pada asas keadilan yang menyeluruh.
Atas dasar pertimbangan tersebut, para perwakilan masyarakat sipil dalam Halaqah Nasional menilai RPMK 2024 yang sedang dibahas Kementerian Kesehatan tersebut bermasalah dalam aspek perundangan, substansi dan prosesnya, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan pembahasannya oleh pemerintah.
Sedangkan anggota DPR RI, Muhammad Misbakhun menyebut kuatnya kepentingan perusahaan raksasa dalam rezim kesehatan internasional menyebabkan bangkrutnya usaha rakyat, hilangnya lapangan kerja dan suramnya masa depan petani tembakau, petani cengkeh, serta kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) nasional.
"Pemerintah sebagai regulator tidak pernah menempatkan diri sebagai fasilitator yang memberikan exit strategy yang solutif bagi ekosistem pertembakauan," ungkapnya.
Misbakhun juga menyebut RPMK tentang tembakau dan rokok elektronik ini juga minim partisipasi industri dan publik untuk mengkaji dampak (khususnya ekonomi) yang ditimbulkan dari beberapa pasal yang berkaitan dengan sektor IHT.
"Saya melihat minimnya partisipasi ini memberikan pengaruh terhadap kondisi ekonomi di masa akan datang," tuturnya.
Baca Juga: Cium Ada Titipan Asing, KNPK Tolak Rancangan Permenkes Pengamanan Produk Tembakau
Senada dengan Misbakhun, Budiman dari Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia menilai pelarangan dan pembatasan penjualan produk, pasti akan berdampak pada penurunan produksi dan berdampak pada tenaga kerja dan serapan bahan baku tembakau dan cengkeh. Indonesia memiliki 97 persen rokok kretek yang menggunakan cengkeh, dan 1,5 juta petani cengkeh memenuhi penyerapan kebutuhan rokok kretek. Pembatasan akan berdampak pada masyarakat yang menopang ekosistem pertembakauan.
Sekjen DPN Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Kusnasi Mudi juga mengatakan pemerintah perlu mengkaji ulang dan mengajak komunikasi para industri dari hulu ke hilir karenadampaknya akan sangat besar terhadap masa depan tembakau. Menurutnya, RPMK belum berdasarkan pada asas keadilan yang menyeluruh.
Atas dasar pertimbangan tersebut, para perwakilan masyarakat sipil dalam Halaqah Nasional menilai RPMK 2024 yang sedang dibahas Kementerian Kesehatan tersebut bermasalah dalam aspek perundangan, substansi dan prosesnya, sehingga tidak layak untuk dilanjutkan pembahasannya oleh pemerintah.
(nng)