Gapki Siap Bersinergi dengan Pemerintah Hadapi Tantangan Global
loading...
A
A
A
NUSA DUA - Industri sawit dalam perkembangannya terus menghadapi tantangan secara nasional maupun global. Guna menghadapi tantangan-tantangan tersebut, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia ( Gapki ) berharap dukungan pemerintah berupa kebijakan-kebijakan yang mendukung industri sawit sebagai salah satu komoditas unggulan Indonesia yang berperan strategis dalam perekonomian nasional.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Gapki Eddy Martono dalam pembukaan konferensi internasional sawit ke-20, Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Outlook (20th IPOC), di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11/2024).
"Industri sawit saat ini menghadapi ketidakpastian karena potensi krisis makanan dan energi, dan juga hambatan-hambatan perdagangan yang diberlakukan negara-negara importir, seperti peraturan bebas deforestasi Uni Eropa (EUDR)," papar Eddy dalam konferensi yang mengangkat tema "Seizing Opportunities Amidst Global Uncertainty" tersebut.
Sementara, tantangan di dalam negeri menurutnya antara lain produksi sawit yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari lambatnya pelaksanaan penanaman kembali di lahan-lahan kebun para petani sawit.
Eddy mengatakan, tindakan-tindakan yang perlu dilakukan antara lain penguatan praktik produksi yang keberlanjutan, sinergi antara pemangku kepentingan, dan memacu pelaksanaan program penanaman kembali lahan sawit petani (PSR). Selain itu, lanjut dia, perlu juga advokasi perdagangan bebas dan adil, karena setiap hambatan perdagangan akan menambah beban dan biaya bagi industri.
"Ini terutama perlu untuk mendukung program biodiesel pemerintah karena akan ditingkatkan ke B50 di tahun 2026, tanpa mengganggu kebutuhan makanan dan ekspor," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Eddy menyebutkan bahwa sampai Agustus 2024 produksi sawit mencapai 34,7 juta ton. Dalam periode yang sama ekspor, termasuk biodiesel dan oleokimia, mencapai lebih dari 20,1 juta ton. Ekspor ini menyumbangkan devisa sekitar USD17,349 juta.
Akan tetapi, imbuh dia, kinerja itu lebih rendah dibandingkan tahun 2023 di mana para periode yang sama produksi sawit mencapai 36,2 juta ton, dengan ekspor mencapai 21,9 juta ton, dan menghasilkan devisa senilai USD20,597 juta.
Kendati demikian, Eddy optimistis akan kinerja sektor kelapa sawit di tahun 2025. Hal ini terlihat dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan konsumsi domestik melalui beberapa program mandatori biodiesel, maupun akselerasi perkebunan sawit rakyat (PSR) untuk meningkatkan produksi kelapa sawit. Selain itu, penundaan implementasi EUDR menjadi 31 Desember 2025 menurutnya memberikan waktu bagi pelaku usaha Indonesia untuk mempersiapkan perbaikan tata kelola produksi kelapa sawit yang lebih baik.
"Kami siap mendukung pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dalam mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk memelihara daya saing global industri sawit sebagai sumber makanan dan energi yang terbarukan sebagaimana digariskan dalam Asta Cita yang merupakan bagian dari visi dan misi 'Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045'," tegas Eddy.
Hal itu diungkapkan Ketua Umum Gapki Eddy Martono dalam pembukaan konferensi internasional sawit ke-20, Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Outlook (20th IPOC), di Nusa Dua, Bali, Kamis (7/11/2024).
"Industri sawit saat ini menghadapi ketidakpastian karena potensi krisis makanan dan energi, dan juga hambatan-hambatan perdagangan yang diberlakukan negara-negara importir, seperti peraturan bebas deforestasi Uni Eropa (EUDR)," papar Eddy dalam konferensi yang mengangkat tema "Seizing Opportunities Amidst Global Uncertainty" tersebut.
Sementara, tantangan di dalam negeri menurutnya antara lain produksi sawit yang stagnan dalam beberapa tahun terakhir sebagai akibat dari lambatnya pelaksanaan penanaman kembali di lahan-lahan kebun para petani sawit.
Eddy mengatakan, tindakan-tindakan yang perlu dilakukan antara lain penguatan praktik produksi yang keberlanjutan, sinergi antara pemangku kepentingan, dan memacu pelaksanaan program penanaman kembali lahan sawit petani (PSR). Selain itu, lanjut dia, perlu juga advokasi perdagangan bebas dan adil, karena setiap hambatan perdagangan akan menambah beban dan biaya bagi industri.
"Ini terutama perlu untuk mendukung program biodiesel pemerintah karena akan ditingkatkan ke B50 di tahun 2026, tanpa mengganggu kebutuhan makanan dan ekspor," katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Eddy menyebutkan bahwa sampai Agustus 2024 produksi sawit mencapai 34,7 juta ton. Dalam periode yang sama ekspor, termasuk biodiesel dan oleokimia, mencapai lebih dari 20,1 juta ton. Ekspor ini menyumbangkan devisa sekitar USD17,349 juta.
Akan tetapi, imbuh dia, kinerja itu lebih rendah dibandingkan tahun 2023 di mana para periode yang sama produksi sawit mencapai 36,2 juta ton, dengan ekspor mencapai 21,9 juta ton, dan menghasilkan devisa senilai USD20,597 juta.
Kendati demikian, Eddy optimistis akan kinerja sektor kelapa sawit di tahun 2025. Hal ini terlihat dari komitmen pemerintah untuk meningkatkan konsumsi domestik melalui beberapa program mandatori biodiesel, maupun akselerasi perkebunan sawit rakyat (PSR) untuk meningkatkan produksi kelapa sawit. Selain itu, penundaan implementasi EUDR menjadi 31 Desember 2025 menurutnya memberikan waktu bagi pelaku usaha Indonesia untuk mempersiapkan perbaikan tata kelola produksi kelapa sawit yang lebih baik.
"Kami siap mendukung pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto dalam mengambil langkah-langkah yang bijaksana untuk memelihara daya saing global industri sawit sebagai sumber makanan dan energi yang terbarukan sebagaimana digariskan dalam Asta Cita yang merupakan bagian dari visi dan misi 'Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045'," tegas Eddy.
(fjo)