Kehidupan Urban di Masa Next Normal
loading...
A
A
A
Yuswohady
Managing Partner Inventure
Next normal sudah di depan mata, yaitu ketika vaksin sudah diproduksi dan sejak itu kita hidup "berdampingan" dengan virus sampai kapan pun.
Kita bakal menjalani hidup yang berbeda sama sekali dengan yang kita jalani sebelum pandemi mewabah 2 Maret 2020.
Saya membuat 100 prediksi hidup di next normal di mana akan muncul perilaku baru, kebiasaan baru, gaya hidup baru, budaya baru atau pola pikir baru. Welcome to whole new life: Life after Covid-19. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak Berebut Jihad di Perang Badar)
Untuk kali ini secara khusus saya membahas prediksi mengenai kehidupan urban dan masa depan kota di next normal. Berikut ini beberapa di antaranya.
#1. The End of the City as We Know It
Pandemi adalah “bencana kota”. Kota menjadi episentrum penularan virus, a death trap, karena kepadatannya (density) di mana kontak dan interaksi antarorang berlangsung masif. By-nature, pandemi adalah anti-urban. Hidup di kota adalah antitesis social distancing.
Kota menjadi lebih tidak padat (de-densification) karena masyarakat semakin mengarah ke sub-urban, bahkan rural. Thanks to WFH trends. Orang akan cenderung tinggal di pinggiran karena dengan remote working mereka tetap produktif walaupun tidak berada di kantor di pusat-pusat kota.
Format kota akan berubah, jalan akan dibagi secara lebih seimbang dengan memberikan ruang yang lebih besar pada transportasi ramah lingkungan. Ruang-ruang terbuka publik yang hijau akan semakin banyak dan kota juga semakin didorong melakukan digitalisasi. (Baca juga: Mahfud MD Kebali tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)
#2. De-densification, De-urbanization
Asumsi dasar keunggulan kepadatan (density) kota adalah skala ekonomi (economies of scale). Ketika sebuah kota padat dan memiliki jumlah penduduk yang besar, semua layanan kota menjadi sangat baik dan efisien.
Namun kini manfaat skala ekonomi itu menjadi antitesis ketika padatnya kota menghasilkan handicap mendasar, yaitu risiko kesehatan dan kematian yang amat besar oleh adanya wabah.
Karena itu pascapandemi pemerintah kota dan urban planner akan kian mengarahkan perencanaan kota dengan mengurangi tingkat kepadatannya. Tujuannya jelas, untuk mengantisipasi serangan-serangan virus kini dan di masa-masa mendatang. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
#3. More Localized City
Wabah Covid-19 akan mendorong kota-kota besar (mega-city) untuk menjadi localized. Maksudnya di dalam kota yang besar tersebut terdapat “subkota” (atau “kota di dalam kota”) yang mandiri.
Tujuannya adalah segala kebutuhan warga kota, mulai dari berbelanja, ke rumah sakit, ke kantor pemerintah, atau berolahraga, bisa dilakukan di dalam subkota (intra-subcity) tidak perlu keluar (inter-subcity).
Dengan begitu mobilitas warga kota akan lebih terlokalisasi dan dampak penularan virus bisa lebih dikendalikan serta akan memberikan peranan lebih besar pada micromobility (cycling dan pedestrian).
#4. Private Car Wins (Again)
Ketakutan kepada virus rupanya mengubah secara drastis pola mobilitas dan pilihan moda transportasi masyarakat.
Euforia angkutan massal modern seperti MRT, LRT, commuter line, dan busway yang tahun-tahun terakhir happening di Jakarta agaknya mengalami titik balik saat kini pandemi datang. Ya, karena kerumunan di angkutan massal tidak diinginkan demi kepentingan social distancing. (Baca juga: Inilah Negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu ledak Nuklir)
Maka mobil pribadi pun menemukan momentum pertumbuhannya kembali sebagai moda yang paling aman dari terjangan Covid-19.
#5. Rise of Cycling & Pedestrian
Saat lockdown dan pembatasan sosial, pemkot kota-kota di dunia telah mendorong warganya untuk menggunakan skuter, sepeda, atau berjalan kaki sebagai solusi sementara untuk memfasilitasi kepentingan social distancing.
Namun seperti telah mereka akui, solusi sementara itu bakal menjadi solusi selamanya. Oleh sebab itu micromobility (skuter, sepeda, skateboard, dll), moda transportasi yang selama ini dilirik sebelah mata karena moda transportasi didominasi oleh kendaraan pribadi dan angkutan massal, bakal menemukan ruang geraknya. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Motor Nekat Kabur)
Konsep slow street, yaitu penggunaan jalan untuk moda transportasi micromobility seperti sepeda atau skuter dengan kecepatan di bawah 25 km/jam kian populer di seluruh dunia.
Managing Partner Inventure
Next normal sudah di depan mata, yaitu ketika vaksin sudah diproduksi dan sejak itu kita hidup "berdampingan" dengan virus sampai kapan pun.
Kita bakal menjalani hidup yang berbeda sama sekali dengan yang kita jalani sebelum pandemi mewabah 2 Maret 2020.
Saya membuat 100 prediksi hidup di next normal di mana akan muncul perilaku baru, kebiasaan baru, gaya hidup baru, budaya baru atau pola pikir baru. Welcome to whole new life: Life after Covid-19. (Baca: Kisah Mengharukan Ayah dan Anak Berebut Jihad di Perang Badar)
Untuk kali ini secara khusus saya membahas prediksi mengenai kehidupan urban dan masa depan kota di next normal. Berikut ini beberapa di antaranya.
#1. The End of the City as We Know It
Pandemi adalah “bencana kota”. Kota menjadi episentrum penularan virus, a death trap, karena kepadatannya (density) di mana kontak dan interaksi antarorang berlangsung masif. By-nature, pandemi adalah anti-urban. Hidup di kota adalah antitesis social distancing.
Kota menjadi lebih tidak padat (de-densification) karena masyarakat semakin mengarah ke sub-urban, bahkan rural. Thanks to WFH trends. Orang akan cenderung tinggal di pinggiran karena dengan remote working mereka tetap produktif walaupun tidak berada di kantor di pusat-pusat kota.
Format kota akan berubah, jalan akan dibagi secara lebih seimbang dengan memberikan ruang yang lebih besar pada transportasi ramah lingkungan. Ruang-ruang terbuka publik yang hijau akan semakin banyak dan kota juga semakin didorong melakukan digitalisasi. (Baca juga: Mahfud MD Kebali tegaskan Pemerintah Tak Akan Menunda Pilkada 2020)
#2. De-densification, De-urbanization
Asumsi dasar keunggulan kepadatan (density) kota adalah skala ekonomi (economies of scale). Ketika sebuah kota padat dan memiliki jumlah penduduk yang besar, semua layanan kota menjadi sangat baik dan efisien.
Namun kini manfaat skala ekonomi itu menjadi antitesis ketika padatnya kota menghasilkan handicap mendasar, yaitu risiko kesehatan dan kematian yang amat besar oleh adanya wabah.
Karena itu pascapandemi pemerintah kota dan urban planner akan kian mengarahkan perencanaan kota dengan mengurangi tingkat kepadatannya. Tujuannya jelas, untuk mengantisipasi serangan-serangan virus kini dan di masa-masa mendatang. (Baca juga: WHO Peringatkan Dunia Lebih Siap untuk Pandemi Berikutnya)
#3. More Localized City
Wabah Covid-19 akan mendorong kota-kota besar (mega-city) untuk menjadi localized. Maksudnya di dalam kota yang besar tersebut terdapat “subkota” (atau “kota di dalam kota”) yang mandiri.
Tujuannya adalah segala kebutuhan warga kota, mulai dari berbelanja, ke rumah sakit, ke kantor pemerintah, atau berolahraga, bisa dilakukan di dalam subkota (intra-subcity) tidak perlu keluar (inter-subcity).
Dengan begitu mobilitas warga kota akan lebih terlokalisasi dan dampak penularan virus bisa lebih dikendalikan serta akan memberikan peranan lebih besar pada micromobility (cycling dan pedestrian).
#4. Private Car Wins (Again)
Ketakutan kepada virus rupanya mengubah secara drastis pola mobilitas dan pilihan moda transportasi masyarakat.
Euforia angkutan massal modern seperti MRT, LRT, commuter line, dan busway yang tahun-tahun terakhir happening di Jakarta agaknya mengalami titik balik saat kini pandemi datang. Ya, karena kerumunan di angkutan massal tidak diinginkan demi kepentingan social distancing. (Baca juga: Inilah Negara-negara di Dunia yang Memiliki Hulu ledak Nuklir)
Maka mobil pribadi pun menemukan momentum pertumbuhannya kembali sebagai moda yang paling aman dari terjangan Covid-19.
#5. Rise of Cycling & Pedestrian
Saat lockdown dan pembatasan sosial, pemkot kota-kota di dunia telah mendorong warganya untuk menggunakan skuter, sepeda, atau berjalan kaki sebagai solusi sementara untuk memfasilitasi kepentingan social distancing.
Namun seperti telah mereka akui, solusi sementara itu bakal menjadi solusi selamanya. Oleh sebab itu micromobility (skuter, sepeda, skateboard, dll), moda transportasi yang selama ini dilirik sebelah mata karena moda transportasi didominasi oleh kendaraan pribadi dan angkutan massal, bakal menemukan ruang geraknya. (Lihat videonya: Razia Masker, Banyak Pengendara Motor Nekat Kabur)
Konsep slow street, yaitu penggunaan jalan untuk moda transportasi micromobility seperti sepeda atau skuter dengan kecepatan di bawah 25 km/jam kian populer di seluruh dunia.
(ysw)