Industry Megashifts 2021
loading...
A
A
A
Faktor ini menjadi vital driver of change karena sejauh penyebaran virus tak bisa dihentikan dan vaksin penangkal tak urung dikembangkan, seluruh elemen perekonomian, industri, dan bisnis akan tetap lumpuh tak berdaya.
Meski begitu muncul titik terang vaksin diproduksi dan didistribusikan, sentimen konsumen akan cepat pulih, spending masyarakat (khususnya kelas menengah) mulai bangkit, dan perekonomian kembali menggeliat.
#2. Societal Anxiety
Pandemi menimbulkan luka yang akut dan kecemasan luar biasa di kalanagan konsumen dan masyarakat. Mereka takut dan cemas kehilangan nyawa (fear of death), kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin (fear of economic), dan kehilangan kehidupan sosial, harapan, kebergunaan (fear of actualization). (Baca juga: Kemenag Minta Guru Fokus Pada Pendidikan Karakter Siswa)
Ketakutan dan rasa cemas itu terjadi di tingkat individu (personal), tapi kemudian bermetamorfosis dan menjelma menjadi keresahan komunal (societal) yang berujung pada berbagai persoalan sosial seperti keputusasaan, isolasi, depresi, kejahatan, kenekatan hingga ekstremisme. Mindfulness dan well-being menjadi kelangkaan di tengah-tengah era ketakutan ini.
#3. The Rise of Coronationalism
Di era pandemi tiap negara akan semakin selfish dengan berupaya keras melindungi kepentingan masing-masing. Pembatasan dan pelarangan arus keluar-masuk orang (penerbangan), barang (ekspor-impor), kontrol perbatasan akan kian masif dengan alasan kepentingan nasional masing-masing.
Negara-negara saling menyalahkan seperti yang dilakukan Presiden Trump yang menuduh Cina sebagai biang kerok bencana Covid-19. Ketika vaksin diproduksi nanti, semua negara akan "berebut" mendapatkan vaksin demi kepentingan warga negara masing-masing. Negara juga bisa semena-mena akan melarang orang asing masuk dengan alasan perlindungan warga negara. Sebut saja ini: coronationalism.
Maka tak terhindarkan pandemi mendorong kohesi di dalam negara akan meningkat, sebaliknya friksi antarnegara akan menguat. Pandemi adalah antitesis globalisasi.
#4. Government (Mis) Leadership
Meski begitu muncul titik terang vaksin diproduksi dan didistribusikan, sentimen konsumen akan cepat pulih, spending masyarakat (khususnya kelas menengah) mulai bangkit, dan perekonomian kembali menggeliat.
#2. Societal Anxiety
Pandemi menimbulkan luka yang akut dan kecemasan luar biasa di kalanagan konsumen dan masyarakat. Mereka takut dan cemas kehilangan nyawa (fear of death), kehilangan pekerjaan dan jatuh miskin (fear of economic), dan kehilangan kehidupan sosial, harapan, kebergunaan (fear of actualization). (Baca juga: Kemenag Minta Guru Fokus Pada Pendidikan Karakter Siswa)
Ketakutan dan rasa cemas itu terjadi di tingkat individu (personal), tapi kemudian bermetamorfosis dan menjelma menjadi keresahan komunal (societal) yang berujung pada berbagai persoalan sosial seperti keputusasaan, isolasi, depresi, kejahatan, kenekatan hingga ekstremisme. Mindfulness dan well-being menjadi kelangkaan di tengah-tengah era ketakutan ini.
#3. The Rise of Coronationalism
Di era pandemi tiap negara akan semakin selfish dengan berupaya keras melindungi kepentingan masing-masing. Pembatasan dan pelarangan arus keluar-masuk orang (penerbangan), barang (ekspor-impor), kontrol perbatasan akan kian masif dengan alasan kepentingan nasional masing-masing.
Negara-negara saling menyalahkan seperti yang dilakukan Presiden Trump yang menuduh Cina sebagai biang kerok bencana Covid-19. Ketika vaksin diproduksi nanti, semua negara akan "berebut" mendapatkan vaksin demi kepentingan warga negara masing-masing. Negara juga bisa semena-mena akan melarang orang asing masuk dengan alasan perlindungan warga negara. Sebut saja ini: coronationalism.
Maka tak terhindarkan pandemi mendorong kohesi di dalam negara akan meningkat, sebaliknya friksi antarnegara akan menguat. Pandemi adalah antitesis globalisasi.
#4. Government (Mis) Leadership