Industry Megashifts 2021
loading...
A
A
A
Beberapa negara sukses menangani krisis pandemi seperti Selandia Baru, Taiwan, atau Korea Selatan, tetapi sebagian besar negara di dunia gagal menanganinya, termasuk Indonesia.
Bukan suatu hal yang aneh karena pandemi datang begitu cepat dan semua negara gelagapan meresponsnya: mulai dari kebijakan PSBB/lockdown, antisipasi darurat perlengkapan dan infrastruktur kesehatan, menangani krisis ekonomi hingga produksi/distribusi vaksin. (Baca juga: 5 Hal yang Wajib Dilakukan Jika Terinfeksi Flu)
Kini leadership para pemimpin negara di seluruh dunia diuji. Efektif tidaknya kepemimpinan mereka menangani krisis Covid-19 akan menentukan cepat tidaknya pemulihan ekonomi, industri, dan bisnis.
#5. Global Supply-Chain Disruption
Sebelum pandemi, sistem produksi global mengalami globalisasi di mana rantai pasok produksi tersebar di berbagai untuk memanfaatkan spesialisasi, skala ekonomi, pasok tenaga kerja, kedekatan dengan bahan baku maupun kedekatan pasar akhir.
Namun dengan adanya pandemi, kondisinya berbalik. Memiliki rantai pasok tersebar di berbagai belahan dunia membawa risiko kritis ketika arus barang melintas negara mengalami bottleneck. Dampaknya serius di sektor-sektor manufaktur seperti automotif, komputer/elektronik, garmen, farmasi, kimia hingga makanan/minuman.
Pascapandemi berbagai industri akan membangun resiliensi dengan membangun ekosistem rantai pasok yang lebih terkonsentrasi di lingkup regional atau bahkan nasional, tak lagi tersebar di berbagai belahan dunia.
#6. Accelerated Digitalization
Pandemi menjadi katalis bagi konsumen untuk bermigrasi ke ranah digital/online. Dengan munculnya stay @ home economy akibat pandemi, seluruh aktivitas konsumen kini dilakukan secara digital: berbelanja, bekerja, belajar, berobat, menikmati hiburan, bahkan beribadah. (Lihat videonya: Viral Pengendara Motor Diduga Bonceng Mayat di Boyolali)
Ketika ekonomi fisikal mandek akibat pandemi, ekonomi digital menggantikannya sehingga geliat perekonomian masih berjalan. Tak aneh jika transformasi digital menjadi agenda terpenting bagi perusahaan untuk tetap bisa survive di tengah pandemi. Semboyannya: "Go digital or die!"
Bukan suatu hal yang aneh karena pandemi datang begitu cepat dan semua negara gelagapan meresponsnya: mulai dari kebijakan PSBB/lockdown, antisipasi darurat perlengkapan dan infrastruktur kesehatan, menangani krisis ekonomi hingga produksi/distribusi vaksin. (Baca juga: 5 Hal yang Wajib Dilakukan Jika Terinfeksi Flu)
Kini leadership para pemimpin negara di seluruh dunia diuji. Efektif tidaknya kepemimpinan mereka menangani krisis Covid-19 akan menentukan cepat tidaknya pemulihan ekonomi, industri, dan bisnis.
#5. Global Supply-Chain Disruption
Sebelum pandemi, sistem produksi global mengalami globalisasi di mana rantai pasok produksi tersebar di berbagai untuk memanfaatkan spesialisasi, skala ekonomi, pasok tenaga kerja, kedekatan dengan bahan baku maupun kedekatan pasar akhir.
Namun dengan adanya pandemi, kondisinya berbalik. Memiliki rantai pasok tersebar di berbagai belahan dunia membawa risiko kritis ketika arus barang melintas negara mengalami bottleneck. Dampaknya serius di sektor-sektor manufaktur seperti automotif, komputer/elektronik, garmen, farmasi, kimia hingga makanan/minuman.
Pascapandemi berbagai industri akan membangun resiliensi dengan membangun ekosistem rantai pasok yang lebih terkonsentrasi di lingkup regional atau bahkan nasional, tak lagi tersebar di berbagai belahan dunia.
#6. Accelerated Digitalization
Pandemi menjadi katalis bagi konsumen untuk bermigrasi ke ranah digital/online. Dengan munculnya stay @ home economy akibat pandemi, seluruh aktivitas konsumen kini dilakukan secara digital: berbelanja, bekerja, belajar, berobat, menikmati hiburan, bahkan beribadah. (Lihat videonya: Viral Pengendara Motor Diduga Bonceng Mayat di Boyolali)
Ketika ekonomi fisikal mandek akibat pandemi, ekonomi digital menggantikannya sehingga geliat perekonomian masih berjalan. Tak aneh jika transformasi digital menjadi agenda terpenting bagi perusahaan untuk tetap bisa survive di tengah pandemi. Semboyannya: "Go digital or die!"