Polemik Ekspor Benur, Effendi Gazali Sebut Edhy Prabowo 'Kecolongan' Permen
loading...
A
A
A
JAKARTA - Edhy Prabowo telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait urusan ekspor benih lobster atau benur. Sebelumnya, Ketua Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik KKP, Effendi Gazali, menyebut dirinya telah mengingatkan Edhy perihal kekeliruan regulasi ekspor benur.
“Saya sudah mengingatkan pak menteri sejak bulan puasa, terkait perbedaan antara draf rancangan dengan Permen (Peraturan Menteri) No. 12 tahun 2020, saya sebutkan ‘pak perubahan ini tidak baik, ini teman-teman civil society sudah mengumpulkan data soal monopoli’,” ujar Effendi dalam podcast di kanal YouTube Deddy Corbuzier pada Selasa (1/12/2020).
( )
Effendi mengatakan, dirinya telah melakukan berbagai diskusi panjang seperti dengan pemerhati nelayan, Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dia telah memperingatkan Edhy terkait praktik monopoli alias persaingan usaha tidak sehat pada mekanisme ekspor benur.
“Saya sudah berdiskusi dengan Riza Damanik yang pemerhati nelayan, kemudian dengan Chalid Muhammad (eks tim komunikasi KKP), juga dengan teman-teman di ICW ada Donal Fariz, Tama, kemudian juga temen-temen di Bea Cukai,” kata Effendi.
Dari hasil temuannya, Effendi menyoroti kekeliruan soal mekanisme pengangkutan ekspor benur yang sarat monopoli dan ternyata tidak memiliki dasar hukum. Khususnya mekanisme pengiriman benur yang mengharuskan eksportir harus menjadi anggota asosiasi ekspor dengan biaya angkut yang lebih mahal.
“Ternyata itu tidak ada dasar hukumnya, jadi orang kalau mau jadi eksportir benih lobster itu harus masuk jadi anggota asosiasi, lalu hanya boleh kirim lewat kargo khusus di Jakarta dan Surabaya, ditambah lagi dengan harus bayar Rp1.800 per ekor, padahal jika tidak lewat kargo itu cukup Rp200 saja,” kata Effendi.
( )
Bahkan, kata dia, ada indikasi kekeliruan negara yang mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk ekspor yang ternyata tidak memiliki dasar hukum itu.
“Betul itu memungkinkan timbulnya korupsi, dari selisih biaya angkut Rp1.800 dengan Rp200 per ekor dikali saja dengan 37 juta ekor benur yang sudah dikirim, ada nilai sekitar Rp60 miliar, padahal itu tidak ada dasar hukumnya," kata dia.
“Saya sudah mengingatkan pak menteri sejak bulan puasa, terkait perbedaan antara draf rancangan dengan Permen (Peraturan Menteri) No. 12 tahun 2020, saya sebutkan ‘pak perubahan ini tidak baik, ini teman-teman civil society sudah mengumpulkan data soal monopoli’,” ujar Effendi dalam podcast di kanal YouTube Deddy Corbuzier pada Selasa (1/12/2020).
( )
Effendi mengatakan, dirinya telah melakukan berbagai diskusi panjang seperti dengan pemerhati nelayan, Indonesia Corruption Watch (ICW), hingga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Dia telah memperingatkan Edhy terkait praktik monopoli alias persaingan usaha tidak sehat pada mekanisme ekspor benur.
“Saya sudah berdiskusi dengan Riza Damanik yang pemerhati nelayan, kemudian dengan Chalid Muhammad (eks tim komunikasi KKP), juga dengan teman-teman di ICW ada Donal Fariz, Tama, kemudian juga temen-temen di Bea Cukai,” kata Effendi.
Dari hasil temuannya, Effendi menyoroti kekeliruan soal mekanisme pengangkutan ekspor benur yang sarat monopoli dan ternyata tidak memiliki dasar hukum. Khususnya mekanisme pengiriman benur yang mengharuskan eksportir harus menjadi anggota asosiasi ekspor dengan biaya angkut yang lebih mahal.
“Ternyata itu tidak ada dasar hukumnya, jadi orang kalau mau jadi eksportir benih lobster itu harus masuk jadi anggota asosiasi, lalu hanya boleh kirim lewat kargo khusus di Jakarta dan Surabaya, ditambah lagi dengan harus bayar Rp1.800 per ekor, padahal jika tidak lewat kargo itu cukup Rp200 saja,” kata Effendi.
( )
Bahkan, kata dia, ada indikasi kekeliruan negara yang mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk ekspor yang ternyata tidak memiliki dasar hukum itu.
“Betul itu memungkinkan timbulnya korupsi, dari selisih biaya angkut Rp1.800 dengan Rp200 per ekor dikali saja dengan 37 juta ekor benur yang sudah dikirim, ada nilai sekitar Rp60 miliar, padahal itu tidak ada dasar hukumnya," kata dia.