BPJS Watch Beberkan Alasan Iuran BPJS Kesehatan Tak Pantas Naik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) memutuskan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan per 1 Juli 2020 yang dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) No 64 Tahun 2020 yang sekaligus merevisi Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Sementara, Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan untuk membatalkan kenaikan yang ditetapkan pemerintah sebelumnya atas iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) peserta mandiri karena dua pertimbangan hukum yaitu daya beli masyarakat yang masih rendah dan pelayanan BPJS kesehatan belum membaik.
(Baca Juga: Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan Peserta Mandiri)
Dengan dua pertimbangan hukum ini, maka Hakim MA membatalkan iuran peserta mandiri yang kelas 1 awalnya Rp160.000 diturunkan menjadi Rp80.000, kelas 2 yang awalnya Rp110.000 diturunkan jadi Rp51.000 dan klas 3 dari Rp42.000 menjadi Rp25.500.
"Dengan pertimbangan hukum ini seharusnya pemerintah berusaha bagaimana agar daya beli masyarakat ditingkatkan dan pelayanan BPJS Kesehatan juga ditingkatkan, baru lakukan kenaikan iuran JKN," ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan, dalam kondisi pandemi seperti ini sudah sangat jelas dan kasat mata bahwa daya beli masyarakat, termasuk peserta mandiri yang didominasi pekerja informal sangat jatuh. Pekerja informal pun kesulitan bekerja seperti biasa karena pandemi ini.
Di bagian lain, sambung Timboel, berbicara mengenai pelayanan BPJS Kesehatan, di masa pandemi Covid-19 ini menurutnya pelayanan malah cenderung menurun.
"Sebagai contoh yang banyak terjadi dan menjadi persoalan saat ini, seorang pasien JKN ketika harus dirawat inap harus melakukan test Covid-19, dan pasien diminta bayar Rp750.000 untuk test Covid-19 tersebut, padahal dengan sangat jelas di pasal 86 Perpres 82 tahun 2018 pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi. Ada pasien JKN yang karena tidak mampu bayar Rp750.000 terpaksa pulang, padahal seharusnya dirawat di RS. Si pasien meninggal di rumah. Masih banyak kasus lainnya yang tidak bisa saya sebut di sini," tandas Timboel.
(Baca Juga: BPJS Watch Sebut Perpres 64 Tahun 2020 Memberatkan Masyarakat)
Kemudian, ia memaparkan terkait Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS kesehatan di 2020. Pos Penerimaan ditargetkan Rp137 triliun, karena adanya putusan MA maka direvisi sehingga jadi Rp132 triliun.
Sementara, Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan untuk membatalkan kenaikan yang ditetapkan pemerintah sebelumnya atas iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) peserta mandiri karena dua pertimbangan hukum yaitu daya beli masyarakat yang masih rendah dan pelayanan BPJS kesehatan belum membaik.
(Baca Juga: Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan Peserta Mandiri)
Dengan dua pertimbangan hukum ini, maka Hakim MA membatalkan iuran peserta mandiri yang kelas 1 awalnya Rp160.000 diturunkan menjadi Rp80.000, kelas 2 yang awalnya Rp110.000 diturunkan jadi Rp51.000 dan klas 3 dari Rp42.000 menjadi Rp25.500.
"Dengan pertimbangan hukum ini seharusnya pemerintah berusaha bagaimana agar daya beli masyarakat ditingkatkan dan pelayanan BPJS Kesehatan juga ditingkatkan, baru lakukan kenaikan iuran JKN," ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar di Jakarta, Rabu (13/5/2020).
Lebih lanjut dia mengatakan, dalam kondisi pandemi seperti ini sudah sangat jelas dan kasat mata bahwa daya beli masyarakat, termasuk peserta mandiri yang didominasi pekerja informal sangat jatuh. Pekerja informal pun kesulitan bekerja seperti biasa karena pandemi ini.
Di bagian lain, sambung Timboel, berbicara mengenai pelayanan BPJS Kesehatan, di masa pandemi Covid-19 ini menurutnya pelayanan malah cenderung menurun.
"Sebagai contoh yang banyak terjadi dan menjadi persoalan saat ini, seorang pasien JKN ketika harus dirawat inap harus melakukan test Covid-19, dan pasien diminta bayar Rp750.000 untuk test Covid-19 tersebut, padahal dengan sangat jelas di pasal 86 Perpres 82 tahun 2018 pasien JKN tidak boleh diminta biaya lagi. Ada pasien JKN yang karena tidak mampu bayar Rp750.000 terpaksa pulang, padahal seharusnya dirawat di RS. Si pasien meninggal di rumah. Masih banyak kasus lainnya yang tidak bisa saya sebut di sini," tandas Timboel.
(Baca Juga: BPJS Watch Sebut Perpres 64 Tahun 2020 Memberatkan Masyarakat)
Kemudian, ia memaparkan terkait Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) BPJS kesehatan di 2020. Pos Penerimaan ditargetkan Rp137 triliun, karena adanya putusan MA maka direvisi sehingga jadi Rp132 triliun.