Dear Milenial, Awas Jangan Utang Buat Beli Saham
loading...
A
A
A
JAKARTA - Seminggu kemarin jagat media sosial (medsos) di Tanah Air dihebohkan oleh sejumlah investor yang rela berutang bahkan mau menggadaikan BPKB-nya untuk mencari untung di bursa saham.
Pandemi virus korona (Covid-19) secara tidak langsung turut mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia. Salah satu penyebabnya yaitu naiknya tingkat kesadaran (awareness) masyarakat terhadap instrument investasi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya peningkatan transaksi investor sebesar 73% di pasar modal Indonesia pada tahun 2020 dibandingkan dari tahun sebelumnya. Ketua OJK Wimboh Santoso mengatakan, jumlah investor pasar modal naik 56% dibandingkan tahun 2019 lalu menjadi 3,88 juta investor. Raihan itu didominasi oleh investor domestik yang berumur di bawah 30 tahun (kaum investor milenial) yang tercatat mencapai 54,79% dari total investor.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengaku tren investasi saham dan market investor sudah semakin membesar dan jangkauannya pun semakin meluas. “Sekarang ini tren investor ritel semakin ramai dan ini terlihat juga dari semakin banyaknya produk investasi ritel. Bahkan dari pemerintah juga membuat SUN dan SUKUK ritel karena pangsa pasar investor ritel ini sangat potensial. Dan salah satu tujuan mereka dalam berinvestasi adalah pasar saham,” kata Huda saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, saat ini aplikasi untuk berinvestasi saham juga sudah semakin beragam dan juga kian mudah dipakai. Cukup dari ponsel pintar (smartphone) kita sudah bisa transaksi jual beli saham. “Hal ini kemudian dilihat oleh generasi milenial sebagai hobi dan seketika berubah menjadi ‘gaya hidup’ baru. Kalau kita lihat generasi ini juga cenderung risk lovers. Asalkan suka dan keuntungannya besar dilakukan walaupun risikonya juga besar,” jelasnya.
Meski jumlah investor ritel terus bertambah, namun permasalahannya tingkat literasi keuangan yang masih rendah. Dari sejumlah kasus, beberapa diantaranya ada investor yang terlalu percaya diri. Misalnya ketika saham banyak yang ambruk, mereka langsung tidak siap menerima kerugian.
Literasi keuangan Indonesia masih di bawah 40% dan dengan demikian sebagian besar masyarakat belum memahami perencanaan keuangan (financial planning). Bahayanya mereka menggunakan dana sehari-hari untuk trading saham lalu hanya berharap keuntungan yang besar tapi tidak memperhitungkan risikonya.
Secara umum dia menjelaskan sebelum investasi pada saham, ada baiknya menyiapkan tabungan dana-dana penting sebagai contoh; Dana pendidikan, Dana kesehatan, Dana kebutuhan sehari-hari, Dana cadangan, Investasi yang fisik dahulu seperti rumah, emas, atau bangun bisnis. Baru setelah itu trading saham.
Pengamat keuangan Eko Endarto mengatakan masalah penggunaan uang pribadi untuk investasi adalah masalah klasik. Menurutnya ini biasa terjadi ketika masyarakat awam masuk ke dalam investasi yang tidak dia ketahui benar dari sisi risiko (risk) dan pengembaliannya (return).
Masyarakat hanya melihat dari sisi return dan menafikan adanya risiko. Padahal rumusnya jelas makin tinggi return maka potensi risk akan makin tinggi.
“Dan dalam investasi rumusnya jelas. Jangan pernah berinvestasi dengan uang utang. Karena investasi hasilnya tidak pasti sementara biaya pinjaman yaitu bunga adalah pasti,” ujar Eko mengingatkan.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan hal ini sebagai fenomena latah akibat ramainya influencer dan tokoh figure yang mempromosikan trading saham. Dampaknya tentu pada investor ritel yang tidak kuat dari segi finansialnya.
Seharusnya masyarakat paham investasi harus untuk jangka panjang dan bukan untuk minat sesaat. Selain itu investor harus bisa mengkalkulasi potensi untung dan kerugian. Terakhir pahami regulasinya dan mekanisme jual beli saham ini. “Jangan mau ikutan saja karena fenomena investasi sedang booming karena melihat harga saham sedang murah tapi tidak hati-hati. Jangan mau spekulasi jangka pendek,” kata Bhima.
Menurutnya semua pemahaman ini harus diluruskan dan jangan juga sampai berutang. Karena harga saham itu fluktuatif dan tergantung banyak faktor. Mulai dari makro ekonomi sampai isu di pasar modal. “Lebih baik kalau tabung uang gaji dengan rutin lalu setelah terkumpul baru diinvestasikan,” sarannya. (hafid fuad)
Pandemi virus korona (Covid-19) secara tidak langsung turut mendorong pertumbuhan pasar modal di Indonesia. Salah satu penyebabnya yaitu naiknya tingkat kesadaran (awareness) masyarakat terhadap instrument investasi.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat adanya peningkatan transaksi investor sebesar 73% di pasar modal Indonesia pada tahun 2020 dibandingkan dari tahun sebelumnya. Ketua OJK Wimboh Santoso mengatakan, jumlah investor pasar modal naik 56% dibandingkan tahun 2019 lalu menjadi 3,88 juta investor. Raihan itu didominasi oleh investor domestik yang berumur di bawah 30 tahun (kaum investor milenial) yang tercatat mencapai 54,79% dari total investor.
Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda mengaku tren investasi saham dan market investor sudah semakin membesar dan jangkauannya pun semakin meluas. “Sekarang ini tren investor ritel semakin ramai dan ini terlihat juga dari semakin banyaknya produk investasi ritel. Bahkan dari pemerintah juga membuat SUN dan SUKUK ritel karena pangsa pasar investor ritel ini sangat potensial. Dan salah satu tujuan mereka dalam berinvestasi adalah pasar saham,” kata Huda saat dihubungi di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, saat ini aplikasi untuk berinvestasi saham juga sudah semakin beragam dan juga kian mudah dipakai. Cukup dari ponsel pintar (smartphone) kita sudah bisa transaksi jual beli saham. “Hal ini kemudian dilihat oleh generasi milenial sebagai hobi dan seketika berubah menjadi ‘gaya hidup’ baru. Kalau kita lihat generasi ini juga cenderung risk lovers. Asalkan suka dan keuntungannya besar dilakukan walaupun risikonya juga besar,” jelasnya.
Meski jumlah investor ritel terus bertambah, namun permasalahannya tingkat literasi keuangan yang masih rendah. Dari sejumlah kasus, beberapa diantaranya ada investor yang terlalu percaya diri. Misalnya ketika saham banyak yang ambruk, mereka langsung tidak siap menerima kerugian.
Literasi keuangan Indonesia masih di bawah 40% dan dengan demikian sebagian besar masyarakat belum memahami perencanaan keuangan (financial planning). Bahayanya mereka menggunakan dana sehari-hari untuk trading saham lalu hanya berharap keuntungan yang besar tapi tidak memperhitungkan risikonya.
Secara umum dia menjelaskan sebelum investasi pada saham, ada baiknya menyiapkan tabungan dana-dana penting sebagai contoh; Dana pendidikan, Dana kesehatan, Dana kebutuhan sehari-hari, Dana cadangan, Investasi yang fisik dahulu seperti rumah, emas, atau bangun bisnis. Baru setelah itu trading saham.
Pengamat keuangan Eko Endarto mengatakan masalah penggunaan uang pribadi untuk investasi adalah masalah klasik. Menurutnya ini biasa terjadi ketika masyarakat awam masuk ke dalam investasi yang tidak dia ketahui benar dari sisi risiko (risk) dan pengembaliannya (return).
Masyarakat hanya melihat dari sisi return dan menafikan adanya risiko. Padahal rumusnya jelas makin tinggi return maka potensi risk akan makin tinggi.
“Dan dalam investasi rumusnya jelas. Jangan pernah berinvestasi dengan uang utang. Karena investasi hasilnya tidak pasti sementara biaya pinjaman yaitu bunga adalah pasti,” ujar Eko mengingatkan.
Dihubungi terpisah, pengamat ekonomi Bhima Yudhistira mengatakan hal ini sebagai fenomena latah akibat ramainya influencer dan tokoh figure yang mempromosikan trading saham. Dampaknya tentu pada investor ritel yang tidak kuat dari segi finansialnya.
Seharusnya masyarakat paham investasi harus untuk jangka panjang dan bukan untuk minat sesaat. Selain itu investor harus bisa mengkalkulasi potensi untung dan kerugian. Terakhir pahami regulasinya dan mekanisme jual beli saham ini. “Jangan mau ikutan saja karena fenomena investasi sedang booming karena melihat harga saham sedang murah tapi tidak hati-hati. Jangan mau spekulasi jangka pendek,” kata Bhima.
Menurutnya semua pemahaman ini harus diluruskan dan jangan juga sampai berutang. Karena harga saham itu fluktuatif dan tergantung banyak faktor. Mulai dari makro ekonomi sampai isu di pasar modal. “Lebih baik kalau tabung uang gaji dengan rutin lalu setelah terkumpul baru diinvestasikan,” sarannya. (hafid fuad)
(her)