Mengejar Travel Bubble

Rabu, 27 Januari 2021 - 06:10 WIB
loading...
Mengejar Travel Bubble
Pemerintah terus berupaya mengembalikan tingkat kunjungan wisatawan. FOTO/ WIN CAHYONO
A A A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia berusaha keras untuk membangkitkan dunia pariwisata yang terpuruk karena pandemi Covid-19 . Salah satu upaya yang tengah disiapkan travel bubble . Langkah ini diharapkan bisa menjadi solusi strategis mengejar target 4-7 juta wisatawan asing pada 2021.

Keseriusan pemerintah menyiapkan travel bubble ditunjukkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dengan mengunjungi Kawasan Bintan, Kepulauan Riau untuk melihat kesiapan Indonesia dalam menerapkan travel bubble.

Sandiaga yang melihat sejumlah fasilitas beserta penerapan protokol kesehatan (CHSE) di Lagoa Resort menilai pariwisata Indonesia telah siap menerapkan travel bubble.

"Saya menilai protokol kesehatan yang diterapkan sudah ketat dan disiplin, mulai dari tiba di pelabuhan hingga ke beberapa tempat destinasi wisata yang saya kunjungi seperti Treasure Bay dan sebuah kapal yang disulap menjadi hotel bernama Doulos Phos," kata Sandiaga dalam keterangan resminya, Minggu (24/1).

(Baca juga: Menparekraf Ajak Milenial Jadi Pionir Penerapan Pariwisata Berkelanjutan )

Rencananya,hasil kunjungan kerja tersebut akan menjadi bahan masukan bagi Kemenparekraf, instansi terkait, kementerian dan lembaga, termasuk Satgas Covid-19 dalam perispan Indonesia membuka sektor pariwisata secara limited dengan konsep travel bubble.

Sebagai informasi, Indonesia mengincar kesepakatan travel bubble dengan empat negara yaitu China, Korea Selatan, Jepang, dan Australia. Melalui konsep ini, negara-negara yang membangun kesepakatan bersama akan memudahkan penduduk masing-masing a melakukan perjalanan secara bebas dan menghindari kewajiban karantina mandiri. Tantangan utama dalam implementasi travel bubble adalah bagaimana mereka bisa memperkecil ruang gerak Covid-19.

(Baca juga: BPKP Kawal Akuntabilitas Program Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif )

Pada KTT ke-37 ASEAN di bulan November 2020 lalu. Indonesia bersama negara-negara ASEAN menyepakati ASEAN Travel Corridor Arrangement Framework. Namun gelembung perjalanan antar negara-negara di ASEAN ini hanya akan berlaku untuk perjalanan bisnis penting di negara anggota ASEAN serta diperkirakan baru akan berjalan pada kuartal pertama 2021.

Sebelumnya, Staf Khusus Bidang Reformasi Birokrasi dan Regulasi Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ari Juliano Gema menerangkan travel bubble itu bagian dari Travel Corridor Arrangement (TCA) yang melibat berbagai negara. Untuk memuluskan rencana tersebut,

Kemenparekraf mendorong para pelaku pariwisata menerapkan cleanliness, health, safety, dan environment sustainability (CHSE). Kemenparekraf akan memberikan sertifikat bagi pelaku usaha yang telah menjalankan CHSE.

Ari menuturkan tujuan penerapan CHSE ini agar para pelaku dan daerah wisata mendapatkan kepercayaan dari publik. Apalagi setelah pandemi Covid-19, tren wisata diprediksi akan berubah. Para pelancong baik mancanegara maupun domestik akan berhati-hati dalam melakukan perjalanan.

“Tujuannya, kita melihat lebih ke alam terbuka karena memang sirkulasi udaranya lebih baik dan menghindari kerumunan. Kalau tempat kecil lebih memungkinkan kerumunan. Kalau di alam terbuka itu bisa lebih luas. Sirkulasi udaranya bagus. Wisatawan akan mengedepankan kebersihan, kesehatan, keselamatan, dan kelestarian lingkungan,” paparnya.

(Baca juga: Menparekraf Sebut Big Data Bagian dari Pariwisata Indonesia )

Membangkitkan wisata memang menjadi salah satu tantangan terberat. Hal ini karena sektor tersebut salah satu paling terdampak pandemi. Berdasar proyeksi Kemenparekraf, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tahun 2020 anlok 74,7 persen. Penurunan ini terjadi akibat banyaknya pembatasan perjalanan yang ditetapkan negara-negara di dunia akibat pandemi Covid-19.

Berdasarkan data dari Kemenparekraf, jumlah kunjungan wisman tahun 2020 adalah sekitar 4 juta orang. Walaupun jumlah tersebut memenuhi target 2,8–4 juta kunjungan wisman, namun jumlah tersebut kontras dibanding jumlah kunjungan tahun 2019, yakni 16,10 juta kunjungan.Padahal, target wisatawan asing pada 2020 adalah 18 juta orang.

Anjloknya kunjungan wisman secara otomatis berdampak pada devisa tahun 2020, yakni hanya senilai 3,54 milyar dolar AS. Adapun target dari Kemenparekraf sejumlah 3,3– 4,9 miliar dolar AS. Jumlah tersebut menurun cukup drastis dari pencapaian tahun 2019, yakni devisa senilai 16,9 milyar dolar Amerika.

Dukungan Dunia Usaha
Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) mendukung gagasan travel bubble yang digaungkan pemerintah untuk menggenjot pariwisata di masa pandemi Covid-19. “Ini sangat kita harapkan untuk destinasi tertentu karena tidak semua destinasi yang ada di Indonesia itu bisa hidup hanya dengan wisatawan domestik. Misalnya di Bali, Bintan,” kata Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran.

Dia menuturkan kehadiran wisatawan asing sangat diharapkan sejumlah daerah yang selama ini menjadi destinasi seperti Bali. Selama pandemi, okupansi hotel di Bali hanya 25-30 %. Kondisi ini terjadi karena 60% penginapan atau hotel di daerah tersebut berasal dari wisatawan asing.

“Intinya, kalau kita hanya sekadar gerakkan domestik ke Bali, okupansi hotel di sana paling tinggi hanya 25-30 persen. Tidak mungkin akan mencapai lebih dari itu karena jumlah hotel atau suplai kamar yang ada dengan beragam kelasnya, mayoritas yang menghuni adalah wisman,” terang dia.

Atas dasar pertimbangan tersebut, Yusran mendukung rencana kebijakan travel bubble yang dikeluarkan atas kesepakatan antarnegara tertentu untuk sektor pariwisata dengan tetap mengedepankan protokol kesehatan. “Itu cukup baik. Kita sangat berharap. Kita justru menunggu itu,” ujarnya.

Khusus wilayah yang menjadi konsentrasi travel bubble ini, PHRI mendorong penanganan kasus Covid-19 dan pengawasan protokol kesehatan harus ditingkatkan. Dengan begitu, ada kepercayaan dari wisman untuk kembali datang ke Indonesia.“Jadi harus ada strategi yang dibuat ke destinasi khusus. Itu yang kita harapkan dengan adanya travel bubble. Jadi tidak dipukul rata seluruh Indonesia. Bisa repot,” tambah dia.

Dia pun menegaskan hotel dan restoran sudah siap mengikuti bila nantinya travel bubble jadi dilakukan. Hanya saja, PHRI ingin mendapatkan kepastian kapan kebijakan tersebut dijalankan.’’Semua pelaku akomodasi ini kan investasinya gede juga, jadi kita selalu wait and see dulu terhadap suatu kebijakan tertentu. Misalnya, sudah kepastian kebijakan dari pemerintah. Harus ada jarak, enggak bisa dadakan, semua terencana. Jangan sampai market jadi enggak trust sehingga reservasi jadi drop,” tegasnya

Untuk diketahui, konsep travel bubble awalnya diterapkan di antara anggota Uni Eropa (UE). Munculnya varian baru Covid-19 di Inggris, menjadikan travel bubble di UE menjadi kacau balau.

Namun konsep ini ternyata masih relevan diterapkan dalam kondisi pandemi, melalui kesepakatan yang diambil antar-negara yang relatif sukses mengendalikan pandemi. Seperti Hong Kong, pada awal September lalu membuka travel bubble dengan enam negara yakni Jerman, Prancis, Swiss, Vietnam, Malaysia dan Singapura.

Ke depannya, Hong Kong juga akan membuka travel bubble dengan Jepang, Thailand, Korea Selatan, Australia dan Selandia Baru. Hong Kong beranggapan bahwa negara tersebut sukses dalam mengendalikan virus korona seperti Hong Kong.

Taiwan yang juga disebut sukses mengatasi pandemi juga membuka travel bubble dengan sekutunya yakni negara Pasifik, Palau. Taiwan sudah mengirimkan delegasi ke Palau untuk menjajaki kemungkinan travel bubble untuk menghidupkan kembali industri pariwisata di kedua belah pihak.

"Ide untuk memulai mengizinkan perjalanan bukan untuk membuka semua perbatasan bagi semua orang, tetapi negara membentuk zona perjalanan bebas," kata Per Block, peneliti mobilitas sosial dari Universitas Oxford. Syarat paling umum untuk travel bubble adalah negara yang tidak lagi memiliki kasus baru Covid-19.

Namun demikian, travel bubble tetap memiliki risiko besar. Seperti diungkapkan Amir Attaran, profesor hukum dan epidemiologi di Universitas Ottawa, Kanada, mengungkapkan mengukur kesuksesan dalam penanganan pandemi merupakan hal sulit. "Saya tidak berpikir Kanada sukses jika dibandingkan Amerika Serikat. Kita juga gagal," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Association of The Indonesian Tours and Travel Agencies (ASITA) Budijanto Ardiansjah menilai implementasi travel bubble akan bergantung dari grafik Covid-19 Indonesia. Dalam konteks saat ini, dia melihat langkah tersebut sulit diterapkan.

“Saya rasanya kita belum bisa bicara travel bubble kalau grafik Covid-19 masih 10.000-an per hari. Siapa yang mau (datang)? Ini kan harus ada asas resiprokal. Negara yang sparing dengan kita pasti enggak mau kalau masih tinggi,” ujarnya saat dihubungi Koran SINDO, Selasa (26/1/2021).

Budijanto lantas menuturkan, selain tiga daerah di atas, travel bubble akan difokuskan pada lima destinasi super prioritas. Kelima wilayah itu adalah Danau Toba, Likupang, Borobudur, Mandalika, dan Labuan Bajo. Dia menjelaskan beberapa negara Eropa, Asia, dan Timur Tengah, sudah menyatakan ketertarikan untuk segera berwisata ke Tanah Air. “Eropa itu market klasik, seperti Jerman, Belanda, dan Spanyol. Timur Tengah itu Arab Saudi, Bahrain. Juga ada Maroko dan Mesir,” paparnya.
(ynt)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1732 seconds (0.1#10.140)