Fenomena Banyak Hotel Dijual dan UMKM Tutup Bikin Cemas Ekonom

Rabu, 10 Februari 2021 - 18:01 WIB
loading...
Fenomena Banyak Hotel Dijual dan UMKM Tutup Bikin Cemas Ekonom
Tren penjualan aset usaha serta bangkrutnya banyak UMKM dinilai menunjukkan kondisi ekonomi tengah sulit dan perlu penanganan pemerintah. Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Ekonom mengkhawatirkan tren penjualan hotel ataupun bangkrutnya usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) sebagai tanda Indonesia menuju kurva L dalam masa pemulihan ekonomi nasional. Karena itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan pelaku usaha dalam masa survival saat ini.

"Ini berarti pertumbuhan ekonomi tidak bisa bangkit karena pelaku usaha menjual aset-asetnya dan akan sangat sulit untuk membeli kembali nanti," ujar Ekonom UI dan Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal dalam live streaming di Jakarta, Rabu (10/2/2021).



Karena itu, Fithra menyarankan agar dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dialokasikan untuk subsidi minimal 25% biaya operasional pelaku usaha. "Agar mereka tidak menjual asetnya dan nanti akan sulit untuk bangkit kembali. Kita ingin kurva ekonomi bisa bentuk V daripada L yang berarti tidak bangkit lagi," ujarnya.

Namun, dia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan menuju ke kisaran 4%-6% pada tahun 2021 seperti yang diproyeksikan. "Intervensi kesehatan seperti vaksinasi akan mempercepat pemulihan konsumsi serta mengembalikan potensi investasi yang lebih luas. Lalu, intervensi fiskal dengan menambah stimulus hingga dua kali lipat di tahun 2021 akan menggairahkan sektor UMKM," jelas Fithra.

Sementara itu pengamat ekonomi dari Indef Bhima Yudhistira mengatakan pertumbuhan ekonomi pada kuartal ke IV yang -2,19% (yoy) atau -2,07% full year 2020 menunjukkan bahwa pemerintah gagal dalam mengendalikan pandemi sehingga masyarakat masih menahan untuk berbelanja. Kelompok pengeluaran menengah dan atas berperan hingga 83% dari total konsumsi nasional.

"Untuk memulihkan permintaan kelompok ini kuncinya adalah penanganan pandemi, hal ini yang tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah," kata Bhima.



Menurutnya kebijakan New Normal yang dipaksakan terbukti blunder, di satu sisi ada dorongan agar masyarakat bisa beraktivitas dengan protokol kesehatan, tapi PSBB jalan terus operasional berbagai jenis usaha dibatasi.

"Ini kebijakan abnormal. Kebijakan yang maju mundur membuat kepercayaan konsumen jadi turun. Ada vaksin, ada new normal tapi kenapa ada PPKM? Kenapa kasus harian masih tinggi? Ini jadi pertanyaan di benak konsumen," lanjutnya.

Meskipun ada vaksinasi yang mulai mengangkat optimisme pelaku usaha dan konsumen di akhir tahun 2020, tapi timbul pesimisme terkait jenis vaksin yang digunakan selain itu ada masalah kecepatan distribusi vaksin yang butuh waktu tidak sebentar.

Selain itu kembali diberlakukannya PPKM jilid I menggerus kepercayaan konsumen lebih dalam. "Jadi optimisme pemulihan ekonomi yang lebih cepat dipangkas sendiri oleh kebijakan pemerintah," tandasnya.
(fai)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2246 seconds (0.1#10.140)