Hati-Hati, Restrukturisasi Kredit Bisa Ganggu Likuiditas Perbankan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyebaran virus coronavirus disease 2019 (COVID-19) memang begitu masif. Dampaknya bukan hanya dirasakan dari sisi kesehatan saja. Virus ini juga telah merusak kondisi ekonomi. Banyak masayarakat, pengusaha yang kesusahan untuk melaksanakan kewajibannya kepada bank.
Untuk itulah kemudian Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan aturan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus perekonomian sebagai kebijakan Countercyclical. Aturan inilah yang jadi acuan untuk melakukan restrukturisasi kredit. Artinya nasabah atau debitur yang terdampak Virus Cofid 19 mendapatkan keringanan pembayaran kredit baik pokok maupun bunganya.
Catatan terakhir dari OJK menyatakan, per 11 Mei 2020 sudah ada 90 bank yang telah memberikan restrukturisasi kredit kepada 4,33 juta debitur terdampak Covid-19. Nilai kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 391,18 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan dari total kredit yang direstrukturisasi, sebanyak 3,76 debitur merupakan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dengan nilai kredit mencapai Rp 190,30 triliun. Baca juga: Dana Restrukturisasi Kredit UMKM Disiapkan Mencapai Rp87,59 Triliun
Heru memperkiraan nantinya akan ada sebanyak 102 bank yang berpotensi menjalankan program restrukturisasi kredit ini. Potensi jumlah debitur yang mendapat keringanan kredit akan mencapai 14,6 juta dengan outstanding kredit sebesar Rp 1.275,3 triliun.
Perkiraan total nilai kredit yang direstrukturisasi itu ternyata lebih kecil dibandingkan prediksi yang dibuat oleh Gita Wiryawan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Menurut mantan Menteri Perdagangan ini, sekarang nilai kredit yang perlu direstrukturisasi mencapai 25% dari total kredit perbankan atau setara sekitar Rp1.500 triliun.
Seiring berjalannya waktu kebutuhan dana untuk restrukturisasi kredit akan terus bertambah. Ia pun memproyeksikan kebutuhan dana restukturisasi bakal mencapai sekitar Rp3000 triliun atau 45% dari total kredit perbankan. Gita pun mengingatkan, program restrukturisasi kredit menjadi penting untuk menjaga keberlangsungan perekonomian nasional di tengah pandemi Covid-19. Pasalnya, kredit juga dianggap sebagai sisi pasok yang sangat dibutuhkan saat ini bagi banyak pelaku usaha.
Jika nilai kredit yang mesti direstrukturisasi sebesar itu, sudah pasti akan berdamapk serius buat kreditur dalam hal ini perbankan. Menurut Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sunarso, restrukturisasi kredit ini akan mempengaruhi bank dari sisi likuiditas dan juga income (pendapatan).
Lukuiditas bank akan terganggu, karena nasabah yang kreditnya di rerstrukturisasi mendapat penundaan pembayaran pokok hutangnya. “Tertundanya pembayaran pokok utang, jelas mempengaruhi likuiditas,”katanya.
Returkturisasi kredit juga akan membuat terutundanya pembayaran bunga kredit. Hal ini akan mengganggu income atau pendapatan bank. Jika nilai restukturisasi kredit akibat dampak virus corona mencapai ribuan triliun rupiah, likuiditas dan pendapatan bank memang benar-benar dalam ancaman serius.
Masih ingat, Krismon 1998 yang melanda Indonesia, mengakibatkan bank kekurangan likuiditas, karena dirush nasabahnya. Akibatnya ratusan bank harus ditutup. Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di perbankan, Bank Indonesia (BI) pun harus mengucurkan Bantuan Likuiditas BI )BLBI) kepada bank sebesar Rp 144,536 triliun. Seperti diketahui akhirnya penyaluran BLBI di 1998 ini jadi skandal keuangan yang membuat heboh negeri ini.
Lalu restukturisasi kredit sebesar itu juga akan mempengaruhi pendapatan (income) bank. Seperti diketahui bunga bank merupaan pendapatan utama dari perbankan. Jika sampai anjlok akan mempengaruhi operasional bank. Bank akan mengantisipasinya dengan melakukan efisiensi besar-besaran. Tidak hanya itu, ganguan dari sisi pendapatan ini berpotensi membuat bank merugi. Jika bank sampai merugi, ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat (nasabah).
Bantuan Pemerintah
Nasabah tidak percaya dengan bank, lalu mereka pun menarik dananya, timbullah rush. Ujung-ujungnya kembali lagi mempengaruhi likuiditas perbankan. Tidak hanya nasabah, kepercayaan dari mitra bisnis lainnya juga akan tergerus. harap dingat pengalaman membuktikan masalah likuiditas yang terjadi pada perbankan berdampak sangat serius pada perekonomian nasional.
Itu sebabnya, Sunarso menegaskan perlu ada solsui kongkrit untuk mengatasi likuiditas dan income bank yang tergangu, karena menjalankan restrukturisasi kredit. Menurutnya ada dua hal yang bisa dilakukan mengatasi persoalan ini.
Pertama, bank yang melakukan restrukturisasi kredit mendapat bantuan dari pemerintah. Bentuknya bukan lagi BLBI seperti di era 1998, namun penempatan dana pemerintah. Jadi seperti penempatan dana pihak ketiga. Bentuknya bisa saja berupa deposito atau yang lainya. “Intiya ada dana yang ditempatkan di bank untuk membantu kebutuhan likuiditas yang terganggu karena tertundanya pembayaran pokok kredit dari nasabah,”jelas Sunarso.
Menurut Sunarso, Kebijakan ini masih diatur. Masih dibahas oleh otoritas keuangan, meski Peraturan Pemerintah (PP) sudah terbit. yakni Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Penempatan dana untuk membantu likuiditas ini akan memunculkan bank peserta dan juga bank pelaksana (jangkar). Baca juga: Restrukturisasi Kredit, Pelaku Industri Tunggu OJK Tunjuk Bank Jangkar
Untuk diketahui, bank jangkar akan menjadi bank yang menerima penempatan dana dari Kemenkeu. Jumlah dananya mencapai Rp35 triliun dan akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Nantinya, dana sebesar itu disalurkan Bank Jangkar ke perbankan yang disebut Bank Pelaksana guna restrukturisasi kredit dan pemberian kredit modal kerja baru bagi UMKM.
Solusi kedua, menurut Sunarso, bank mencari sendiri dana untuk membantu likuiditasnya. “Boleh jadi nantinya dua solusi ini digunakan smuanya oleh bank,”katanya.
Di BRI sendiri hingga Kuartal I 2020 suah melakukan restrukturisasi kredit kepada 1,4 juta nasabah dengan nilai kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 101 triliun. Nah, bantuan likuiditas dari pemerintah yang nantinya ditempatkan ke BRI mungkin tidak akan sebesar itu, sehingga BRI memang harus berupaya sendiri mencari kekuranganya.
Upaya itu memang membuahkan hasil. Juni nanti BRI akan mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 miliar dalam skema club loan. Dana ini pun cukup murah karena bunganya hanya 1,5% saja. Dana dari club loan ini berasal dari 10 bank regional Asia, Eropa, dan Amerika.
Adapun skema restrukturisasai kredit yang dijalankan oleh BRI tetap mengacu pada POJK Nomor 11/POJK.03/2020. Seperti nasabah BRI yang mengalami penurunan omzet antara 30% hingga 50% akan mendapatkan penundaan pembayaran bunga dan angsuran pokok selama 6 bulan.
Untuk nasabah yang mengalami penurunan omzet 50% sampai 75% mendapatkan penundaan pembayaran bunga selama 6 bulan dan penundaan angsuran pokok selama 12 bulan. Sementara bagi debitur yang mengalami penurunan omset di atas 75% mendapatkan penundaan pembayaran bunga selama 12 bulan dan penundaan angsuran pokok selama 12 bulan.
Untuk nasabah kredit consumer, Bank BUMN ini juga telah menyiapkan 3 skenario. Bagi yang mengalami penurunan penghasilan sampai dengan 10%, penurunan antara 10% hingga 30% dan penurunan penghasilan di atas 30%. Alternatifnya yakni perpanjangan jangka waktu kredit maksimal 12 bulan, penundaan pembayaran angsuran pokok serta penundaan pembayaran angsuran pokok dan bunga.
Perseroan juga memberikan dua skenario relaksasi kredit bagi debitur segmen menengah ke atas. Debitur yang mengalami penurunan omzet sampai dengan 20% dan tidak terdampak fluktuasi kurs akan mendapatkan penjadwalan angsuran pokok dan penurunan suku bunga.
Untuk debitur yang mengalami penurunan omzet hingga 20% dan atau terdampak fluktuasi kurs akan mendapatkan penjadwalan angsuran pokok dan penurunan suku bunga minimum dengan skema deferred payment.
Dari bank BUMN, BRI tidak sendiri. Bank milik pemerintah lainnya juga telah melakukan restrukturisasi kredit. Hingga 24 April lalu tercatat, Bank Mandiri telah merestrukturisasi kredit senilai Rp 19,04 triliun dari 63.202 debitur. Demikian juga dengan Bank BNI yang telah merestrukturisasi kredit dari 50.505 debitur senilai Rp 39,44 triliun. Sedangkan Bank BTN telah restrukturisasi Rp 4,64 triliun dari 24.730 debitur.
Bank milik pemerintah memang berada di garda paling depan dalam menjalankan program restrukturisasi kredit. Bank memang perlu berhati-hati dalam menjalankan program ini, jangan sampai malah mendapat masalah serius dikemudian hari.
Untuk itulah kemudian Otoritas Jasa Keuangan menerbitkan aturan POJK Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus perekonomian sebagai kebijakan Countercyclical. Aturan inilah yang jadi acuan untuk melakukan restrukturisasi kredit. Artinya nasabah atau debitur yang terdampak Virus Cofid 19 mendapatkan keringanan pembayaran kredit baik pokok maupun bunganya.
Catatan terakhir dari OJK menyatakan, per 11 Mei 2020 sudah ada 90 bank yang telah memberikan restrukturisasi kredit kepada 4,33 juta debitur terdampak Covid-19. Nilai kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 391,18 triliun.
Kepala Eksekutif Pengawasan Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan dari total kredit yang direstrukturisasi, sebanyak 3,76 debitur merupakan pelaku usaha mikro, kecil dan menengah dengan nilai kredit mencapai Rp 190,30 triliun. Baca juga: Dana Restrukturisasi Kredit UMKM Disiapkan Mencapai Rp87,59 Triliun
Heru memperkiraan nantinya akan ada sebanyak 102 bank yang berpotensi menjalankan program restrukturisasi kredit ini. Potensi jumlah debitur yang mendapat keringanan kredit akan mencapai 14,6 juta dengan outstanding kredit sebesar Rp 1.275,3 triliun.
Perkiraan total nilai kredit yang direstrukturisasi itu ternyata lebih kecil dibandingkan prediksi yang dibuat oleh Gita Wiryawan, Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Menurut mantan Menteri Perdagangan ini, sekarang nilai kredit yang perlu direstrukturisasi mencapai 25% dari total kredit perbankan atau setara sekitar Rp1.500 triliun.
Seiring berjalannya waktu kebutuhan dana untuk restrukturisasi kredit akan terus bertambah. Ia pun memproyeksikan kebutuhan dana restukturisasi bakal mencapai sekitar Rp3000 triliun atau 45% dari total kredit perbankan. Gita pun mengingatkan, program restrukturisasi kredit menjadi penting untuk menjaga keberlangsungan perekonomian nasional di tengah pandemi Covid-19. Pasalnya, kredit juga dianggap sebagai sisi pasok yang sangat dibutuhkan saat ini bagi banyak pelaku usaha.
Jika nilai kredit yang mesti direstrukturisasi sebesar itu, sudah pasti akan berdamapk serius buat kreditur dalam hal ini perbankan. Menurut Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) Sunarso, restrukturisasi kredit ini akan mempengaruhi bank dari sisi likuiditas dan juga income (pendapatan).
Lukuiditas bank akan terganggu, karena nasabah yang kreditnya di rerstrukturisasi mendapat penundaan pembayaran pokok hutangnya. “Tertundanya pembayaran pokok utang, jelas mempengaruhi likuiditas,”katanya.
Returkturisasi kredit juga akan membuat terutundanya pembayaran bunga kredit. Hal ini akan mengganggu income atau pendapatan bank. Jika nilai restukturisasi kredit akibat dampak virus corona mencapai ribuan triliun rupiah, likuiditas dan pendapatan bank memang benar-benar dalam ancaman serius.
Masih ingat, Krismon 1998 yang melanda Indonesia, mengakibatkan bank kekurangan likuiditas, karena dirush nasabahnya. Akibatnya ratusan bank harus ditutup. Untuk mengatasi kekurangan likuiditas di perbankan, Bank Indonesia (BI) pun harus mengucurkan Bantuan Likuiditas BI )BLBI) kepada bank sebesar Rp 144,536 triliun. Seperti diketahui akhirnya penyaluran BLBI di 1998 ini jadi skandal keuangan yang membuat heboh negeri ini.
Lalu restukturisasi kredit sebesar itu juga akan mempengaruhi pendapatan (income) bank. Seperti diketahui bunga bank merupaan pendapatan utama dari perbankan. Jika sampai anjlok akan mempengaruhi operasional bank. Bank akan mengantisipasinya dengan melakukan efisiensi besar-besaran. Tidak hanya itu, ganguan dari sisi pendapatan ini berpotensi membuat bank merugi. Jika bank sampai merugi, ini akan mempengaruhi kepercayaan masyarakat (nasabah).
Bantuan Pemerintah
Nasabah tidak percaya dengan bank, lalu mereka pun menarik dananya, timbullah rush. Ujung-ujungnya kembali lagi mempengaruhi likuiditas perbankan. Tidak hanya nasabah, kepercayaan dari mitra bisnis lainnya juga akan tergerus. harap dingat pengalaman membuktikan masalah likuiditas yang terjadi pada perbankan berdampak sangat serius pada perekonomian nasional.
Itu sebabnya, Sunarso menegaskan perlu ada solsui kongkrit untuk mengatasi likuiditas dan income bank yang tergangu, karena menjalankan restrukturisasi kredit. Menurutnya ada dua hal yang bisa dilakukan mengatasi persoalan ini.
Pertama, bank yang melakukan restrukturisasi kredit mendapat bantuan dari pemerintah. Bentuknya bukan lagi BLBI seperti di era 1998, namun penempatan dana pemerintah. Jadi seperti penempatan dana pihak ketiga. Bentuknya bisa saja berupa deposito atau yang lainya. “Intiya ada dana yang ditempatkan di bank untuk membantu kebutuhan likuiditas yang terganggu karena tertundanya pembayaran pokok kredit dari nasabah,”jelas Sunarso.
Menurut Sunarso, Kebijakan ini masih diatur. Masih dibahas oleh otoritas keuangan, meski Peraturan Pemerintah (PP) sudah terbit. yakni Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Penempatan dana untuk membantu likuiditas ini akan memunculkan bank peserta dan juga bank pelaksana (jangkar). Baca juga: Restrukturisasi Kredit, Pelaku Industri Tunggu OJK Tunjuk Bank Jangkar
Untuk diketahui, bank jangkar akan menjadi bank yang menerima penempatan dana dari Kemenkeu. Jumlah dananya mencapai Rp35 triliun dan akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Nantinya, dana sebesar itu disalurkan Bank Jangkar ke perbankan yang disebut Bank Pelaksana guna restrukturisasi kredit dan pemberian kredit modal kerja baru bagi UMKM.
Solusi kedua, menurut Sunarso, bank mencari sendiri dana untuk membantu likuiditasnya. “Boleh jadi nantinya dua solusi ini digunakan smuanya oleh bank,”katanya.
Di BRI sendiri hingga Kuartal I 2020 suah melakukan restrukturisasi kredit kepada 1,4 juta nasabah dengan nilai kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 101 triliun. Nah, bantuan likuiditas dari pemerintah yang nantinya ditempatkan ke BRI mungkin tidak akan sebesar itu, sehingga BRI memang harus berupaya sendiri mencari kekuranganya.
Upaya itu memang membuahkan hasil. Juni nanti BRI akan mendapat kucuran dana sebesar US$ 1 miliar dalam skema club loan. Dana ini pun cukup murah karena bunganya hanya 1,5% saja. Dana dari club loan ini berasal dari 10 bank regional Asia, Eropa, dan Amerika.
Adapun skema restrukturisasai kredit yang dijalankan oleh BRI tetap mengacu pada POJK Nomor 11/POJK.03/2020. Seperti nasabah BRI yang mengalami penurunan omzet antara 30% hingga 50% akan mendapatkan penundaan pembayaran bunga dan angsuran pokok selama 6 bulan.
Untuk nasabah yang mengalami penurunan omzet 50% sampai 75% mendapatkan penundaan pembayaran bunga selama 6 bulan dan penundaan angsuran pokok selama 12 bulan. Sementara bagi debitur yang mengalami penurunan omset di atas 75% mendapatkan penundaan pembayaran bunga selama 12 bulan dan penundaan angsuran pokok selama 12 bulan.
Untuk nasabah kredit consumer, Bank BUMN ini juga telah menyiapkan 3 skenario. Bagi yang mengalami penurunan penghasilan sampai dengan 10%, penurunan antara 10% hingga 30% dan penurunan penghasilan di atas 30%. Alternatifnya yakni perpanjangan jangka waktu kredit maksimal 12 bulan, penundaan pembayaran angsuran pokok serta penundaan pembayaran angsuran pokok dan bunga.
Perseroan juga memberikan dua skenario relaksasi kredit bagi debitur segmen menengah ke atas. Debitur yang mengalami penurunan omzet sampai dengan 20% dan tidak terdampak fluktuasi kurs akan mendapatkan penjadwalan angsuran pokok dan penurunan suku bunga.
Untuk debitur yang mengalami penurunan omzet hingga 20% dan atau terdampak fluktuasi kurs akan mendapatkan penjadwalan angsuran pokok dan penurunan suku bunga minimum dengan skema deferred payment.
Dari bank BUMN, BRI tidak sendiri. Bank milik pemerintah lainnya juga telah melakukan restrukturisasi kredit. Hingga 24 April lalu tercatat, Bank Mandiri telah merestrukturisasi kredit senilai Rp 19,04 triliun dari 63.202 debitur. Demikian juga dengan Bank BNI yang telah merestrukturisasi kredit dari 50.505 debitur senilai Rp 39,44 triliun. Sedangkan Bank BTN telah restrukturisasi Rp 4,64 triliun dari 24.730 debitur.
Bank milik pemerintah memang berada di garda paling depan dalam menjalankan program restrukturisasi kredit. Bank memang perlu berhati-hati dalam menjalankan program ini, jangan sampai malah mendapat masalah serius dikemudian hari.
(eko)