Mengapa Ibu Kota Harus Pindah? Ini Penjelasan Stafsus Sri Mulyani
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membeberkan alasan fundamental pemerintah menetapkan kebijakan pemindahan Ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Kalimantan Timur. Salah satu sebab adalah pembangunan Jawa Sentris yang beberapa dekade lamanya menjadi konsentrasi pemerintah terdahulu.
Staf Khusus (stafsus) Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menilai, langkah pemindahan Ibu Kota adalah afirmatif dari sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap pemerataan pembangunan ekonomi di kawasan Timur Indonesia. Selama ini, pemerataan ekonomi antara Barat dan Timur dianggap masih timpang.
"Ini sangat timpang (ekonomi). Kalau tidak segera kita atasi dengan sebuah kebijakan atau terobosan afirmatif, bagaimana kita mengelola negara ini, rasanya kita akan semakin tertinggal,” ujarnya dalam Webinar, Jumat (16/4/2021).
Dalam catatan Kemenkeu, 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) berasal dari Pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan jika kawasan Indonesia Timur belum secara maksimal memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) di lembaga perbankan, secara dominan masih berasal dari kawasan Pulau Jawa. Khusus untuk DKI Jakarta saja, persentase DPK berada di angka 91 persen atau setara Rp6.737 triliun.
Ihwal pembiayaan Ibu Kota Negara (IKN) baru ini berasal dari tiga sumber pendanaan. Dimana, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan Swasta.
Perihal pendanaan ini, Akademisi senior Universitas Indonesia (BI) sekaligus pengamat ekonomi Emil Salim, mengutip anggaran yang dicantumkan dalam draf Rancangan Undang-Undang IKN baru yang nantinya ditindaklanjuti oleh DPR.
Dalam dokumen itu, suntikan APBN sebesar Rp89,4 triliun, KPBU senilai Rp253,4 triliun, dan swasta mencapai Rp123,2 triliun. Dengan begitu total pembangunan IKN baru mencapai Rp466 triliun.
Staf Khusus (stafsus) Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menilai, langkah pemindahan Ibu Kota adalah afirmatif dari sikap pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terhadap pemerataan pembangunan ekonomi di kawasan Timur Indonesia. Selama ini, pemerataan ekonomi antara Barat dan Timur dianggap masih timpang.
"Ini sangat timpang (ekonomi). Kalau tidak segera kita atasi dengan sebuah kebijakan atau terobosan afirmatif, bagaimana kita mengelola negara ini, rasanya kita akan semakin tertinggal,” ujarnya dalam Webinar, Jumat (16/4/2021).
Dalam catatan Kemenkeu, 80 persen Produk Domestik Bruto (PDB) berasal dari Pulau Jawa. Hal ini mengindikasikan jika kawasan Indonesia Timur belum secara maksimal memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Sementara itu, Dana Pihak Ketiga (DPK) di lembaga perbankan, secara dominan masih berasal dari kawasan Pulau Jawa. Khusus untuk DKI Jakarta saja, persentase DPK berada di angka 91 persen atau setara Rp6.737 triliun.
Ihwal pembiayaan Ibu Kota Negara (IKN) baru ini berasal dari tiga sumber pendanaan. Dimana, Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dan Swasta.
Perihal pendanaan ini, Akademisi senior Universitas Indonesia (BI) sekaligus pengamat ekonomi Emil Salim, mengutip anggaran yang dicantumkan dalam draf Rancangan Undang-Undang IKN baru yang nantinya ditindaklanjuti oleh DPR.
Dalam dokumen itu, suntikan APBN sebesar Rp89,4 triliun, KPBU senilai Rp253,4 triliun, dan swasta mencapai Rp123,2 triliun. Dengan begitu total pembangunan IKN baru mencapai Rp466 triliun.