Awas! Dampak Emiten Gagal Bayar Surat Utang Bikin IHSG Loyo
loading...
A
A
A
Potensi gagal bayar kewajiban seperti yang terjadi pada sejumlah perusahaan tersebut, bukan tak mungkin merembet ke berbagai perusahaan lainnya. Berdasarkan data, ada ratusan surat utang, baik berupa obligasi, sukuk dan MTN yang diterbitkan berbagai perusahaan dan jatuh tempo sepanjang tahun ini.
Perusahaan yang menerbitkan surat utang tersebut, umumnya bergerak di sektor keuangan, infrastruktur, pertambangan dan property. Surat utang tersebut umumnya diterbitkan pada kurun waktu 2016-2019, sebelum perekonomian Indonesia dan global terimbas pandemic Covid-19.
Di awal penerbitan, surat utang tersebut umumnya mendapat rating investment grade, alias layak investasi dari sejumlah biro rating. Artinya, surat utang tersebut memiliki risiko yang terukur dengan imbal hasil yang menarik.
Namun, sangat memungkinkan, akibat badai Corona yang terjadi pada tahun lalu dan masih berlangsung hingga kini, membuat kondisi kinerja perusahaan tersebut bernasib serupa dengan yang terjadi pada SRIL, PBRX dan TDPM.
Menurut Head of Investment PT Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe, investor perlu meningkatkan kewaspadaannya terhadap surat utang korporasi, terutama yang sektor usahanya terdampak langsung Covid-19. Sebab, potensi gagal bayar surat utang oleh korporasi pada tahun ini berpotensi terus berlanjut.
Alasannya, pandemic yang terjadi sejak tahun lalu, telah menekan kinerja sebagian besar pelaku usaha. Hal itu tercermin dari tergerusnya keuntungan sebagian besar perusahaan pada kinerja 2020 yang berlangsung hingga kuartal pertama 2021.
“Tahun lalu, korporasi masih memiliki kemampuan membayar kewajiban, karena ditopang kinerja 2019, yang masih baik. Namun, tahun ini, kondisinya berbeda, karena rata-rata mengalami tekanan dampak Covid-19,” ujar Kiswoyo.
Di sisi lain, dia meminta regulator mengawasi manajemen korporasi yang gagal bayar kewajibannya dengan alasan terkena dampak covid-19. Sebab, tidak menutup kemungkinan adanya moral hazard yang dilakukan korporasi. Dalih terimbas Covid-19 bisa jadi dipakai sebagai kamuflase untuk menutupi ketidakmampuan manajemen dalam mengelola bisnisnya.
Bahkan, bisa saja, ada perusahaan yang memanfaatkan isu pandemi untuk meminjam dana publik tanpa berniat mengembalikannya, atau memberikan imbal hasil yang sangat rendah, dibawah bunga tabungan dan deposito.
Perusahaan yang menerbitkan surat utang tersebut, umumnya bergerak di sektor keuangan, infrastruktur, pertambangan dan property. Surat utang tersebut umumnya diterbitkan pada kurun waktu 2016-2019, sebelum perekonomian Indonesia dan global terimbas pandemic Covid-19.
Di awal penerbitan, surat utang tersebut umumnya mendapat rating investment grade, alias layak investasi dari sejumlah biro rating. Artinya, surat utang tersebut memiliki risiko yang terukur dengan imbal hasil yang menarik.
Namun, sangat memungkinkan, akibat badai Corona yang terjadi pada tahun lalu dan masih berlangsung hingga kini, membuat kondisi kinerja perusahaan tersebut bernasib serupa dengan yang terjadi pada SRIL, PBRX dan TDPM.
Menurut Head of Investment PT Reswara Gian Investa Kiswoyo Adi Joe, investor perlu meningkatkan kewaspadaannya terhadap surat utang korporasi, terutama yang sektor usahanya terdampak langsung Covid-19. Sebab, potensi gagal bayar surat utang oleh korporasi pada tahun ini berpotensi terus berlanjut.
Alasannya, pandemic yang terjadi sejak tahun lalu, telah menekan kinerja sebagian besar pelaku usaha. Hal itu tercermin dari tergerusnya keuntungan sebagian besar perusahaan pada kinerja 2020 yang berlangsung hingga kuartal pertama 2021.
“Tahun lalu, korporasi masih memiliki kemampuan membayar kewajiban, karena ditopang kinerja 2019, yang masih baik. Namun, tahun ini, kondisinya berbeda, karena rata-rata mengalami tekanan dampak Covid-19,” ujar Kiswoyo.
Di sisi lain, dia meminta regulator mengawasi manajemen korporasi yang gagal bayar kewajibannya dengan alasan terkena dampak covid-19. Sebab, tidak menutup kemungkinan adanya moral hazard yang dilakukan korporasi. Dalih terimbas Covid-19 bisa jadi dipakai sebagai kamuflase untuk menutupi ketidakmampuan manajemen dalam mengelola bisnisnya.
Bahkan, bisa saja, ada perusahaan yang memanfaatkan isu pandemi untuk meminjam dana publik tanpa berniat mengembalikannya, atau memberikan imbal hasil yang sangat rendah, dibawah bunga tabungan dan deposito.