Nasib Garuda ke Depannya: Terus Dipelihara atau Masuk Liang Kubur
loading...
A
A
A
Ndilalahnya, ada Citilink, yang notabene anak usaha Garuda, yang dianggap memiliki kinerja lebih oke dibanding sang induk. Daripada terseok-seok terus menerbangkan Garuda, kenapa tidak membesarkan Citilink. Ditambah lagi banyak "pakar" di Garuda yang dialihkan ke Citilink sehingga mampu memberikan kontribusi terbaiknya.
"Banyak senior Garuda diperbantukan di Citilink sampai dengan sekarang sehingga strategic Citilink menapak bumi dan straight on to market. Citilink going well. Citilink bisa jadi pengganti Garuda. Citilink kan pakai nama Citilink Indonesia, jadi tetap punya rasa flag carrier juga," kata Arista.
Opsi apa pun terhadap Garuda ada di tangan pemerintah. Pilihannya ada dua, menyelamatkan (anggap pilihan emosional) atau mematikannya (rasional). Jika ingin menyelamatkan Garuda, pemerintah harus siap "memelihara" Garuda dengan cara apa pun, meski kudu menyuapinya dalam jangka panjang.
Termasuk membayar sisa suntikan dana sebesar Rp7,5 triliun, dari yang dijanjikan sebesar Rp8,5 triliun. Dan pemerintah juga harus siap terus menginjeksi dana untuk Garuda ke depannya, sebab suntikan dana itu hanya sekitar 11% dari total utang.
Pilihan menyelamatkan itu juga diambil dengan dalih jangan sampai Garuda mati karena merupakan maskapai pemerintah yang punya nilai historis besar. Gengsi juga kalau sampai Garuda ditutup, mau ditaruh di mana wajah bangsa ini? Hendak mengatakan apa ke negara-negara tetangga yang juga memiliki maskapai serupa dan bernasib sama tapi tetap dijaga.
Pilihan mematikan bisa dilakukan Garuda karena melihat jeratan utang Garuda yang sulit diuraikan. Ditambah lagi kondisi keuangan pemerintah yang dibebani sejumlah persoalan dan mesti menyelesaikan prorgam-program pembangunan di luar Garuda. Masih ada lagi masalah, yaitu pandemi yang menghancurkan industri penerbangan hingga ke titik nadir yang belum bisa diprediksi kapan benar-benar berakhir.
Ingat, masih banyak juga BUMN yang menderita kerugian seperti Garuda. Mereka pun ramai-ramai minta diselamatkan dengan berbagai alasan.
Sebagai renungan saja. Sebelum pandemi menyerang, ketika pariwisata tengah booming apa yang dinikmati Garuda? Selama kurun 2009 hingga 2019, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung terus meningkat. Di tahun 2009 jumlah kunjungan "baru" tercatat sebanyak 6,32 juta wisman. Jumlah itu tiap tahun terus meningkat dan di tahun 2019 mencapai 16,11 juta orang.
Baca juga:Indonesia-Turki Kolaborasi Bangun Peralatan Tempur, Tank Harimau Jadi Bukti
Booming pariwisata selama 10 tahun terakhir itu bisa dibilang tak menetes ke Garuda. Baru pada tahun 2019, seperti Yenny Wahid katakan dalam twit berikutnya, Garuda mendapatkan laba sebesar USD19 juta.
"Banyak senior Garuda diperbantukan di Citilink sampai dengan sekarang sehingga strategic Citilink menapak bumi dan straight on to market. Citilink going well. Citilink bisa jadi pengganti Garuda. Citilink kan pakai nama Citilink Indonesia, jadi tetap punya rasa flag carrier juga," kata Arista.
Opsi apa pun terhadap Garuda ada di tangan pemerintah. Pilihannya ada dua, menyelamatkan (anggap pilihan emosional) atau mematikannya (rasional). Jika ingin menyelamatkan Garuda, pemerintah harus siap "memelihara" Garuda dengan cara apa pun, meski kudu menyuapinya dalam jangka panjang.
Termasuk membayar sisa suntikan dana sebesar Rp7,5 triliun, dari yang dijanjikan sebesar Rp8,5 triliun. Dan pemerintah juga harus siap terus menginjeksi dana untuk Garuda ke depannya, sebab suntikan dana itu hanya sekitar 11% dari total utang.
Pilihan menyelamatkan itu juga diambil dengan dalih jangan sampai Garuda mati karena merupakan maskapai pemerintah yang punya nilai historis besar. Gengsi juga kalau sampai Garuda ditutup, mau ditaruh di mana wajah bangsa ini? Hendak mengatakan apa ke negara-negara tetangga yang juga memiliki maskapai serupa dan bernasib sama tapi tetap dijaga.
Pilihan mematikan bisa dilakukan Garuda karena melihat jeratan utang Garuda yang sulit diuraikan. Ditambah lagi kondisi keuangan pemerintah yang dibebani sejumlah persoalan dan mesti menyelesaikan prorgam-program pembangunan di luar Garuda. Masih ada lagi masalah, yaitu pandemi yang menghancurkan industri penerbangan hingga ke titik nadir yang belum bisa diprediksi kapan benar-benar berakhir.
Ingat, masih banyak juga BUMN yang menderita kerugian seperti Garuda. Mereka pun ramai-ramai minta diselamatkan dengan berbagai alasan.
Sebagai renungan saja. Sebelum pandemi menyerang, ketika pariwisata tengah booming apa yang dinikmati Garuda? Selama kurun 2009 hingga 2019, jumlah wisatawan mancanegara (wisman) yang berkunjung terus meningkat. Di tahun 2009 jumlah kunjungan "baru" tercatat sebanyak 6,32 juta wisman. Jumlah itu tiap tahun terus meningkat dan di tahun 2019 mencapai 16,11 juta orang.
Baca juga:Indonesia-Turki Kolaborasi Bangun Peralatan Tempur, Tank Harimau Jadi Bukti
Booming pariwisata selama 10 tahun terakhir itu bisa dibilang tak menetes ke Garuda. Baru pada tahun 2019, seperti Yenny Wahid katakan dalam twit berikutnya, Garuda mendapatkan laba sebesar USD19 juta.