Rencana Aturan Tarif Safeguard Garmen Impor Dipertanyakan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Implementasi bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) atau safeguard untuk produk garmen impor dinilai sebagai langkah yang tidak tepat, karena berpotensi memicu inefisiensi. Ekonom UI sekaligus Direktur Eksekutif Next Policy, Fithra Faisal menilai safeguard hanya diperlukan ketika ada produksi dalam negeri yang terluka akibat masuknya produk luar negeri.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) saat ini tengah mengusulkan sejumlah tarif tindakan pengamanan perdagangan atau safeguard untuk produk-produk garmen impor. Tujuan dari wacana aturan ini sendiri adalah untuk melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari serbuan impor.
“Tapi, pertama itu harus dibuktikan dulu ya derajat lukanya seperti apa. Terus yang kedua jangan sampai ketika safeguard itu diterapkan, yang lebih banyak terjadi adalah berdampak pada sektor-sektor yang lain,” terang Fithra, Jumat (4/6/2021).
Secara sektoral, lanjut Fithra, Indonesia bisa manfaatkan keadaan pasca pandemi saat ini karena produk-produk Indonesia dan produk-produk China, misalnya, termasuk dalam hal ini garmen dan tekstil, sebenarnya semakin lama semakin komplementer, bukan semakin kompetitif.
“Ini perlu dipikirkan baik-baik. Pertama dampaknya ke perekonomian dalam negeri, itu juga harus dihitung baik-baik, yang mana secara empiris lebih banyak negatifnya,” tegasnya.
Kedua adalah dampak terhadap hubungan perdagangan Indonesia dengan negara-negara lain. Jangan sampai di kemudian hari terjadi aksi retaliasi lagi yang pada akhirnya justru merugikan kedua belah pihak.
Fithra juga mengatakan, bahwa jika ingin meningkatkan daya saing produk lokal dengan produk impor dengan cara menerapkan safeguard, maka kebijakan tersebut menjadi salah sasaran. Karena untuk meningkatkan daya saing, yang harus dilakukan bukanlah dengan cara mencegah barang lain masuk.
“Untuk meningkatkan daya saing adalah caranya hulu diperbaiki, pendidikan, matching antara kurikulum dengan industri, memperbaiki skill dari tenaga kerja gitu kan. Itu yang harus dilakukan, bukan membatasi,” terangnya.
Sementara Sekjen Hippindo, Haryanto Pratantara dalam kesempatan terpisah mengatakan, bahwa safeguard seharusnya ditujukan untuk produk garmen atau pakaian jadi yang diimpor secara illegal dan tidak membayar pajak yang seharusnya.
“Hal ini (safeguard) penting untuk melindungi produk lokal secara sehat, tetapi tidak untuk garmen atau pakaian jadi yang merupakan international/ global retail brands,” terang Haryanto, Jumat (5/6).
Menurutnya, garmen atau pakaian jadi yang merupakan internasional atau merek ritel global memiliki nilai dan target pasar tersendiri. Sehingga hal tersebut tidak bisa membuat konsumen otomatis beralih dari produk lokal.
“Yang terjadi nantinya adalah harga (pakaian) internasional global retail brands ini menjadi lebih mahal dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara,” lanjutnya.
Proses usulan tersebut sendiri saat ini sedang melewati tahapan di Kementerian Keuangan. Jika disetujui, kebijakan ini akan ditetapkan melalui Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) tentang pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) terhadap impor produk pakaian dan aksesori pakaian.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) saat ini tengah mengusulkan sejumlah tarif tindakan pengamanan perdagangan atau safeguard untuk produk-produk garmen impor. Tujuan dari wacana aturan ini sendiri adalah untuk melindungi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional dari serbuan impor.
“Tapi, pertama itu harus dibuktikan dulu ya derajat lukanya seperti apa. Terus yang kedua jangan sampai ketika safeguard itu diterapkan, yang lebih banyak terjadi adalah berdampak pada sektor-sektor yang lain,” terang Fithra, Jumat (4/6/2021).
Secara sektoral, lanjut Fithra, Indonesia bisa manfaatkan keadaan pasca pandemi saat ini karena produk-produk Indonesia dan produk-produk China, misalnya, termasuk dalam hal ini garmen dan tekstil, sebenarnya semakin lama semakin komplementer, bukan semakin kompetitif.
“Ini perlu dipikirkan baik-baik. Pertama dampaknya ke perekonomian dalam negeri, itu juga harus dihitung baik-baik, yang mana secara empiris lebih banyak negatifnya,” tegasnya.
Kedua adalah dampak terhadap hubungan perdagangan Indonesia dengan negara-negara lain. Jangan sampai di kemudian hari terjadi aksi retaliasi lagi yang pada akhirnya justru merugikan kedua belah pihak.
Fithra juga mengatakan, bahwa jika ingin meningkatkan daya saing produk lokal dengan produk impor dengan cara menerapkan safeguard, maka kebijakan tersebut menjadi salah sasaran. Karena untuk meningkatkan daya saing, yang harus dilakukan bukanlah dengan cara mencegah barang lain masuk.
“Untuk meningkatkan daya saing adalah caranya hulu diperbaiki, pendidikan, matching antara kurikulum dengan industri, memperbaiki skill dari tenaga kerja gitu kan. Itu yang harus dilakukan, bukan membatasi,” terangnya.
Sementara Sekjen Hippindo, Haryanto Pratantara dalam kesempatan terpisah mengatakan, bahwa safeguard seharusnya ditujukan untuk produk garmen atau pakaian jadi yang diimpor secara illegal dan tidak membayar pajak yang seharusnya.
“Hal ini (safeguard) penting untuk melindungi produk lokal secara sehat, tetapi tidak untuk garmen atau pakaian jadi yang merupakan international/ global retail brands,” terang Haryanto, Jumat (5/6).
Menurutnya, garmen atau pakaian jadi yang merupakan internasional atau merek ritel global memiliki nilai dan target pasar tersendiri. Sehingga hal tersebut tidak bisa membuat konsumen otomatis beralih dari produk lokal.
“Yang terjadi nantinya adalah harga (pakaian) internasional global retail brands ini menjadi lebih mahal dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara,” lanjutnya.
Proses usulan tersebut sendiri saat ini sedang melewati tahapan di Kementerian Keuangan. Jika disetujui, kebijakan ini akan ditetapkan melalui Peraturan Kementerian Keuangan (PMK) tentang pengenaan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) terhadap impor produk pakaian dan aksesori pakaian.
(akr)