Covid Menggila, Pengenaan Pajak Multi Tarif Sebaiknya Ditunda

Minggu, 20 Juni 2021 - 07:38 WIB
loading...
Covid Menggila, Pengenaan...
Foto/Ilustrasi
A A A
JAKARTA - Pemulihan ekonomi dengan bersender pada reformasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) multitarif menimbulkan pro dan kontra pada sejumlah pihak. Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal tidak setuju pemberian pajak pada kalangan menengah ke atas diberikan saat situsasi negara sedang digerus pandemi Covid-19.

Dia mengatakan, pemberian pajak pada sejumlah sektor seperti produk-produk premium dan jasa klinik kecantikan yang dikonsumsi kalangan menengah ke atas dinilai tidak tepat diberikan pada kondisi sekarang. Sebab, menurutnya, dalam situasi seperti ini ekonomi masyarakat tidak dalam keadaan baik.

“Kebijakan seperti pajak untuk kalangan menengah atas, itu saya tidak terlalu setuju. Saya pikir ditunda dulu dalam kondisi yang seperti ini. Harus dimatangkan dulu konsepnya,” katanya kepada MNC Portal Indonesia, Sabtu (19/6/2021).



Menurut dia, pemerintah bisa menerapkan perpajakan saat kondisi pandemi Covid-19 tidak mengganas. Sebagai gantinya, pemerintah bisa mengambil pajak dari sektor-sektor tertentu.

“Program pemerintah dengan melakukan reformasi pajak ini kan dilakukan saat kondisi lonjakan tidak terlalu parah. Makanya pemerintah ambil langkah memulihkan ekonomi dengan mengambil pajak dari sektor-sektor tertentu. Tapi realitanya sekarang kan kasus Covid-19 sedang tinggi-tingginya. Jadi saya rasa ditahan dulu lah pengenaan pajak multitarif ini,” ucapnya.

Sementara itu, Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo, mengungkapkan tarif PPN multitarif mungkin terlihat rumit karena pemerintah akan membeda-bedakan tarif pajak untuk setiap barang dan jasa. Dengan begitu, tarif PPN nantinya tidak sama dan tunggal sebesar 10 persen seperti saat ini.



Menurutnya, skema tarif PPN multitarif ini justru memberikan keuntungan karena lebih adil. Misalnya, untuk barang yang memang dibutuhkan masyarakat luas sehari-hari bisa dibuat rendah.

"Sementara barang yang bernilai premium bisa dipajaki lebih tinggi karena hanya dikonsumsi oleh kalangan terbatas, khususnya orang kaya," ujarnya.
(ind)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1805 seconds (0.1#10.140)