Hati-hati!, Aturan Wajib Beli Listrik Energi Terbarukan Bisa Bebani Negara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah perlu memastikan wacana kewajiban pembelian listrik dari pembangkit energi terbarukan oleh badan usaha milik negara (BUMN) tidak menambah beban fiskal negara. Kewajiban tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan ( RUU EBT )
Berdasarkan rumusan RUU EBT terkini, masih terdapat poin kewajiban bagi badan usaha milik negara untuk membeli listrik dari energi terbarukan. Tak pelak, hal ini membebani PT PLN (Persero), keuangan negara hingga masyarakat.
Untuk itu, pemerintah dan DPR diminta mempertimbangkan poin kewajiban pembelian listrik dari EBT dalam pembahasan RUU EBT. Anggota Komisi VII DPR RI, Andi Yuliani Paris meminta, keseriusan pemerintah untuk membahas RUU EBT.
Dengan begitu rancangan beleid ini dapat disahkan pada akhir Desember 2021. Hanya saja, lanjutnya, ada beberapa poin dalam RUU EBT yang masih memerlukan masukan publik.
"Ini yang kami ingin mendengar komentarnya. Ada tambahan di Pasal 40 disebutkan terdapat kewajiban BUMN terhadap pembelian listrik energi terbarukan. Kalau ada kewajiban, biasanya ada sanksi yang mengikuti," ujar Andi dalam Bincang-Bincang METI yang digelar secara virtual dengan tajuk "Apa Kabar RUU EBT?"
Di sisi lain, pada poin berikutnya, dijelaskan bahwa pemerintah pusat dapat menugaskan badan usaha milik swasta yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk memberi tenaga listrik yang dihasilkan. Dalam ayat kedua terkandung kata dapat, bisa dimaknai berbeda. "Jadi berbeda, kalau BUMN harus membeli," tambahnya.
Akan tetapi, ia menilai kewajiban membeli listrik berasal dari energi terbarukan justru akan menyebabkan kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN. Hal ini karena harga beli listrik EBT lebih mahal dari rata-rata BPP PLN sehingga ada risiko kinerja keuangan PLN bakal jeblok karena membeli listrik dengan harga yang lebih tinggi.
"Soal subsidi harga, kita tahu untuk harga EBT belum dapat bersaing dengan harga energi lainnya," ucap Andi.
Berdasarkan rumusan RUU EBT terkini, masih terdapat poin kewajiban bagi badan usaha milik negara untuk membeli listrik dari energi terbarukan. Tak pelak, hal ini membebani PT PLN (Persero), keuangan negara hingga masyarakat.
Untuk itu, pemerintah dan DPR diminta mempertimbangkan poin kewajiban pembelian listrik dari EBT dalam pembahasan RUU EBT. Anggota Komisi VII DPR RI, Andi Yuliani Paris meminta, keseriusan pemerintah untuk membahas RUU EBT.
Dengan begitu rancangan beleid ini dapat disahkan pada akhir Desember 2021. Hanya saja, lanjutnya, ada beberapa poin dalam RUU EBT yang masih memerlukan masukan publik.
"Ini yang kami ingin mendengar komentarnya. Ada tambahan di Pasal 40 disebutkan terdapat kewajiban BUMN terhadap pembelian listrik energi terbarukan. Kalau ada kewajiban, biasanya ada sanksi yang mengikuti," ujar Andi dalam Bincang-Bincang METI yang digelar secara virtual dengan tajuk "Apa Kabar RUU EBT?"
Di sisi lain, pada poin berikutnya, dijelaskan bahwa pemerintah pusat dapat menugaskan badan usaha milik swasta yang memiliki wilayah usaha ketenagalistrikan untuk memberi tenaga listrik yang dihasilkan. Dalam ayat kedua terkandung kata dapat, bisa dimaknai berbeda. "Jadi berbeda, kalau BUMN harus membeli," tambahnya.
Akan tetapi, ia menilai kewajiban membeli listrik berasal dari energi terbarukan justru akan menyebabkan kelebihan pasokan listrik dan membengkaknya biaya pokok penyediaan listrik (BPP) PLN. Hal ini karena harga beli listrik EBT lebih mahal dari rata-rata BPP PLN sehingga ada risiko kinerja keuangan PLN bakal jeblok karena membeli listrik dengan harga yang lebih tinggi.
"Soal subsidi harga, kita tahu untuk harga EBT belum dapat bersaing dengan harga energi lainnya," ucap Andi.