OJK: Sektor Jasa Keuangan Wajib Punya Pedoman Keuangan Berkelanjutan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun panduan manajemen risiko terkait perubahan iklim . Panduan akan mewajibkan semua pelaku sektor jasa keuangan mempunyai pedoman internal dan business plan yang terkait dengan pelaksanaan dari berbagai kebijakan keuangan berkelanjutan.
“OJK akan memasukkan risk management on climate change ini sebagai salah satu basis dalam pengawasan lembaga keuangan dan perbankan,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso Ph.D dalam acara webinar Katadata SAFE Forum 2021, Kamis (26/8/2021).
Rencana itu merupakan bagian dari peta jalan atau Roadmap Keuangan Berkelanjutan tahap II (2021-2025) yang telah disusun OJK sebagai upaya untuk mendorong ekonomi berkelanjutan melalui inisiatif keuangan berkelanjutan.
Menurut Wimboh, inisiatif keuangan berkelanjutan sudah harus dilakukan, karena jika tidak dilakukan maka akan ada biaya yang lebih mahal yang harus dibayarkan. “Karena itu, lebih bagus kita bersiap dari pada nanti cost nya cukup besar bagi generasi ke depan,” ujar Wimboh.
Ia juga mengapresiasi para pelaku sektor keuangan yang telah menjadi pelopor pembiayaan berkelanjutan atau green financing di Indonesia. Antara lain PT SMI yang telah menerbitkan obligasi hijau (green bond) sebesar RP 500 miliar, Bank BRI yang menerbitkan sustainability green bond sebesar USD1,92 miliar dan Bank Mandiri dengan green bond senilai USD300 juta.
Salah satu perbankan yang juga telah menjalankan komitmen untuk mengedepankan pendanaan hijau atau berkelanjutan di Indonesia, adalah Bank DBS Indonesia. Menurut Corporate Banking Director PT Bank DBS Indonesia Kurnady Lie, sejak 2017 bank ini sudah mulai menginisiasi sustainable financing.
Lalu pada tahun 2021, DBS secara keseluruhan telah membiayai 9,6 miliar dolar Singapura dengan skema pembiayaan hijau. Bahkan DBS menargetkan untuk menggelontorkan sustainable financing ini sebesar 50 miliar dolar Singapura pada 2024.
Untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia, tahun lalu DBS telah membantu perusahaan di bidang geothermal dengan menerbitkan green bond sebesar Rp 500 miliar lebih. Awal tahun ini kita juga membantu sebuah perusahaan pakan ternak dengan menerbitkan sustainability link bond sebesar us350 juta dolar AS.
“Jadi kami sangat aktif, dan ke depan kami berharap lebih banyak menggarap green financing ini,” kata Kurnady di acara webinar yang sama.
Kurnady menambahkan, untuk debitur juga ada benefitnya. Debitor yang dinilai comply terhadap penilaian ramah lingkungan, akan mendapatkan bunga yang lebih rendah.
Sementara itu, pembicara lain yaitu Presiden Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad. Ia menjelaskan bahwa sebagai lembaga keuangan pihaknya selalu berusaha memanfaatkan sumber-sumber pendanaan, salah satunya pasar modal. Upaya SMI menerbitkan obligasi hijau pertama di Indonesia pada 2018 merupakan bagian dari upaya diversifikasi sumber-sumber pendanaan.
“Hasilnya memang tidak besar, penerbitan pertama Rp 500 miliar. Tapi itu akan mendorong kami untuk melakukan penyaluran pembiayaan ke arah proyek-proyek yang sifatnya lebih ramah lingkungan,” ujar Edwin.
Hasil obligasi hijau 2018 dari SMI itu telah digunakan untuk proyek-proyek ramah lingkungan, yaitu pembangunan pembangkit listrik minihidro Tunggang di Bengkulu, dan juga di Lubuk Gadang yang telah rampung. Serta, proyek transportasi LRT Jabodebek yang diperkirakan usai di pertengahan 2022.
“OJK akan memasukkan risk management on climate change ini sebagai salah satu basis dalam pengawasan lembaga keuangan dan perbankan,” kata Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso Ph.D dalam acara webinar Katadata SAFE Forum 2021, Kamis (26/8/2021).
Rencana itu merupakan bagian dari peta jalan atau Roadmap Keuangan Berkelanjutan tahap II (2021-2025) yang telah disusun OJK sebagai upaya untuk mendorong ekonomi berkelanjutan melalui inisiatif keuangan berkelanjutan.
Menurut Wimboh, inisiatif keuangan berkelanjutan sudah harus dilakukan, karena jika tidak dilakukan maka akan ada biaya yang lebih mahal yang harus dibayarkan. “Karena itu, lebih bagus kita bersiap dari pada nanti cost nya cukup besar bagi generasi ke depan,” ujar Wimboh.
Ia juga mengapresiasi para pelaku sektor keuangan yang telah menjadi pelopor pembiayaan berkelanjutan atau green financing di Indonesia. Antara lain PT SMI yang telah menerbitkan obligasi hijau (green bond) sebesar RP 500 miliar, Bank BRI yang menerbitkan sustainability green bond sebesar USD1,92 miliar dan Bank Mandiri dengan green bond senilai USD300 juta.
Salah satu perbankan yang juga telah menjalankan komitmen untuk mengedepankan pendanaan hijau atau berkelanjutan di Indonesia, adalah Bank DBS Indonesia. Menurut Corporate Banking Director PT Bank DBS Indonesia Kurnady Lie, sejak 2017 bank ini sudah mulai menginisiasi sustainable financing.
Lalu pada tahun 2021, DBS secara keseluruhan telah membiayai 9,6 miliar dolar Singapura dengan skema pembiayaan hijau. Bahkan DBS menargetkan untuk menggelontorkan sustainable financing ini sebesar 50 miliar dolar Singapura pada 2024.
Untuk perusahaan-perusahaan di Indonesia, tahun lalu DBS telah membantu perusahaan di bidang geothermal dengan menerbitkan green bond sebesar Rp 500 miliar lebih. Awal tahun ini kita juga membantu sebuah perusahaan pakan ternak dengan menerbitkan sustainability link bond sebesar us350 juta dolar AS.
“Jadi kami sangat aktif, dan ke depan kami berharap lebih banyak menggarap green financing ini,” kata Kurnady di acara webinar yang sama.
Kurnady menambahkan, untuk debitur juga ada benefitnya. Debitor yang dinilai comply terhadap penilaian ramah lingkungan, akan mendapatkan bunga yang lebih rendah.
Sementara itu, pembicara lain yaitu Presiden Direktur PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad. Ia menjelaskan bahwa sebagai lembaga keuangan pihaknya selalu berusaha memanfaatkan sumber-sumber pendanaan, salah satunya pasar modal. Upaya SMI menerbitkan obligasi hijau pertama di Indonesia pada 2018 merupakan bagian dari upaya diversifikasi sumber-sumber pendanaan.
“Hasilnya memang tidak besar, penerbitan pertama Rp 500 miliar. Tapi itu akan mendorong kami untuk melakukan penyaluran pembiayaan ke arah proyek-proyek yang sifatnya lebih ramah lingkungan,” ujar Edwin.
Hasil obligasi hijau 2018 dari SMI itu telah digunakan untuk proyek-proyek ramah lingkungan, yaitu pembangunan pembangkit listrik minihidro Tunggang di Bengkulu, dan juga di Lubuk Gadang yang telah rampung. Serta, proyek transportasi LRT Jabodebek yang diperkirakan usai di pertengahan 2022.
(akr)