Lawan Peredaran Barang KW

Senin, 01 November 2021 - 06:43 WIB
loading...
A A A
Substansi dari kerja sama itu mengutamakan pertukaran data antara DJKI dengan Ditjen Bea Cukai. Lewat sinergi itu, ia berharap dapat menambah populasi daftar hak cipta di lembaganya yang masih minim. Hingga saat ini, hak cipta yang sudah direkomendasi di Bea Cukai berjumlah 16 merek dan satu hak cipta dari lima perusahaan yang terdiri atas empat perusahaan dari dalam negeri dan satu asing.

Askolani lebih lanjut menjelaskan, pihaknya sejauh ini telah menindak pelanggaran kekayaan intelektual di wilayah kepabeanan. Ada dua merek barang yang terbukti melanggar kekayaan intelektual dan berhasil digagalkan di dua pelabuhan.

Penindakan pertama dilakukan pada 2019 terhadap produk palsu berupa pulpen Standard AE7 di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Kemudian pada 2020, penindakan dilakukan di Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang berupa ratusan produk cukur rambut merek Gillete.

Hal itu ditegaskan juga dari laporan kinerja tahunan DJKI Kemenkumham di tahun lalu, di mana Ditjen Bea Cukai bersama instansi terkait telah melakukan pemeriksaan fisik barang impor yang dicurigai melanggar HaKI merek terdaftar di Pelabuhan Tanjung Emas pada Oktober 2020. Pemeriksaan ini bermula dari temuan petugas bea cukai Tanjung Emas berupa 185 karton yang berisi 390.000 tangkai pisau cukur dan 521.280 kepala pisau cukur yang diimpor oleh PT LBA dari China.

Adapun Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) membuka pintu bagi pihak manapun, termasuk pengaduan terhadap produk palsu atau bajakan. Namun, Ketua Komisi Advokasi BPKN Rolas Budiman Sitinjak menilai belum ada laporan yang masuk dari masyarakat, pelaku usaha, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) terkait maraknya peredaran produk palsu (KW) terutama yang melanggar HKI.

“Sampai sekarang, belum ada pengaduan masyarakat ke kami. Seharusnya kalau memang barangnya dipalsukan, harusnya pelaku usaha bisa mengadukan. Sejauh ini belum ada,” kata Rolas saat dihubungi kemarin.

Peredaran barang palsu yang melanggar HKI diakuinya merupakan sebuah fakta yang tidak dimungkiri masih marak terjadi. Namun, menurut Rolas, pemerintah sudah membuat regulasi atau aturan main, termasuk melakukan sosialisasi agar membeli produk asli ketimbang bajakan.

Rolas mengungkapkan, pada dasarnya undang-undang yang berkaitan dengan HKI lebih berasaskan pada delik aduan, di mana harus ada terlebih dahulu pihak yang mengadu. “Artinya, harus ada dari korban. Sementara, kalaupun yang disebut para korban itu masyarakat, padahal masyarakat sudah tahu yang dibeli itu KW 1, KW 2, KW 3, KW super, artinya enggak asli kan. Menurut saya, pelaku usaha yang harusnya lebih banyak melakukan edukasi kepada konsumennya masing-masing,” ujarnya.

Rolas kemudian menegaskan dukunganya kepada pemerintah untuk menindak tegas terhadap produk palsu yang marak dijual, baik di toko offline maupun online. Dia mengapresiasi kinerja pemerintah yang sudah berupaya keras dalam melindungi HKI, termasuk melakukan razia dan penindakan terhadap pelanggar.

“Ditjen HKI sudah cukup oke, mereka sangat kooperatif ketika ada pengaduan yang masuk. Jadi tahun 2022 diadakan razia, penegakan dan lain-lain itu sah-sah saja. Tapi dari tahun-tahun sebelumnya, pemerintah, Ditjen HKI sudah bekerja keras,” terang dia.
Halaman :
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1015 seconds (0.1#10.140)