Rugikan Negara, Produsen Rokok Ilegal Harus Ditindak Tegas
loading...
A
A
A
JAKARTA - Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) menyoroti kenaikan tarif cukai berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dengan rokok ilegal semakin lebar. Berdasarkan riset Indodata 2021 peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen atau estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp 53,18 triliun.
"Sejatinya kondisi industri hasil tembakau legal tidak sedang baik-baik saja. Inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi riil IHT legal nasional saat ini," kata Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan melalui pernyataannya, di Jakarta, Kamis (27/1/2022).
Menurut dia saat ini penindakan rokok ilegal yang dilakukan pemerintah belum dapat mengungkap sampai ke ranah hulu. Pasalnya, meningkatnya peredaran rokok ilegal makin merugikan penerimaan negara, dan merugikan produsen rokok legal serta berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat karena kualitas rokok ilegal tidak terkontrol mulai dari bahan bakunya sampai proses produksinya.
Sebab itu, untuk melawan perdagangan rokok ilegal, Henry Najoan mendorong pemerintah dengan mempertimbangkan pendekatan multi-metode, termasuk membangun kemitraan, meningkatkan validitas dan keandalan data, meluncurkan kampanye pendidikan dan kesadaran publik, meningkatkan upaya peningkatan kapasitas, dan memprioritaskan intensifikasi pemberantasan peredaran rokok ilegal.
Kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun ini, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan industri hasil tembakau nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau, dan menjaga kelangsungan investasi.
"Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini berdampak negatif bagi kelangsungan industri rokok yang legal, potensi PHK tenaga kerja, petani tembakau, dan bahkan kesehatan yang dijadikan tirani oleh kebijakan cukai," kata Henry.
Berikutnya, kehadiran Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Bab VII Cukai, Pasal 40B Ayat (1) menyatakan Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai. Pada Ayat (2) dinyatakan dalam hal hasil penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, diselesaikan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Dalam konteks itu, Henry Najoan menengarai bahwa pelanggaran atas rokok ilegal menggunakan azas ultimum remedium (mengesampingkan pidananya), sehingga ada kesan seolah pemerintah justru menggelar karpet merah atau memberikan insentif bagi rokok ilegal.
"Jika dugaan itu benar, seharusnya sanksi tegas diberikan bagi pelaku rokok ilegal sehingga memberikan efek jera, bukan diselesaikan secara administratif yang punya kesan negotiable dengan mengesampingkan pidana," terang Henry Najoan.
Berdasarkan kajian Tim GAPPRI (2019), dampak ekonomi dari keberadaan industri rokok terhadap perekonomian Indonesia cukup besar. Pada 2019, diperkirakan output yang tercipta dari keberadaan industri ini mencapai Rp 840,9 triliun.
Juga keberadaan industri rokok akan berdampak pada peningkatan nilai tambah ekonomi yang diukur oleh Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pada 2019, keberadaan industri rokok diperkirakan berkontribusi pada penciptaan PDB sebesar Rp 454,8 triliun.
Nilai tersebut setara dengan 2,9 persen PDB 2019. PDB tersebut terkumpul dari hampir seluruh aktifitas perekonomian, karena begitu luasnya keterkaitan langsung dan tidak langsung industri rokok, dan kontribusinya bagi penciptaan pendapatan rumah tangga nasional sebesar Rp 141 triliun,” terang Henry Najoan.
Sementara, penciptaan lapangan kerja diperkirakan sebanyak 4,6 juta orang. Dari segi penerimaan negara, diperkirakan pemerintah pusat menerima pajak tidak langsung sebesar Rp 91,3 triliun rupiah, cukai hasil tembakau sebesar Rp188,8 triliun pada tahun 2021 dan sejumlah pajak penghasilan badan, pajak penghasilan karyawan, dan PPN.
Sayangnya, kenaikan tarif cukai yang eksesif 2 tahun ini, berdampak negatif pada PDB industri hasil tembakau legal dan perekonomian secara umum, mengingat keterkaitan rantai nilai industri hasil tembakau legal sangat panjang. Merujuk data resmi GAPPRI, sejak tahun 2019 ke tahun 2021 khusus hanya PDB riil industri hasil tembakau legal turun sekitar Rp8,4 triliun, artinya terjadi penurunan produksi yang diukur secara moneter.
Kendati dimasukkan inflasi dan faktor kenaikan harga lainnya yang terlihat pada nilai PDB nominal, PDB nominal IHT pada tahun 2020 turun sebesar Rp 5,03 triliun, sementara pada tahun 2021 turun lagi sebesar Rp 4 triliun.
"Sejatinya kondisi industri hasil tembakau legal tidak sedang baik-baik saja. Inilah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan situasi riil IHT legal nasional saat ini," kata Ketua Umum Perkumpulan GAPPRI Henry Najoan melalui pernyataannya, di Jakarta, Kamis (27/1/2022).
Menurut dia saat ini penindakan rokok ilegal yang dilakukan pemerintah belum dapat mengungkap sampai ke ranah hulu. Pasalnya, meningkatnya peredaran rokok ilegal makin merugikan penerimaan negara, dan merugikan produsen rokok legal serta berdampak negatif bagi kesehatan masyarakat karena kualitas rokok ilegal tidak terkontrol mulai dari bahan bakunya sampai proses produksinya.
Sebab itu, untuk melawan perdagangan rokok ilegal, Henry Najoan mendorong pemerintah dengan mempertimbangkan pendekatan multi-metode, termasuk membangun kemitraan, meningkatkan validitas dan keandalan data, meluncurkan kampanye pendidikan dan kesadaran publik, meningkatkan upaya peningkatan kapasitas, dan memprioritaskan intensifikasi pemberantasan peredaran rokok ilegal.
Kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun ini, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan industri hasil tembakau nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau, dan menjaga kelangsungan investasi.
"Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini berdampak negatif bagi kelangsungan industri rokok yang legal, potensi PHK tenaga kerja, petani tembakau, dan bahkan kesehatan yang dijadikan tirani oleh kebijakan cukai," kata Henry.
Berikutnya, kehadiran Undang Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pada Bab VII Cukai, Pasal 40B Ayat (1) menyatakan Pejabat Bea dan Cukai berwenang melakukan penelitian dugaan pelanggaran di bidang cukai. Pada Ayat (2) dinyatakan dalam hal hasil penelitian dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administratif di bidang cukai, diselesaikan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang cukai.
Dalam konteks itu, Henry Najoan menengarai bahwa pelanggaran atas rokok ilegal menggunakan azas ultimum remedium (mengesampingkan pidananya), sehingga ada kesan seolah pemerintah justru menggelar karpet merah atau memberikan insentif bagi rokok ilegal.
"Jika dugaan itu benar, seharusnya sanksi tegas diberikan bagi pelaku rokok ilegal sehingga memberikan efek jera, bukan diselesaikan secara administratif yang punya kesan negotiable dengan mengesampingkan pidana," terang Henry Najoan.
Berdasarkan kajian Tim GAPPRI (2019), dampak ekonomi dari keberadaan industri rokok terhadap perekonomian Indonesia cukup besar. Pada 2019, diperkirakan output yang tercipta dari keberadaan industri ini mencapai Rp 840,9 triliun.
Juga keberadaan industri rokok akan berdampak pada peningkatan nilai tambah ekonomi yang diukur oleh Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pada 2019, keberadaan industri rokok diperkirakan berkontribusi pada penciptaan PDB sebesar Rp 454,8 triliun.
Nilai tersebut setara dengan 2,9 persen PDB 2019. PDB tersebut terkumpul dari hampir seluruh aktifitas perekonomian, karena begitu luasnya keterkaitan langsung dan tidak langsung industri rokok, dan kontribusinya bagi penciptaan pendapatan rumah tangga nasional sebesar Rp 141 triliun,” terang Henry Najoan.
Sementara, penciptaan lapangan kerja diperkirakan sebanyak 4,6 juta orang. Dari segi penerimaan negara, diperkirakan pemerintah pusat menerima pajak tidak langsung sebesar Rp 91,3 triliun rupiah, cukai hasil tembakau sebesar Rp188,8 triliun pada tahun 2021 dan sejumlah pajak penghasilan badan, pajak penghasilan karyawan, dan PPN.
Sayangnya, kenaikan tarif cukai yang eksesif 2 tahun ini, berdampak negatif pada PDB industri hasil tembakau legal dan perekonomian secara umum, mengingat keterkaitan rantai nilai industri hasil tembakau legal sangat panjang. Merujuk data resmi GAPPRI, sejak tahun 2019 ke tahun 2021 khusus hanya PDB riil industri hasil tembakau legal turun sekitar Rp8,4 triliun, artinya terjadi penurunan produksi yang diukur secara moneter.
Kendati dimasukkan inflasi dan faktor kenaikan harga lainnya yang terlihat pada nilai PDB nominal, PDB nominal IHT pada tahun 2020 turun sebesar Rp 5,03 triliun, sementara pada tahun 2021 turun lagi sebesar Rp 4 triliun.
(nng)