KPPU Segera Selidiki Produsen Minyak Goreng karena Terindikasi Kartel
loading...
A
A
A
Sementara itu, kebijakan yang ditetapkan Kementerian Perdagangan berupa domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) hingga harga eceran tertinggi minyak goreng dirasa akan memberikan efek domino yang cukup panjang.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, sejak diberlakukannya Permendag Nomor 6/2022 yang mewajibkan pengusaha memenuhi 20% kebutuhan domestik di tengah lonjakan harga CPO dunia membuat pengusaha menentukan sikap wait and see.
Sikap tersebut membuat bahan baku pabrik minyak goreng tidak tersedia karena saling menahan dan berdampak pada perusahaan yang berada di industri CPO serta mengurangi membeli CPO ke petani. Hal ini tentu berdampak langsung pada ekspor yang menyumbang pemasukan yang tidak sedikit.
"Saling menahan sehingga berdampak banyak perusahaan industri CPO mengurangi pembelian CPO ke petani. Kami khawatir ekspor akan mengalami penurunan dan cenderung sudah dibaca oleh market bahwa harga akan tinggi," kata Tauhid.
Tentu kondisi tersebut akan berimplikasi pada pungutan ekspor CPO yang mencapai Rp70 triliun. Tauhid menyebutkan hal tersebut kemungkinan besar akan berdampak terhadap keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Jadi, memang kebijakan yang dilakukan pemerintah, terutama permendag ini dampaknya akan luar biasa ke petani, industri pabrik minyak goreng, dan konsumen," bebernya.
Tauhid melanjutkan, di dalam peraturan tersebut yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana bisa mengefektifkannya, mengingat banyak perusahaan sawit, sekitar 2.000 hingga 8.000, untuk industri CPO. Apakah hal tersebut dapat diatur sedemikian rupa sehingga tidak menekan satu pihak dalam rencana sharing the pain atau berbagi beban tersebut.
"Apakah petani yang harus menanggung, terutama perusahaan sawit atau juga industri CPO dan juga perusahaan refinery ekspornya atau juga pabrik minyak goreng, misalnya masing-masing dikurangi keuntungannya secara rata dan adil. Bisa juga sharing the pain yang ternyata akhirnya dibebankan ke tandan buah segar (TBS) baik untuk petani atau perusahaan sawit," ungkapnya.
Tauhid menunjukkan, selama sharing the pain masih belum ketemu banyak kemungkinan bahan TBS belum diolah secara optimal pada situasi harga bergejolak seperti sekarang. Melihat problematika tersebut, ini harus dicarikan solusinya.
"Yang masih menjadi masalah lain adalah sharing the pain ini mampu dilakukan oleh pelaku industri minyak goreng yang disinyalir oligopoli atau ada monopoli," tambahnya.
Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengatakan, sejak diberlakukannya Permendag Nomor 6/2022 yang mewajibkan pengusaha memenuhi 20% kebutuhan domestik di tengah lonjakan harga CPO dunia membuat pengusaha menentukan sikap wait and see.
Sikap tersebut membuat bahan baku pabrik minyak goreng tidak tersedia karena saling menahan dan berdampak pada perusahaan yang berada di industri CPO serta mengurangi membeli CPO ke petani. Hal ini tentu berdampak langsung pada ekspor yang menyumbang pemasukan yang tidak sedikit.
"Saling menahan sehingga berdampak banyak perusahaan industri CPO mengurangi pembelian CPO ke petani. Kami khawatir ekspor akan mengalami penurunan dan cenderung sudah dibaca oleh market bahwa harga akan tinggi," kata Tauhid.
Tentu kondisi tersebut akan berimplikasi pada pungutan ekspor CPO yang mencapai Rp70 triliun. Tauhid menyebutkan hal tersebut kemungkinan besar akan berdampak terhadap keuangan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
"Jadi, memang kebijakan yang dilakukan pemerintah, terutama permendag ini dampaknya akan luar biasa ke petani, industri pabrik minyak goreng, dan konsumen," bebernya.
Tauhid melanjutkan, di dalam peraturan tersebut yang menjadi pekerjaan rumah adalah bagaimana bisa mengefektifkannya, mengingat banyak perusahaan sawit, sekitar 2.000 hingga 8.000, untuk industri CPO. Apakah hal tersebut dapat diatur sedemikian rupa sehingga tidak menekan satu pihak dalam rencana sharing the pain atau berbagi beban tersebut.
"Apakah petani yang harus menanggung, terutama perusahaan sawit atau juga industri CPO dan juga perusahaan refinery ekspornya atau juga pabrik minyak goreng, misalnya masing-masing dikurangi keuntungannya secara rata dan adil. Bisa juga sharing the pain yang ternyata akhirnya dibebankan ke tandan buah segar (TBS) baik untuk petani atau perusahaan sawit," ungkapnya.
Tauhid menunjukkan, selama sharing the pain masih belum ketemu banyak kemungkinan bahan TBS belum diolah secara optimal pada situasi harga bergejolak seperti sekarang. Melihat problematika tersebut, ini harus dicarikan solusinya.
"Yang masih menjadi masalah lain adalah sharing the pain ini mampu dilakukan oleh pelaku industri minyak goreng yang disinyalir oligopoli atau ada monopoli," tambahnya.