Konsumsi Pertamax Terus Tumbuh, Pengamat: Mulai Jadi Gaya Hidup
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kendati belum sepenuhnya bebas dari penggunaan bahan bakar minyak (BBM) beroktan rendah (RON 88 dan 90), kesadaran masyarakat Indonesia untuk menggunakan BBM berkualitas dengan RON yang lebih tinggi sudah semakin tumbuh.
Hal ini terlihat dari konsumsi BBM Pertamax (RON 92) di tahun 2021 yang mencapai 20% dari total konsumsi BBM jenis bensin, naik tinggi jika dibandingkan tahun 2020 yang baru di angka 12%. Tak hanya itu, BBM Pertamax pun kini umum digunakan hingga di perdesaan dengan hadirnya Pertashop.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai, fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa penggunaan BBM RON 92 ke atas sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat Indonesia.
"Penggunaan BBM RON tinggi saat ini boleh dibilang sudah menjadi kebanggan tersendiri bagi para penggunanya. Orang kini malu kalau menggunakan kendaraan bermotor keluaran baru, tapi masih menggunakan BBM RON rendah," ujarnya di Jakarta, Kamis (10/2/2022).
Menurutnya, hal ini membuktikan bahwa edukasi terkait manfaat dari BBM RON tinggi sudah berjalan cukup baik. Mamit menilai program langit biru yang dijalankan Pertamina terbukti mampu mengedukasi masyarakat serta memberikan efek positif kepada lingkungan sesuai dengan komitmen yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Mamit menilai, kebijakan Pertamina yang sudah 2 tahun ini tidak menaikkan harga Pertamax maupun Pertalite turut mendukung naiknya konsumsi, yang secara langsung menjadi dukungan bagi program pemerintah. "Ini harus diapresiasi oleh semua pihak, terlebih konsumen. Pertamina menahan harga Pertamax agar tetap terjangkau masyarakat di tengah pandemi yang melanda," katanya.
Namun, Mamit menilai kebijakan tersebut juga perlu dievaluasi, khususnya saat harga minyak dunia tengah mengalami kenaikan saat ini. Jika Pertamina terus bertahan dengan kondisi seperti ini, dia yakin keuangan BUMN energi terintegrasi itu akan tertekan.
"Pertamax itu merupakan BBM Umum yang tidak mendapatkan kompensasi apa-apa dari pemerintah. Pertamina bisa mengalami kerugian yang cukup dalam," ujarnya.
Karena itu, Mamit mendorong Pertamina menyesuaikan harga Pertamax sesuai dengan keekonomiannya. Dia yakin konsumen tidak lantas lari ke BBM beroktan rendah ataupun gaduh, mengingat SPBU swasta sudah menaikkan harga berkali-kali menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia.
"Hal ini wajar adanya, karena memang sudah diatur dalam KepMen ESDM No 20/2021 Pasal 8 Ayat (1) dimana harga jual eceran dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha," tuturnya.
Mamit juga mengusulkan agar pemerintah memberikan kompensasi kepada Pertamina untuk BBM Pertalite menjadi 100%, bukan hanya 50% sebagaimana diatur dalam Perpres 117/2021. Hal ini menurutnya bisa dilakukan dengan pertimbangan konsumsi BBM RON 88 (Premium) sudah sangat minim.
"BBM RON 88 sudah seharusnya dihapuskan. Hal ini mengingat tidak sesuai dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Saat ini tersisa hanya 7 negara saja yang masih menggunakan BBM RON 88 yaitu Banglades, Kolombia, Mesir, Mongolia, Ukrainan, Uzbekistan dan Indonesia. Jadi sudah sepatutnya tidak dipasarkan lagi di Indonesia," tandasnya.
Lihat Juga: Anggota DPR dari PKS Kutip Pernyataan Prabowo Subianto Bahas Polemik Pemecatan Ipda Rudy Soik
Hal ini terlihat dari konsumsi BBM Pertamax (RON 92) di tahun 2021 yang mencapai 20% dari total konsumsi BBM jenis bensin, naik tinggi jika dibandingkan tahun 2020 yang baru di angka 12%. Tak hanya itu, BBM Pertamax pun kini umum digunakan hingga di perdesaan dengan hadirnya Pertashop.
Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan menilai, fakta-fakta tersebut menunjukkan bahwa penggunaan BBM RON 92 ke atas sudah menjadi gaya hidup bagi masyarakat Indonesia.
"Penggunaan BBM RON tinggi saat ini boleh dibilang sudah menjadi kebanggan tersendiri bagi para penggunanya. Orang kini malu kalau menggunakan kendaraan bermotor keluaran baru, tapi masih menggunakan BBM RON rendah," ujarnya di Jakarta, Kamis (10/2/2022).
Menurutnya, hal ini membuktikan bahwa edukasi terkait manfaat dari BBM RON tinggi sudah berjalan cukup baik. Mamit menilai program langit biru yang dijalankan Pertamina terbukti mampu mengedukasi masyarakat serta memberikan efek positif kepada lingkungan sesuai dengan komitmen yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
Mamit menilai, kebijakan Pertamina yang sudah 2 tahun ini tidak menaikkan harga Pertamax maupun Pertalite turut mendukung naiknya konsumsi, yang secara langsung menjadi dukungan bagi program pemerintah. "Ini harus diapresiasi oleh semua pihak, terlebih konsumen. Pertamina menahan harga Pertamax agar tetap terjangkau masyarakat di tengah pandemi yang melanda," katanya.
Namun, Mamit menilai kebijakan tersebut juga perlu dievaluasi, khususnya saat harga minyak dunia tengah mengalami kenaikan saat ini. Jika Pertamina terus bertahan dengan kondisi seperti ini, dia yakin keuangan BUMN energi terintegrasi itu akan tertekan.
"Pertamax itu merupakan BBM Umum yang tidak mendapatkan kompensasi apa-apa dari pemerintah. Pertamina bisa mengalami kerugian yang cukup dalam," ujarnya.
Karena itu, Mamit mendorong Pertamina menyesuaikan harga Pertamax sesuai dengan keekonomiannya. Dia yakin konsumen tidak lantas lari ke BBM beroktan rendah ataupun gaduh, mengingat SPBU swasta sudah menaikkan harga berkali-kali menyesuaikan dengan kenaikan harga minyak dunia.
"Hal ini wajar adanya, karena memang sudah diatur dalam KepMen ESDM No 20/2021 Pasal 8 Ayat (1) dimana harga jual eceran dihitung dan ditetapkan oleh Badan Usaha," tuturnya.
Mamit juga mengusulkan agar pemerintah memberikan kompensasi kepada Pertamina untuk BBM Pertalite menjadi 100%, bukan hanya 50% sebagaimana diatur dalam Perpres 117/2021. Hal ini menurutnya bisa dilakukan dengan pertimbangan konsumsi BBM RON 88 (Premium) sudah sangat minim.
"BBM RON 88 sudah seharusnya dihapuskan. Hal ini mengingat tidak sesuai dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Saat ini tersisa hanya 7 negara saja yang masih menggunakan BBM RON 88 yaitu Banglades, Kolombia, Mesir, Mongolia, Ukrainan, Uzbekistan dan Indonesia. Jadi sudah sepatutnya tidak dipasarkan lagi di Indonesia," tandasnya.
Lihat Juga: Anggota DPR dari PKS Kutip Pernyataan Prabowo Subianto Bahas Polemik Pemecatan Ipda Rudy Soik
(fai)