Minyak Goreng Langka, Fadli Zon: Akibat Akumulasi Amburadulnya Tata Kelola Sawit di Indonesia
loading...
A
A
A
Ini semua menandakan kebijakan hulu dan hilir yang diterapkan pemerintah tidak efektif mengatasi problem kelangkaan minyak goreng. Ada dua catatan serius dari kegagalan intervensi yang dilakukan pemerintah dalam penanganan krisis minyak goreng. Pertama, penanganan yang dilakukan pemerintah berangkat dari diagnosa permasalahan yang keliru.
Melalui kebijakan DMO, misalnya, pemerintah sedang menekan volume ekspor CPO. Harapannya, pasokan CPO domestic meningkat. Namun, yang terjadi adalah alokasinya tidak terserap optimal untuk produksi minyak goreng, tetapi justru untuk bahan baku biodiesel yang harga jualnya mendapat subsidi sebesar USD85/ton dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sementara untuk bahan baku minyak goreng, produsen CPO harus menjualnya dengan harga domestik, karena tak adanya subsidi dari BPDPKS. Di sinilah persoalannya.
Meskipun ketersediaan stok CPO domestik meningkat, namun regulasi domestiknya tidak bersahabat bagi CPO yang diperutukkan sebagai bahan baku minyak goreng. Akibatnya minyak goreng tetap langka di pasaran.
Padahal, dilihat dari sisi ekspor pun sebenarnya tidak ada lonjakan volume. Meskipun harga CPO di pasar internasional sedang tinggi, tetapi peningkatan ekspor 2020-2021 ternyata tak signifikan, hanya sebesar 0,2 juta ton.
"Sehingga, kita sebenarnya perlu waspada dengan kebijakan DPO ini. Penerapan kebijakan DPO yang tidak terkendali dan tanpa diiringi pengawasan di tata kelola domestik, dapat menjadi backfire bagi petani kelapa sawit," tulis Fadli Zon.
Sebab dengan kebijakan ini pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian tandan buah segar (TBS) ke petani. Ketika harga CPO melambung saja petani sawit tak dapat ikut merasakan kenaikan keuntungan, apalagi ketika harganya dibatasi. Petani sawit sudah pasti semakin tertekan.
Fadli juga mencurigai, ada praktik kartel dalam tata kelola sawit di Indonesia selama ini. Dia juga mengkritik pemerintah yang 'alergi' ketika kelangkaan minyak sawit ini dikaitkan dengan praktik kartel tersebut.
"Catatan kedua yang saya rasa menjadi problem mendasar dari kelangkaan saat ini adalah adanya praktik kartel dalam tata kelola sawit di Indonesia," ungkapnya.
Setelah sejumlah upaya sudah dilakukan dan ternyata belum efektif, menurut Fadli Zon mengutarakan, pemerintah tidak perlu alergi mengaitkan kelangkaan minyak goreng saat ini dengan praktik kartel yang jelas terlihat dalam tata kelola sawit di Indonesia.
Melalui kebijakan DMO, misalnya, pemerintah sedang menekan volume ekspor CPO. Harapannya, pasokan CPO domestic meningkat. Namun, yang terjadi adalah alokasinya tidak terserap optimal untuk produksi minyak goreng, tetapi justru untuk bahan baku biodiesel yang harga jualnya mendapat subsidi sebesar USD85/ton dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sementara untuk bahan baku minyak goreng, produsen CPO harus menjualnya dengan harga domestik, karena tak adanya subsidi dari BPDPKS. Di sinilah persoalannya.
Meskipun ketersediaan stok CPO domestik meningkat, namun regulasi domestiknya tidak bersahabat bagi CPO yang diperutukkan sebagai bahan baku minyak goreng. Akibatnya minyak goreng tetap langka di pasaran.
Padahal, dilihat dari sisi ekspor pun sebenarnya tidak ada lonjakan volume. Meskipun harga CPO di pasar internasional sedang tinggi, tetapi peningkatan ekspor 2020-2021 ternyata tak signifikan, hanya sebesar 0,2 juta ton.
"Sehingga, kita sebenarnya perlu waspada dengan kebijakan DPO ini. Penerapan kebijakan DPO yang tidak terkendali dan tanpa diiringi pengawasan di tata kelola domestik, dapat menjadi backfire bagi petani kelapa sawit," tulis Fadli Zon.
Sebab dengan kebijakan ini pabrik kelapa sawit akan menekan harga pembelian tandan buah segar (TBS) ke petani. Ketika harga CPO melambung saja petani sawit tak dapat ikut merasakan kenaikan keuntungan, apalagi ketika harganya dibatasi. Petani sawit sudah pasti semakin tertekan.
Fadli juga mencurigai, ada praktik kartel dalam tata kelola sawit di Indonesia selama ini. Dia juga mengkritik pemerintah yang 'alergi' ketika kelangkaan minyak sawit ini dikaitkan dengan praktik kartel tersebut.
"Catatan kedua yang saya rasa menjadi problem mendasar dari kelangkaan saat ini adalah adanya praktik kartel dalam tata kelola sawit di Indonesia," ungkapnya.
Setelah sejumlah upaya sudah dilakukan dan ternyata belum efektif, menurut Fadli Zon mengutarakan, pemerintah tidak perlu alergi mengaitkan kelangkaan minyak goreng saat ini dengan praktik kartel yang jelas terlihat dalam tata kelola sawit di Indonesia.