Tim Stranas Pemberantasan Korupsi Soroti Optimalisasi Penerimaan Cukai
loading...
A
A
A
“Praktik penghindaran pajak menjadi konsekuensi lain dari kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau serta pengaturan struktur cukai hasil tembakau,” ujarnya.
Danang mengatakan hal ini terjadi karena cukai hasil tembakau saling terkait dengan berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan kesehatan, industri, tenaga kerja, dan juga penerimaan negara.
Dia menilai upaya pemerintah yang telah merumuskan kebijakan simplifikasi atau penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau merupakan langkah yang tepat, khususnya dalam memberikan kepastian dalam menentukan jumlah penerimaan negara.
"Tahun ini struktur tarif cukai hasil tembakau lebih sederhana dari 10 menjadi 8, ada kemajuan karena lebih sederhana,” tukasnya.
Namun, Danang menilai masih banyak pengaturan dalam kebijakan hasil cukai yang saat ini masih menjadi celah penghindaran pajak yang dilakukan utamanya oleh perusahaan besar.
Dengan ketentuan pembatasan produksi golongan 2 pada rokok mesin yang berubah pada 2017 dari dua miliar batang menjadi tiga miliar batang, serta selisih tarif cukai antara golongan yang sangat besar memicu perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak. Imbasnya, penerimaan cukai tembakau saat ini belum optimal.
“Jadi kalau tidak diantisipasi, praktik penghindaran pajak ini makin marak. Penghindaran pajak itu bukan ilegal atau melanggar hukum. Ke depan bagaimana regulasi ini menutup celah-celah ini?” ujarnya.
Danang sepakat dengan aksi Stranas PK KPK yang fokus pada keuangan negara dengan merekomendasikan adanya peta jalan kebijakan hasil tembakau.
“Mudah-mudahan ke depan, kebijakan cukainya akan lebih inklusif dan menutup peluang penghindaran pajak. Mengutip dari hasil riset Indonesia Budget Center (IBC) kemarin, misalnya, ada rekomendasi besar kecilnya perusahaan rokok bisa dilihat sesuai dengan skalanya di UU UMKM, bukan dari kapasitas produksinya supaya pabrikan besar ini tidak melakukan penghindaran pajak di golongan 2,” ungkap dia.
Danang mengatakan hal ini terjadi karena cukai hasil tembakau saling terkait dengan berbagai kepentingan, mulai dari kepentingan kesehatan, industri, tenaga kerja, dan juga penerimaan negara.
Dia menilai upaya pemerintah yang telah merumuskan kebijakan simplifikasi atau penyederhanaan struktur tarif cukai hasil tembakau merupakan langkah yang tepat, khususnya dalam memberikan kepastian dalam menentukan jumlah penerimaan negara.
"Tahun ini struktur tarif cukai hasil tembakau lebih sederhana dari 10 menjadi 8, ada kemajuan karena lebih sederhana,” tukasnya.
Namun, Danang menilai masih banyak pengaturan dalam kebijakan hasil cukai yang saat ini masih menjadi celah penghindaran pajak yang dilakukan utamanya oleh perusahaan besar.
Dengan ketentuan pembatasan produksi golongan 2 pada rokok mesin yang berubah pada 2017 dari dua miliar batang menjadi tiga miliar batang, serta selisih tarif cukai antara golongan yang sangat besar memicu perusahaan untuk melakukan penghindaran pajak. Imbasnya, penerimaan cukai tembakau saat ini belum optimal.
“Jadi kalau tidak diantisipasi, praktik penghindaran pajak ini makin marak. Penghindaran pajak itu bukan ilegal atau melanggar hukum. Ke depan bagaimana regulasi ini menutup celah-celah ini?” ujarnya.
Danang sepakat dengan aksi Stranas PK KPK yang fokus pada keuangan negara dengan merekomendasikan adanya peta jalan kebijakan hasil tembakau.
“Mudah-mudahan ke depan, kebijakan cukainya akan lebih inklusif dan menutup peluang penghindaran pajak. Mengutip dari hasil riset Indonesia Budget Center (IBC) kemarin, misalnya, ada rekomendasi besar kecilnya perusahaan rokok bisa dilihat sesuai dengan skalanya di UU UMKM, bukan dari kapasitas produksinya supaya pabrikan besar ini tidak melakukan penghindaran pajak di golongan 2,” ungkap dia.