Memahami Risiko Investasi Reksadana di Tengah Pandemi Covid-19

Senin, 06 Juli 2020 - 09:08 WIB
loading...
Memahami Risiko Investasi Reksadana di Tengah Pandemi Covid-19
Setiap krisis sesungguhnya juga memberikan peluang investasi karena nilai unit investasi menjadi terdiskon. Dan ini menjadi kesempatan buat investor untuk melakukan top up. Foto/Dok
A A A
JAKARTA - Chief Investment Officer Insight Investment Genta Wira Anjalu menilai, strategi diversifikasi dalam menempatkan investasi sangat dibutuhkan dalam waktu dekat ini. Investor bisa melakukan diversifikasi dengan menempatkan dana di instrumen reksa dana dan emas.

"Bahkan emas yang disebut sebagai safe haven juga bisa merosot tajam. Diversifikasi dengan reksa dana bisa jadi diversifikasi karena ketidakpastian masih tinggi," ujar Genta dalam diskusi virtual bersama SINDOnews belum lama ini.

Dia mengkhawatirkan, masih banyak ketidakpastian, khususnya di pasar uang, yang sangat mungkin terjadi. Ini akibat ketidakpastian ekonomi makro ataupun kebijakan yang diambil pemerintah. Kondisi ini wajar karena pemerintah memiliki pilihan sulit untuk melawan ancaman kesehatan atau menyelamatkan perekonomian nasional.

"Risiko yang dikhawatirkan munculnya gelombang kedua, diikuti karantina ketat. Karena saat ini penyebaran covid-19 masih tinggi tapi sudah dilakukan pelonggaran. Akhirnya perekonomian akan dikorbankan dan berdampak ke market," ujarnya.

Bahkan menurutnya kondisi di Wall Street yang terlihat membaik bukan karena ada penurunan penyebaran covid19. Melainkan karena suntikan dana dari bank sentral AS yaitu the Fed. Nilainya sangat besar mencapai USD3 Triliun sehingga berdampak mengangkat pasar uang. Namun kebijakan itu tidak mencerminkan perekonomian nasional sebenarnya.

"Bank sentral di AS Eropa dan Jepang serta Indonesia melakukan kebijakan serupa. Market saat ini tidak mewakili kondisi ekonomi sebenarnya. Buktinya investor institusi besar belum kembali masuk ke Indonesia meskipun sudah ada rebound IHSG dari posisi 3.900. Kenaikan indeks saat ini jadi melambat," ujarnya.

( )

Sambung dia menyarankan, kepada Investor muda agar tidak buru-buru mencairkan dana Investasi hanya karena kondisi sekarang sedang buruk. Kepada usia SMA disarankan agar mulai berinvestasi melalui reksa dana pasar uang atau pendapatan tetap. Bahkan bisa juga membeli produk ETF yang imbal hasilnya dapat mencapai 15%. Pembeliannya juga mudah karena diperdagangkan seperti saham.

"Reksa dana instrumen pendapatan tetap dapat digunakan untuk kebutuhan di bawah setahun, reksa dana pasar uang cocok untuk penempatan di bawah tiga tahun. Sementara sisanya di pasar saham," ujarnya.

Head of Investment Specialist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Freddy Tedja mengingatkan, investor dengan profil agresif dan memiliki horison investasi jangka panjang, saat ini bisa jadi adalah saat yang tepat untuk secara bertahap berinvestasi kembali di reksa dana saham. Namun harus diingat, profil risiko investor tetap harus dikedepankan.

Investasi di saham, termasuk di reksa dana saham adalah investasi jangka panjang. Jangan karena kondisi sesaat yang menyebabkan investasi terkoreksi, langsung memutuskan untuk menarik investasinya. Ada baiknya memikirkan kembali tujuan investasinya dan jangka waktu.

Kita bisa kembali melihat pergerakan IHSG sepanjang tahun berjalan sebagai referensi, bagaimana keputusan untuk tetap bertahan atau mencairkan investasi dapat membuat perbedaan kinerja yang sangat signifikan.

Sementara itu Direktur Infovesta Utama Parto Kawito mengatakan, potensi kerugian tidak hanya terjadi di reksa dana berbasis saham. Namun jenis reksa dana lain seperti reksa dana pendapatan tetap juga mengalami fase naik-turun seiring pergerakan harga obligasi yang menjadi underlying-nya.

Meski demikian, selama investor tidak mencairkan atau melakukan redemption atas reksa dananya maka masih disebut sebatas sebagai potensi rugi. “Kerugian baru terjadi ketika investor melakukan redemption atas reksa dana yang dimilikinya,” ujar Parto beberapa waktu lalu.

Naik turunnya investasi di reksa dana, lanjut Parto, sebenarnya adalah hal biasa. Indonesia sempat mengalami beberapa kali masa krisis dan terbukti bisa melewatinya dengan baik. Seperti di tahun 1998 lalu kemudian di tahun 2008 akibat krisis keuangan di Amerika yaitu subprime mortgage facility, industri reksa dana di Indonesia juga terkena dampaknya.

"Kembali ke sejarah, tahun 1998 saham turun, 2008 turun, ternyata kemudian saham dan reksa dana berbalik dan kembali naik lagi," kata Parto.

Malah, imbuh Parto, setiap krisis sesungguhnya juga memberikan peluang investasi karena nilai unit investasi menjadi terdiskon. Dan ini menjadi kesempatan buat investor untuk melakukan top up. Strategi average down ini membuat harga pembelian rata-rata menjadi turun. Sehingga ketika kondisi pasar mulai membaik, posisi untung lebih mudah dicapai dibanding tanpa melakukan average down.

"Justru kalau ada uang sekarang waktunya top up, jadi harga rata-ratanya semakin baik. Ini saatnya membalikkan kerugian," saran Parto.
(akr)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1401 seconds (0.1#10.140)