Menanti Daya Tarik Investasi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Investasi masih jadi andalan pemerintah untuk mengdongkrak pertumbuhan ekonomi di tengah pandemi. Sayangnya, upaya mernarik investasi lebih banyak lagi terkendala sejumlah persoalan klasik.
Birokrasi dan lambannya eksekusi di lapangan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menyentil para pejabat di semua level, namun perubahannya belum terlalu signifikan.
Memang, pekan lalu ada sekitar tujuh perusahaan yang disebutkan akan merelokasi pabriknya ke Indonesia. Selain itu, ada juga 17 perusahaan lain dari luar negeri yang berencana pindah ke Tanah Air. Namun, jumlah jumlah masih terbilang minim jika dibanding dengan potensinya yang mencapai 119 perusahaan di China yang hendak memindahkan fasilitas produksinya akibat dampak perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Perihal ini, saat berkunjung ke Jawa Tengah pekan lalu, Presiden wanti-wanti agar Indonesia jangan sampai tidak mendapatkan perusahaan-perusahaan untuk masuk ke Indonesia. “Jangan kalah dengan negara-negara lain,” tegas Presiden saat itu. (Baca: Cepat Pulih, Pertumbuhan Penumpang Udara isa Membaik Akhir Tahun)
Apa yang diinginkan Presiden terkait relokasi perusahaan-perusahaan dari China ke Indonesia cukup masuk akal. Selain untuk mendatangkan investasi, keberadaan investor asing di sektor manufaktur bisa membuka keran pasar tenaga kerja yang selama ini terdampak pandemi Covid-19.
Presiden juga tampaknya tidak ingin mengulang kejadian seperti tahun lalu di mana ada relokasi 33 perusahaan dari China, tetapi Indonesia tidak dilirik.
Namun, upaya mendatangkan pemodal asing itu tampaknya masih harus diperjuangkan lebih keras lagi. Pasalnya, kalangan pengusaha nasional menilai, masih ada sejumlah persoalan yang harus segera diselesaikan agar para pemodal mau membenamkan dananya di dalam negeri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, setidaknya ada empat faktor mengapa daya tarik Indonesia masih kalah dibanding negara-negara lain di kawasan ASEAN.
Pertama, dilihat dari sisi kemudahan berbisnis di Indonesia. Survei Bank Dunia dari tahun 2018-2019 menyebutkan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia stagnan di level 73. Posisi itu jelas kalah jauh dibanding Singapura di posisi 2, Malaysia (12), Thailand (21), dan Vietnam (70).
Kedua, faktor kemudahan izin usaha yang dinilai paling sulit se-ASEAN. Apindo menilainya berdasarkan survei dari SMRC pada tahun ini di mana menunjukkan 46% masyarakat masih sulit mengurus perizinan berusaha.
Birokrasi dan lambannya eksekusi di lapangan menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung selesai. Meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap menyentil para pejabat di semua level, namun perubahannya belum terlalu signifikan.
Memang, pekan lalu ada sekitar tujuh perusahaan yang disebutkan akan merelokasi pabriknya ke Indonesia. Selain itu, ada juga 17 perusahaan lain dari luar negeri yang berencana pindah ke Tanah Air. Namun, jumlah jumlah masih terbilang minim jika dibanding dengan potensinya yang mencapai 119 perusahaan di China yang hendak memindahkan fasilitas produksinya akibat dampak perang dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Perihal ini, saat berkunjung ke Jawa Tengah pekan lalu, Presiden wanti-wanti agar Indonesia jangan sampai tidak mendapatkan perusahaan-perusahaan untuk masuk ke Indonesia. “Jangan kalah dengan negara-negara lain,” tegas Presiden saat itu. (Baca: Cepat Pulih, Pertumbuhan Penumpang Udara isa Membaik Akhir Tahun)
Apa yang diinginkan Presiden terkait relokasi perusahaan-perusahaan dari China ke Indonesia cukup masuk akal. Selain untuk mendatangkan investasi, keberadaan investor asing di sektor manufaktur bisa membuka keran pasar tenaga kerja yang selama ini terdampak pandemi Covid-19.
Presiden juga tampaknya tidak ingin mengulang kejadian seperti tahun lalu di mana ada relokasi 33 perusahaan dari China, tetapi Indonesia tidak dilirik.
Namun, upaya mendatangkan pemodal asing itu tampaknya masih harus diperjuangkan lebih keras lagi. Pasalnya, kalangan pengusaha nasional menilai, masih ada sejumlah persoalan yang harus segera diselesaikan agar para pemodal mau membenamkan dananya di dalam negeri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, setidaknya ada empat faktor mengapa daya tarik Indonesia masih kalah dibanding negara-negara lain di kawasan ASEAN.
Pertama, dilihat dari sisi kemudahan berbisnis di Indonesia. Survei Bank Dunia dari tahun 2018-2019 menyebutkan peringkat kemudahan berbisnis di Indonesia stagnan di level 73. Posisi itu jelas kalah jauh dibanding Singapura di posisi 2, Malaysia (12), Thailand (21), dan Vietnam (70).
Kedua, faktor kemudahan izin usaha yang dinilai paling sulit se-ASEAN. Apindo menilainya berdasarkan survei dari SMRC pada tahun ini di mana menunjukkan 46% masyarakat masih sulit mengurus perizinan berusaha.