Membaca Peluang Usaha Mie Sagu yang Belum Banyak Pemainnya
loading...
A
A
A
Pengusaha Mie Sagu lainnya, Kelompok Tani Rimbo Bujang, beranggota 25 orang, sejak tahun 2016 hingga kini terus konsisten mengembangkan sagu.
Ia juga menganggap kalau mie sagu lebih aman dikonsumsi dalam jangka panjang karena tidak menggunakan bahan pengawet dan kandungan glikemiknya cukup rendah. Ditambah lagi kesadaran masyarakat untuk lebih memilih makanan yang sehat semakin meningkat.
“Kami gencar sosialisasi di media online maupun di toko-toko atau agen penjualan online, melakukan kerja sama dengan dinas pangan dan terkait setempat untuk ikut program-program promosi pangan sehat serta membagikan sample (tester) maupun leaflet atau brosur pada event-event tersebut," ucap Ketua Kelompok Tani Rimbo Bujang, dan pemilik Toko Sagu Kite, Praptini.
"Saat ini pasar terbanyak baru untuk dalam negeri, tetapi beberapa waktu lalu juga sempat tembus ke pasar luar negeri diantaranya Jepang, Belanda, meski jumlahnya belum banyak karena baru taraf promosi pengenalan,” sambungnya.
Diterangkan juga bahawa, harga mie siap saji miliknya untuk dalam negeri rata-rata dibandrol harga sebesar Rp.16.000 hingga Rp.18.000, belum ongkir (Perangkau Meranti-Riau).
Sedangkan untuk ekspor diharga rata-rata Rp. 25.000, lalu untuk mie sagu untuk diolah lagi seharga Rp.8.000 (500 gr) sampai Rp10.000, dimana baru untuk memenuhi pasar dalam negeri karena tidak menggunakan bahan pengawet.
Mie sagu setengah jadi (bukan mie instan siap seduh) rata-rata dibuat oleh kelompok tani dibawah pembinaan Dinas UMKM dan Dinas Pertanian.
Pada kesempatan yang berbeda, Dirjen Perkebunan Kementan, Andi Nur Alam Syah mengatakan, Pemerintah tentunya hadir membantu petani dan pelaku usaha perkebunan, melakukan pembinaan dan terus mendorong peningkatan nilai tambah produk, dan berinovasi untuk pengembangannya.
Potensi sagu Indonesia yang besar ini dapat menjadi solusi atau menjawab tantangan krisis pangan dunia. Dalam pengembangan sagu harus memberdayakan petani lokal dan memperhatikan positioning serta memperbaiki kemasan produk agar dapat bersaing dipasar domestik dan internasional.
Ia juga menganggap kalau mie sagu lebih aman dikonsumsi dalam jangka panjang karena tidak menggunakan bahan pengawet dan kandungan glikemiknya cukup rendah. Ditambah lagi kesadaran masyarakat untuk lebih memilih makanan yang sehat semakin meningkat.
“Kami gencar sosialisasi di media online maupun di toko-toko atau agen penjualan online, melakukan kerja sama dengan dinas pangan dan terkait setempat untuk ikut program-program promosi pangan sehat serta membagikan sample (tester) maupun leaflet atau brosur pada event-event tersebut," ucap Ketua Kelompok Tani Rimbo Bujang, dan pemilik Toko Sagu Kite, Praptini.
"Saat ini pasar terbanyak baru untuk dalam negeri, tetapi beberapa waktu lalu juga sempat tembus ke pasar luar negeri diantaranya Jepang, Belanda, meski jumlahnya belum banyak karena baru taraf promosi pengenalan,” sambungnya.
Diterangkan juga bahawa, harga mie siap saji miliknya untuk dalam negeri rata-rata dibandrol harga sebesar Rp.16.000 hingga Rp.18.000, belum ongkir (Perangkau Meranti-Riau).
Sedangkan untuk ekspor diharga rata-rata Rp. 25.000, lalu untuk mie sagu untuk diolah lagi seharga Rp.8.000 (500 gr) sampai Rp10.000, dimana baru untuk memenuhi pasar dalam negeri karena tidak menggunakan bahan pengawet.
Mie sagu setengah jadi (bukan mie instan siap seduh) rata-rata dibuat oleh kelompok tani dibawah pembinaan Dinas UMKM dan Dinas Pertanian.
Pada kesempatan yang berbeda, Dirjen Perkebunan Kementan, Andi Nur Alam Syah mengatakan, Pemerintah tentunya hadir membantu petani dan pelaku usaha perkebunan, melakukan pembinaan dan terus mendorong peningkatan nilai tambah produk, dan berinovasi untuk pengembangannya.
Potensi sagu Indonesia yang besar ini dapat menjadi solusi atau menjawab tantangan krisis pangan dunia. Dalam pengembangan sagu harus memberdayakan petani lokal dan memperhatikan positioning serta memperbaiki kemasan produk agar dapat bersaing dipasar domestik dan internasional.