ALFI dan Organda Soroti Peran Badan Usaha Angkutan Multimoda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kesiapan pelaku logistik nasional dalam bersaing secara global dinilai akan semakin berat seandainya pembentukan Badan Usaha Angkutan Multimoda (BUAM) dilakukan secara tidak tepat fungsi dalam perannya. Kebijakan penerapan Multimoda Transport Operator yang salah dinilai justru akan semakin membuka peluang tata laksana single dokumen dikuasai oleh pelaku usaha asing yang telah menguasai pasar dan memiliki jaringan usaha secara global.
"Jika itu yang terjadi maka pastinya akan menggerus kelangsungan usaha UMKM bidang forwarding dan angkutan barang darat yang selama ini telah berikan sumbangsih besar terhadap ketahanan ekonomi negara atas serangkaian resesi yang terjadi," ujar Wakil ketua umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia (ALFI) bidang Supply chain dan Multimoda Trismawan Sanjaya, melalui keterangan pers, Jumat (10/6/2020).
Lebih mengkhawatirkan lagi, imbuhnya, jika BUAM hanya sebagai agen dari pelaku logistik asing tersebut untuk dapat berkegiatan di Indonesia tanpa harus buka perusahaan di Indonesia (non permanent establishment) dimana seandainya single dokumen yang digunakan berasal dari negara asal barang.
"Sebab, ini pasti bisa jadi peluang perusahaan asing dengan memanfaatkan situasi perdagangan bebas seperti AFTA, GATT dan GATS dalam menguasai kendali logistik dalam negeri semakin luas tanpa harus lakukan investasi langsung di dalam negeri," ucapnya.
Trismawan mengatakan, saat ini biaya logistik nasional masih sangat tinggi dimana salah satu faktornya akibat lemahnya grand design logistik nasional dan sangat sedikit sekali pelaku usaha serta juga lembaga pemerintahan yang memiliki kompetensi untuk membangun ekosistem logistik yang berkeadilan bagi masyarakat luas. Sehingga, kata dia, kebijakan dan prosedur yang terbentuk hanya fatamorgana tanpa bisa memberikan kepastian kegiatan usaha bagi pelaku usaha nasional secara luas apalagi terhadap UMKM.
(Baca Juga: Usulan Hapus Aturan Multimodal Transport Dinilai Tidak Tepat)
Oleh karena itu, ALFI mengingatkan, agar tidak terjebak dalam kebijakan penerapan single dokumen yang akan diterapkan oleh BUAM maka perlu di evaluasi kembali peraturan tata laksana pembentukan operator angkutan multimoda. "Hal ini agar dapat lebih fokus mengurangi risiko populasi pelaku usaha lain yang akan jadi korban apalagi jika harus perekonomian negara juga yang bisa menjadi korban," paparnya.
Hal senada dikemukakan Ketua Umum DPP ORGANDA Adrianto Djokosoetono. Menurutnya hingga kini kegiatan usaha di bidang Logistik sangat memberatkan bagi pelaku usaha nasional. Di sisi lain, imbuhnya, ada ketidakadilan apabila dibandingkan dengan kemudahan yang diberikan kepada pelaku usaha penanaman modal asing (PMA) seperti proses perizinan usaha, fasilitas master list dan sejenisnya. Tidak luput tumpang tindihnya kebijakan dan birokrasi antarlembaga/instansi antarpemerintah pusat dengan daerah.
Dia mencontohkan mengenai pengaturan operator angkutan multimoda (MTO) yang tertuang pada Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2011 kemudian turunannya melalui Peraturan Menteri Perhubungan No 8 Tahun 2012 RUU masih perlu ditinjau kembali agar bemanfaat bagi pelaku usaha nasional serta sejalan dengan kesepakatan AFAMT (ASEAN Framework Agreement on Multimodal Transport).
Namun, dia menyayangkan lantaran yang terjadi saat ini ketentuan tata laksana MTO dalam peraturan yang ada bahwa sangat memberatkan dan menyulitkan bagi pelaku usaha yang sudah menerapkan pola kegiatan layanan multimoda (door to door), diantaranya adalah pengusaha truk angkutan barang.
Adrianto mengusulkan menyederhanakan ketentuan layanan multimoda dengan menggabungkan dalam peraturan terkait jasa pengurusan transportasi barang yang sudah ada sehingga tidak perlu membuat peraturan dan birokrasi baru yang terpisah dengan kegiatan usaha bidang logistik yang telah berjalan saat ini.
"Kemudian pemerintah dapat lebih fokus untuk mendorong serta mengembangkan pelaku usaha nasional bidang logistik dan angkutan barang agar dapat semakin berdaya saing global melalui kebijakan kemudahan berkegiatan usaha, kepastian dalam investasi usaha, kemudahan permodalan dan sebagainya," ucapnya.
"Jika itu yang terjadi maka pastinya akan menggerus kelangsungan usaha UMKM bidang forwarding dan angkutan barang darat yang selama ini telah berikan sumbangsih besar terhadap ketahanan ekonomi negara atas serangkaian resesi yang terjadi," ujar Wakil ketua umum DPP Asosiasi Logistik dan Forwader Indonesia (ALFI) bidang Supply chain dan Multimoda Trismawan Sanjaya, melalui keterangan pers, Jumat (10/6/2020).
Lebih mengkhawatirkan lagi, imbuhnya, jika BUAM hanya sebagai agen dari pelaku logistik asing tersebut untuk dapat berkegiatan di Indonesia tanpa harus buka perusahaan di Indonesia (non permanent establishment) dimana seandainya single dokumen yang digunakan berasal dari negara asal barang.
"Sebab, ini pasti bisa jadi peluang perusahaan asing dengan memanfaatkan situasi perdagangan bebas seperti AFTA, GATT dan GATS dalam menguasai kendali logistik dalam negeri semakin luas tanpa harus lakukan investasi langsung di dalam negeri," ucapnya.
Trismawan mengatakan, saat ini biaya logistik nasional masih sangat tinggi dimana salah satu faktornya akibat lemahnya grand design logistik nasional dan sangat sedikit sekali pelaku usaha serta juga lembaga pemerintahan yang memiliki kompetensi untuk membangun ekosistem logistik yang berkeadilan bagi masyarakat luas. Sehingga, kata dia, kebijakan dan prosedur yang terbentuk hanya fatamorgana tanpa bisa memberikan kepastian kegiatan usaha bagi pelaku usaha nasional secara luas apalagi terhadap UMKM.
(Baca Juga: Usulan Hapus Aturan Multimodal Transport Dinilai Tidak Tepat)
Oleh karena itu, ALFI mengingatkan, agar tidak terjebak dalam kebijakan penerapan single dokumen yang akan diterapkan oleh BUAM maka perlu di evaluasi kembali peraturan tata laksana pembentukan operator angkutan multimoda. "Hal ini agar dapat lebih fokus mengurangi risiko populasi pelaku usaha lain yang akan jadi korban apalagi jika harus perekonomian negara juga yang bisa menjadi korban," paparnya.
Hal senada dikemukakan Ketua Umum DPP ORGANDA Adrianto Djokosoetono. Menurutnya hingga kini kegiatan usaha di bidang Logistik sangat memberatkan bagi pelaku usaha nasional. Di sisi lain, imbuhnya, ada ketidakadilan apabila dibandingkan dengan kemudahan yang diberikan kepada pelaku usaha penanaman modal asing (PMA) seperti proses perizinan usaha, fasilitas master list dan sejenisnya. Tidak luput tumpang tindihnya kebijakan dan birokrasi antarlembaga/instansi antarpemerintah pusat dengan daerah.
Dia mencontohkan mengenai pengaturan operator angkutan multimoda (MTO) yang tertuang pada Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 2011 kemudian turunannya melalui Peraturan Menteri Perhubungan No 8 Tahun 2012 RUU masih perlu ditinjau kembali agar bemanfaat bagi pelaku usaha nasional serta sejalan dengan kesepakatan AFAMT (ASEAN Framework Agreement on Multimodal Transport).
Namun, dia menyayangkan lantaran yang terjadi saat ini ketentuan tata laksana MTO dalam peraturan yang ada bahwa sangat memberatkan dan menyulitkan bagi pelaku usaha yang sudah menerapkan pola kegiatan layanan multimoda (door to door), diantaranya adalah pengusaha truk angkutan barang.
Adrianto mengusulkan menyederhanakan ketentuan layanan multimoda dengan menggabungkan dalam peraturan terkait jasa pengurusan transportasi barang yang sudah ada sehingga tidak perlu membuat peraturan dan birokrasi baru yang terpisah dengan kegiatan usaha bidang logistik yang telah berjalan saat ini.
"Kemudian pemerintah dapat lebih fokus untuk mendorong serta mengembangkan pelaku usaha nasional bidang logistik dan angkutan barang agar dapat semakin berdaya saing global melalui kebijakan kemudahan berkegiatan usaha, kepastian dalam investasi usaha, kemudahan permodalan dan sebagainya," ucapnya.
(fai)