Berharap Peran Lebih LPS Memulihkan Ekonomi Nasional
loading...
A
A
A
JAKARTA - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ketiban pulung. Pemerintah mendaulat lembaga yang menjamin dana nasabah perbankan itu untuk ikut andil dalam memulihkan perekonomian nasional. Tanggung jawabnya terbilang cukup besar, menyehatkan bank yang sakit.
Putusan pemerintah yang dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dikabarkan akibat penolakan bank-bank milik negara untuk dijadikan bank jangkar atau penyangga likuiditas bank saat krisis. Saat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) ingin menetapkan aturan bank jangkar, ramai terjadi penolakan. Kalangan wakil rakyat pun ikut berkomentar.
Misbakhun, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, mempertanyakan bagaimana bank milik pemerintah mengurusi keperluan likuiditas dan restrukturisasi kredit nasabah bank lain. Sementara pada saat yang sama bank anggota Himbara harus mengurus restrukturisasi kredit atas nasabahnya sendiri.
Dengan keluarnya aturan baru kewenangan LPS ini tentu tidak hanya melegakan bank-bank milik negara, tetapi juga para nasabah perbankan pada umumnya. Aturan ini membuat kepastian jika ada bank yang kekurangan likuiditas, maka LPS akan siap membantu dan menyehatkannya kembali. (Baca: Punya Kewenangan Lebih, LPS Tak Sembarang Bisa Suntik Bank)
Tak perlu ragu dengan kapabilitas LPS dalam memberikan bantuan terhadap perbankan saat krisis melanda. Kemampuan LPS telah teruji pada krisis 2008 yang mengharuskan mereka menyelamatkan Bank Century sehingga Indonesia bisa terbebas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Meski begitu, belakangan ada unsur politik yang membuat permasalahan Bank Century terus berlarut.
Seperti diketahui, akhir pekan lalu pemerintah mengumumkan telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/2020. PP ini merupakan tindak lanjut dari Perppu Nomor 1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam menangani pandemi Covid-19. Peraturan diundangkan pada 7 Juli 2020.
Poin utama aturan tersebut adalah LPS bisa melakukan penyelamatan bank sakit atau masih dalam pengawasan intensif dari OJK. Hal itu tercantum dalam Pasal 3 ayat (1). Berikutnya LPS dapat berkoordinasi dengan OJK untuk melakukan pertukaran data atau informasi bank, pemeriksaan bersama terhadap bank dan kegiatan lainnya.
Sedangkan sebelumnya dalam UU Nomor 24/2004 dinyatakan LPS hanya boleh menyelamatkan atau menutup bank ketika sudah dinyatakan menjadi bank gagal. Setelah bank ditutup, barulah LPS membayar klaim nasabah. Sedangkan bila bank diselamatkan, LPS baru akan menyuntikkan modal.
Perubahan kewenangan berikutnya LPS dapat menempatkan dana selama pemulihan ekonomi sebagai dampak Covid-19. LPS bisa menyuntikkan dana pada bank yang kesulitan likuiditas dengan batas tertentu dan kriteria tertentu. Aturan tersebut juga mengatur bila kesulitan likuiditas, LPS bisa menerbitkan surat utang, mencari pinjaman, dan berutang ke pemerintah.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan, regulasi ini hanya menegaskan kembali perluasan kewenangan LPS untuk mengantisipasi dampak pandemi pada perbankan. Perluasan wewenang terkait dengan penempatan dana di sebuah bank. (Baca juga: Perlakuan Khusus ke TKA China Bisa Jadi Bumerang)
Putusan pemerintah yang dikeluarkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/2020 tentang Pelaksanaan Kewenangan LPS dikabarkan akibat penolakan bank-bank milik negara untuk dijadikan bank jangkar atau penyangga likuiditas bank saat krisis. Saat Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) ingin menetapkan aturan bank jangkar, ramai terjadi penolakan. Kalangan wakil rakyat pun ikut berkomentar.
Misbakhun, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, mempertanyakan bagaimana bank milik pemerintah mengurusi keperluan likuiditas dan restrukturisasi kredit nasabah bank lain. Sementara pada saat yang sama bank anggota Himbara harus mengurus restrukturisasi kredit atas nasabahnya sendiri.
Dengan keluarnya aturan baru kewenangan LPS ini tentu tidak hanya melegakan bank-bank milik negara, tetapi juga para nasabah perbankan pada umumnya. Aturan ini membuat kepastian jika ada bank yang kekurangan likuiditas, maka LPS akan siap membantu dan menyehatkannya kembali. (Baca: Punya Kewenangan Lebih, LPS Tak Sembarang Bisa Suntik Bank)
Tak perlu ragu dengan kapabilitas LPS dalam memberikan bantuan terhadap perbankan saat krisis melanda. Kemampuan LPS telah teruji pada krisis 2008 yang mengharuskan mereka menyelamatkan Bank Century sehingga Indonesia bisa terbebas dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Meski begitu, belakangan ada unsur politik yang membuat permasalahan Bank Century terus berlarut.
Seperti diketahui, akhir pekan lalu pemerintah mengumumkan telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33/2020. PP ini merupakan tindak lanjut dari Perppu Nomor 1/2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas keuangan dalam menangani pandemi Covid-19. Peraturan diundangkan pada 7 Juli 2020.
Poin utama aturan tersebut adalah LPS bisa melakukan penyelamatan bank sakit atau masih dalam pengawasan intensif dari OJK. Hal itu tercantum dalam Pasal 3 ayat (1). Berikutnya LPS dapat berkoordinasi dengan OJK untuk melakukan pertukaran data atau informasi bank, pemeriksaan bersama terhadap bank dan kegiatan lainnya.
Sedangkan sebelumnya dalam UU Nomor 24/2004 dinyatakan LPS hanya boleh menyelamatkan atau menutup bank ketika sudah dinyatakan menjadi bank gagal. Setelah bank ditutup, barulah LPS membayar klaim nasabah. Sedangkan bila bank diselamatkan, LPS baru akan menyuntikkan modal.
Perubahan kewenangan berikutnya LPS dapat menempatkan dana selama pemulihan ekonomi sebagai dampak Covid-19. LPS bisa menyuntikkan dana pada bank yang kesulitan likuiditas dengan batas tertentu dan kriteria tertentu. Aturan tersebut juga mengatur bila kesulitan likuiditas, LPS bisa menerbitkan surat utang, mencari pinjaman, dan berutang ke pemerintah.
Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah mengatakan, regulasi ini hanya menegaskan kembali perluasan kewenangan LPS untuk mengantisipasi dampak pandemi pada perbankan. Perluasan wewenang terkait dengan penempatan dana di sebuah bank. (Baca juga: Perlakuan Khusus ke TKA China Bisa Jadi Bumerang)