Wimboh: Kerugian Investasi Bodong Capai Rp105,81 Triliun
A
A
A
JAKARTA - Bermunculannya produk-produk investasi baru yang tidak jelas legalitasnya menjadi tantangan bagi satuan tugas (satgas) Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Untuk memperkuat pengawasan, OJK akan memperluas kemitraan dengan Kementerian/Lembaga lainnya.
Saat ini Satgas Waspada Investasi beranggotakan OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, BKPM, Kementerian Koperasi dan UKM, Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya kerja sama akan diperluas dengan menggandeng lima K/L yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Bank Indonesia dan PPATK.
"Kita harus mengawasi bersama regulator lainnya, tidak bisa sendiri," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (7/10/2017).
Upaya ini untuk memperkuat pengawasan dan mengantisipasi tantangan ke depan, dimana kemunculan produk-produk investasi baru diproyeksikan lebih cepat daripada regulasinya sendiri. Regulasi yang tidak terintegrasi juga menjadi kendala. Terlebih di era teknologi internet dan digital saat ini banyak produk investasi yang menggunakan financial technology (fintech).
"Mereka mencari celah dari regulasi. Lembaga yang meluncurkan produknya juga tidak di Indonesia. Lembaga dan produknya virtual, sehingga pengawasannya juga susah," tuturnya.
Wimboh menegaskan regulator fintech harus ada dan jelas. Kalaupun belum ada, pengawasan tetap harus berjalan. "Prinsip kita tidak boleh ada blindspot yang tidak terawasi," tandasnya.
Wimboh memproyeksikan ke depan akan semakin banyak produk investasi yang menggunakan dana masyarakat. Memanfaatkan kekurangpahaman masyarakat ditambah iming-iming return tinggi dan cepat, praktik investasi ilegal atau bodong diperkirakan masih akan marak.
Maraknya investasi bodong ini bisa memicu kegaduhan di masyarakat. Menurut Wimboh, dampaknya juga bisa menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat pada produk keuangan, menimbulkan potensi instabilitas, dan mengganggu proses pembangunan.
"Perkiraan total kerugian investasi bodong cukup besar. Dari tahun 2007 sampai 2017 kurang lebih Rp105,81 triliun," ungkapnya.
Selama ini regulator acapkali terlambat mengetahui keberadaan praktik investasi ilegal yang merugikan masyarakat. Untuk itu, Wimboh mengimbau masyarakat untuk aktif melapor manakala mengetahui ada entitas yang melakukan praktik investasi mencurigakan.
Umumnya praktik investasi bodong ini menjanjikan keuntungan yang cepat dan tinggi, dan seringkali tidak masuk akal. "Hati-hati dalam berinvestasi, jangan terpancing iming-iming keuntungan yang besar," tegasnya.
Wimboh menambahkan, berbagai tindakan represif telah dilakukan, misalnya mencabut izin investasi ilegal sebelum makan banyak korban, serta menghentikan aktivitas dan menutup industri jasa keuangan ilegal. "Kita perkuat proses penegakan hukum bagi pelaku investasi ilegal, dan bersama anggota satgas waspada investasi membentuk krisis center untuk korban investasi ilegal," tuturnya.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengungkapkan, saat ini terdapat 118 entitas yang diduga ilegal dan berpotensi merugikan masyarakat. Beberapa diantaranya sudah dihentikan operasinya.
"Untuk periode Januari-September sudah 48 yang kita hentikan. Bulan ini juga kami akan memanggil 11 entitas yang terindikasi melakukan praktik ilegal," ungkapnya.
Tongam mengatakan, banyak diantara investasi ilegal tersebut yang kegiatannya bukan dilakukan oleh entitas jasa keuangan. Misalnya melakukan kegiatan seperti multilevel marketing (MLM), investasi uang dengan bunga tinggi, investasi perkebunan dan perumahan yang menghimpun dana masyarakat dengan memberikan bunga tinggi.
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti mengatakan, berdasar data, kelompok menengah dengan nilai rekening tabungan Rp200 juta-Rp500 juta, biasanya paling mudah tergoda untuk mengalokasikan dananya ke investasi-investasi yang high return dan quick return. "Tapi kebanyakan mereka juga tidak paham dengan risikonya," ujarnya.
Saat ini Satgas Waspada Investasi beranggotakan OJK, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Perdagangan, BKPM, Kementerian Koperasi dan UKM, Kepolisian RI dan Kejaksaan Agung.
Selanjutnya kerja sama akan diperluas dengan menggandeng lima K/L yaitu Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan Dasar Menengah, Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Bank Indonesia dan PPATK.
"Kita harus mengawasi bersama regulator lainnya, tidak bisa sendiri," ujar Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam diskusi di Jakarta, Sabtu (7/10/2017).
Upaya ini untuk memperkuat pengawasan dan mengantisipasi tantangan ke depan, dimana kemunculan produk-produk investasi baru diproyeksikan lebih cepat daripada regulasinya sendiri. Regulasi yang tidak terintegrasi juga menjadi kendala. Terlebih di era teknologi internet dan digital saat ini banyak produk investasi yang menggunakan financial technology (fintech).
"Mereka mencari celah dari regulasi. Lembaga yang meluncurkan produknya juga tidak di Indonesia. Lembaga dan produknya virtual, sehingga pengawasannya juga susah," tuturnya.
Wimboh menegaskan regulator fintech harus ada dan jelas. Kalaupun belum ada, pengawasan tetap harus berjalan. "Prinsip kita tidak boleh ada blindspot yang tidak terawasi," tandasnya.
Wimboh memproyeksikan ke depan akan semakin banyak produk investasi yang menggunakan dana masyarakat. Memanfaatkan kekurangpahaman masyarakat ditambah iming-iming return tinggi dan cepat, praktik investasi ilegal atau bodong diperkirakan masih akan marak.
Maraknya investasi bodong ini bisa memicu kegaduhan di masyarakat. Menurut Wimboh, dampaknya juga bisa menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat pada produk keuangan, menimbulkan potensi instabilitas, dan mengganggu proses pembangunan.
"Perkiraan total kerugian investasi bodong cukup besar. Dari tahun 2007 sampai 2017 kurang lebih Rp105,81 triliun," ungkapnya.
Selama ini regulator acapkali terlambat mengetahui keberadaan praktik investasi ilegal yang merugikan masyarakat. Untuk itu, Wimboh mengimbau masyarakat untuk aktif melapor manakala mengetahui ada entitas yang melakukan praktik investasi mencurigakan.
Umumnya praktik investasi bodong ini menjanjikan keuntungan yang cepat dan tinggi, dan seringkali tidak masuk akal. "Hati-hati dalam berinvestasi, jangan terpancing iming-iming keuntungan yang besar," tegasnya.
Wimboh menambahkan, berbagai tindakan represif telah dilakukan, misalnya mencabut izin investasi ilegal sebelum makan banyak korban, serta menghentikan aktivitas dan menutup industri jasa keuangan ilegal. "Kita perkuat proses penegakan hukum bagi pelaku investasi ilegal, dan bersama anggota satgas waspada investasi membentuk krisis center untuk korban investasi ilegal," tuturnya.
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam Lumban Tobing mengungkapkan, saat ini terdapat 118 entitas yang diduga ilegal dan berpotensi merugikan masyarakat. Beberapa diantaranya sudah dihentikan operasinya.
"Untuk periode Januari-September sudah 48 yang kita hentikan. Bulan ini juga kami akan memanggil 11 entitas yang terindikasi melakukan praktik ilegal," ungkapnya.
Tongam mengatakan, banyak diantara investasi ilegal tersebut yang kegiatannya bukan dilakukan oleh entitas jasa keuangan. Misalnya melakukan kegiatan seperti multilevel marketing (MLM), investasi uang dengan bunga tinggi, investasi perkebunan dan perumahan yang menghimpun dana masyarakat dengan memberikan bunga tinggi.
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti mengatakan, berdasar data, kelompok menengah dengan nilai rekening tabungan Rp200 juta-Rp500 juta, biasanya paling mudah tergoda untuk mengalokasikan dananya ke investasi-investasi yang high return dan quick return. "Tapi kebanyakan mereka juga tidak paham dengan risikonya," ujarnya.
(ven)