Wawancara Kepala BPJPH Muhammad Aqil Irham: Bangun Brand Image Produk melalui Sertifikat Halal

Rabu, 08 Februari 2023 - 12:52 WIB
Apakah ini mempengaruhi tingkat sertifikasi halal di sana?

Anehnya, ekosistem halal sudah cukup kuat, tapi capaian sertifikasi halalnya belum sampai 10%. Saya tanya kenapa? Pertama, di sana belum mandatory seperti kita. Mereka masih voluntary. Kedua, dunia industrinya masih belum menganggap sertifikat halal punya kontribusi signifikan dalam bisnisnya.

Banyak negara yang penduduk nonmuslimnya bukan mayoritas tapi sangat konsen dengan sertifikasi halal ini. Apa pendapat Anda?

Saya agak surprise ketika menerima 106 lembaga halal luar negeri dari 44 negara. Kemarin, kita undang di acara H20 di Semarang. Yang membuat kaget, sebagian besar negara-negara itu nonmuslim, muslimnya minoritas, dan sekuler. Mereka seperti pelaku usaha menengah besar di Indonesia yang menganggap halal bukan hanya soal isu agama. Akan tetapi, itu isu dunia industri, ekonomi, branding image perusahaan, dan nilai tambah. Kompetisi perusahaan dengan branding image itu memberikan produknya nilai tambah dan profit bisa lebih tinggi untuk mereka berjualan di komunitas masyarakat mayoritas muslim, seperti Indonesia dan negara-negara Timur Tengah. Itu yang membuat mereka mau ikut sertifikasi halal. Di samping itu, karena produknya tidak bisa masuk ke Indonesia kalau belum bersertifikat halal.

Itu berlaku untuk semua?

Baik domestik maupun global nanti tertahan di bea cukai. Enggak bisa masuk kalau enggak bersertifikat halal. Boleh masuk kalau mereka sudah ada tanda tangan Memorandum of Understanding (MoU) dan Mutual Recognition Agreement (MRA) dengan BPJPH.

Sudah disosialisasikan ke semuanya?

Makanya, asesor kita ke daerah-daerah dan beberapa negara untuk melakukan penilaian kesesuaian standar halal yang ditetapkan di sana dengan di sini. Kalau matching, kita tanda tangan. Kamu boleh masuk, tinggal registrasi. Kamu boleh bikin sertifikat, tapi di sini registrasinya.

Apakah sudah ada standar halal secara global, misalnya agar produk Indonesia bisa masuk ke Timur Tengah?

Sebenarnya bukan semata-semata standarisasi produknya, tapi kualitas, kontinuitas produknya bila diekspor ke sana, dan volumenya. Itu yang menjadi pertimbangan Saudi Food and Drug Authority. Misalnya, kenapa ikan patin kita kalah dengan Vietnam dan Filipina karena standarnya beda, ukuran, kualitas, dan kontinuitas. Orang ingin kalau dikirim enggak putus-putus, rutin. Jangan dikirim dua kali sudah enggak ada stok lagi. Dengan SFDA, sedang finalisasi MoU. Memang rasanya untuk menetapkan standar global tidak bisa terwujud. Walaupun kita sudah ada forum, khususnya anggota OKI, sudah sekali untuk ditetapkan standar halal yang sama. Karena itu, perlu ada saling pengakuan, MoU dan MRA.
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More