3 Negara yang Takut dengan Keberadaan BRICS
Senin, 23 September 2024 - 18:39 WIB
Semangat dedolarisasi yang diusung BRICS, kemungkinan membuat Amerika Serikat (AS) merasa terganggu. Keberadaan BRICS telah memberikan alternatif bagi negara-negara berkembang untuk mencari mitra dan sumber investasi di luar hubungan tradisional dengan negara Barat.
Terlebih BRICS dipimpin oleh duo Rusia dan China yang punya hubungan kurang baik dengan AS, seiring dengan pecahnya perang di Ukraina hingga perang dagang.
Dipimpin oleh China dan didukung penuh oleh Brasil, BRICS sedang berjuang menuju perubahan paradigma dalam hierarki mata uang global yang didominasi oleh dolar AS, yang oleh negara-negara BRICS dianggap sebagai hambatan utama bagi kapasitas ekonomi mereka untuk berkembang.
Presiden Brasil, Lula da Silva sempat menyatakan, mengakhiri ketergantungan pada dolar sebagai salah satu prioritas BRICS. Belakangan saat dolar AS dipakai sebagai senjata untuk menghukum Rusia atas perangnya di Ukraina, menjadi salah satu alasan memudarnya hegemoni mata uang utama tersebut.
Ketidakpuasan negara-negara berkembang terhadap model pembiayaan Barat mungkin dapat menjelaskan sebagian dari meningkatnya daya tarik BRICS. Bagi Presiden Prancis Emanuel Macron, BRICS merupakan perwujudan dari fragmentasi sistem politik global yang membawa “risiko melemahnya Barat dan khususnya Eropa.”
Kehadiran BRICS yang terus meluas dianggap sebagai penantang buat Uni Eropa (UE). Blok Uni Eropa saat ini berjumlah 27 negara, yakni Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Republik Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slowakia, Slovenia, Spanyol, dan Swedia.
Uni Eropa juga menjadi salah satu blok kekuatan ekonomi dunia. Perluasan BRICS mungkin mencerminkan proses fragmentasi global yang sedang berlangsung. Gerakan ini membawa momentum kuat, dan yang paling menyatukan BRICS adalah penolakan mereka terhadap tatanan yang didominasi Barat.
Kini Barat dan khususnya Uni Eropa, dinilai harus menindaklanjuti dan memikirkan kembali model kerja sama dan pembangunan mereka dengan negara-negara berkembang. Jika tidak, mereka berisiko kehilangan negara-negara berkembang di masa meningkatnya ketegangan geopolitik dan tantangan transformasi global.
Terlebih BRICS dipimpin oleh duo Rusia dan China yang punya hubungan kurang baik dengan AS, seiring dengan pecahnya perang di Ukraina hingga perang dagang.
Dipimpin oleh China dan didukung penuh oleh Brasil, BRICS sedang berjuang menuju perubahan paradigma dalam hierarki mata uang global yang didominasi oleh dolar AS, yang oleh negara-negara BRICS dianggap sebagai hambatan utama bagi kapasitas ekonomi mereka untuk berkembang.
Presiden Brasil, Lula da Silva sempat menyatakan, mengakhiri ketergantungan pada dolar sebagai salah satu prioritas BRICS. Belakangan saat dolar AS dipakai sebagai senjata untuk menghukum Rusia atas perangnya di Ukraina, menjadi salah satu alasan memudarnya hegemoni mata uang utama tersebut.
Ketidakpuasan negara-negara berkembang terhadap model pembiayaan Barat mungkin dapat menjelaskan sebagian dari meningkatnya daya tarik BRICS. Bagi Presiden Prancis Emanuel Macron, BRICS merupakan perwujudan dari fragmentasi sistem politik global yang membawa “risiko melemahnya Barat dan khususnya Eropa.”
2. Negara Eropa
Kehadiran BRICS yang terus meluas dianggap sebagai penantang buat Uni Eropa (UE). Blok Uni Eropa saat ini berjumlah 27 negara, yakni Austria, Belgia, Bulgaria, Kroasia, Republik Siprus, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Hungaria, Irlandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Malta, Belanda, Polandia, Portugal, Rumania, Slowakia, Slovenia, Spanyol, dan Swedia.
Uni Eropa juga menjadi salah satu blok kekuatan ekonomi dunia. Perluasan BRICS mungkin mencerminkan proses fragmentasi global yang sedang berlangsung. Gerakan ini membawa momentum kuat, dan yang paling menyatukan BRICS adalah penolakan mereka terhadap tatanan yang didominasi Barat.
Kini Barat dan khususnya Uni Eropa, dinilai harus menindaklanjuti dan memikirkan kembali model kerja sama dan pembangunan mereka dengan negara-negara berkembang. Jika tidak, mereka berisiko kehilangan negara-negara berkembang di masa meningkatnya ketegangan geopolitik dan tantangan transformasi global.
3. Negara Penerima Bantuan Barat
tulis komentar anda