Deflasi 5 Bulan Beruntun Tak Lumrah: Daya Beli Lesu, PHK di Mana-mana
Rabu, 09 Oktober 2024 - 08:32 WIB
JAKARTA - Anggota DPR RI Rachmat Gobel mengusulkan tiga solusi untuk mengatasi deflasi yang menimpa Indonesia. Sejumlah solusi itu antara lain, memperbaiki pertanian, menggalakkan ekonomi sirkular dan mengendalikan impor.
"Walaupun sudah mengalami deflasi, masyarakat tetap tak melakukan aksi beli karena tak memiliki cukup uang. Kondisi ini merupakan yang terburuk dalam satu dekade ini," ujar dia dalam pernyataannya, Rabu (9/10/2024).
Gobel menyampaikan hal itu menanggapi data BPS yang menunjukkan deflasi yang sedang menimpa Indonesia dalam lima bulan secara berturut-turut. Deflasi adalah peristiwa turunnya harga-harga barang akibat menurunnya daya beli masyarakat. Deflasi mulai terjadi pada bulan Mei, sebesar 0,03 persen, lalu Juni 0,08 persen, Juli 0,18 persen, Agustus 0,03 persen, dan September 0,12 persen.
"Indonesia terus didera kondisi ekonomi yang memprihatinkan seperti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), tutupnya sejumlah industri manufaktur, dan banjir barang-barang impor," ungkapnya.
Selain itu, jumlah kelas menengah Indonesia yang terus anjlok dan fenomena mantab alias makan tabungan, yaitu masyarakat mulai menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena menurunnya pendapatan. "Semua ini terjadi akibat salah kelola ekonomi serta kebijakan ekonomi yang mengandung unsur fraud dan moral hazard," kata Gobel.
Menurut dia situasi ini tak hanya bersifat struktural tapi juga menyangkut tata nilai sehingga rusaknya sangat sistemis dan massif. Sehingga butuh solusi mendasar tapi juga sekaligus kreatif dan berdimensi masa depan.
Lebih lanjut, situasi yang sedang dihadapi Indonesia tak hanya mengancam target pertumbuhan ekonomi Indonesia tapi juga bisa menjungkalkan Indonesia untuk masuk ke dalam negara berkategori middle income trap.
"Indonesia sudah lama masuk ke dalam negara berpendapatan menengah, sudah lebih dari 20 tahun, dan masih jauh untuk bisa di atas USD10 ribu untuk lepas dari negara berpendapatan menengah. Indonesia bukan makin masuk sebagai negara industri, tapi justru mengalami deindustrialisasi. Di Asia Tenggara, beruntung masih ada negara seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja, sehingga kita masih bisa senang secara palsu. Tapi jika melihat ke Vietnam, maka kita bisa sesak napas," katanya.
"Walaupun sudah mengalami deflasi, masyarakat tetap tak melakukan aksi beli karena tak memiliki cukup uang. Kondisi ini merupakan yang terburuk dalam satu dekade ini," ujar dia dalam pernyataannya, Rabu (9/10/2024).
Gobel menyampaikan hal itu menanggapi data BPS yang menunjukkan deflasi yang sedang menimpa Indonesia dalam lima bulan secara berturut-turut. Deflasi adalah peristiwa turunnya harga-harga barang akibat menurunnya daya beli masyarakat. Deflasi mulai terjadi pada bulan Mei, sebesar 0,03 persen, lalu Juni 0,08 persen, Juli 0,18 persen, Agustus 0,03 persen, dan September 0,12 persen.
"Indonesia terus didera kondisi ekonomi yang memprihatinkan seperti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK), tutupnya sejumlah industri manufaktur, dan banjir barang-barang impor," ungkapnya.
Selain itu, jumlah kelas menengah Indonesia yang terus anjlok dan fenomena mantab alias makan tabungan, yaitu masyarakat mulai menggunakan tabungannya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena menurunnya pendapatan. "Semua ini terjadi akibat salah kelola ekonomi serta kebijakan ekonomi yang mengandung unsur fraud dan moral hazard," kata Gobel.
Menurut dia situasi ini tak hanya bersifat struktural tapi juga menyangkut tata nilai sehingga rusaknya sangat sistemis dan massif. Sehingga butuh solusi mendasar tapi juga sekaligus kreatif dan berdimensi masa depan.
Lebih lanjut, situasi yang sedang dihadapi Indonesia tak hanya mengancam target pertumbuhan ekonomi Indonesia tapi juga bisa menjungkalkan Indonesia untuk masuk ke dalam negara berkategori middle income trap.
"Indonesia sudah lama masuk ke dalam negara berpendapatan menengah, sudah lebih dari 20 tahun, dan masih jauh untuk bisa di atas USD10 ribu untuk lepas dari negara berpendapatan menengah. Indonesia bukan makin masuk sebagai negara industri, tapi justru mengalami deindustrialisasi. Di Asia Tenggara, beruntung masih ada negara seperti Laos, Myanmar, dan Kamboja, sehingga kita masih bisa senang secara palsu. Tapi jika melihat ke Vietnam, maka kita bisa sesak napas," katanya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda