Insentif Pajak Mobil Ditebar, Debt Collector Tetap Mengincar
Senin, 01 Maret 2021 - 23:22 WIB
JAKARTA - I nsentif pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) memiliki tujuan utama memancing masyarakat belanja mobil baru. Namun harap waspada karena tetap akan ada praktik debt collector yang siap menyita bila cicilan mulai tersendat.
Menurut Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Asad, praktik debt collector sejatinya hanya bisa ditanggulangi dengan terus membayar cicilan. Namun untuk tips, dia menyarankan agar konsumen memilih leasing, fintech, atau lembaga keuangan resmi lain yang diawasi Otoritas Jasa Keuangan OJK. ( Baca juga:Ada PPnBM, Industri Otomotif Bakal Sedot Banyak Tenaga Kerja )
"Kalau sudah resmi biasanya tidak terlalu seram debt collectornya. Tapi tetap rasanya sama-sama tidak enak kalau sudah disita debt collector. Sepertinya belum ada perubahan signifikan di lapangan walaupun tidak sekasar seperti dulu," ujar Tejasari saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, (1/3/2021).
Dia bercerita dari pengalaman nyata salah satu stafnya di tahun 2020 lalu, yang terpaksa kehilangan motor karena disita debt collector. Walaupun sudah menggunakan leasing resmi namun tetap tidak ada ampun. Hanya karena tidak sanggup mencicil tiga kali akhirnya harus kehilangan motor.
"Kejadian nyata pada staf aku di Bogor. Motornya diambil karena tidak bisa bayar tiga kali cicilan. Jadi masih tetep seperti itu ya debt collector. Seharusnya juga pihak leasing melelang motor tersebut dan mengembalikan uang cicilan yang pernah dibayarkan nasabah. Tapi ini tidak ada," jelasnya.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia memperjelas Pasal 15 Undang-Undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cidera Janji antara Debitur dan Kreditur.
Keputusan tersebut berarti pihak leasing tetap bisa menarik kendaraan motor maupun mobil yang proses kreditnya tidak sesuai dengan perjanjian alias macet. Penarikan pun harus dilandaskan pada perjanjian yang jelas. Maksudnya klausul-klausulnya diketahui kedua belah pihak.
Dia juga menambahkan minat masyarakat di daerah tetap tinggi untuk membeli kendaraan namun kurang paham risiko yang harus dihadapi. Berbeda dengan masyarakat di kota besar yang lebih teredukasi dengan risiko membayar menggunakan cicilan. ( Baca juga:Dugaan Pelecehan, Dua Karyawati Perusahaan di Ancol Laporkan Bos ke Polisi )
"Karena perusahaan pembiayaan ataupun fintech juga dalam kondisi keuangan ketat jadi lebih disiplin soal cicilan. Masyarakat di daerah masih tetap minat membeli kendaraan namun literasinya masih rendah," ujarnya.
Menurut Perencana Keuangan dari Tatadana Consulting Tejasari Asad, praktik debt collector sejatinya hanya bisa ditanggulangi dengan terus membayar cicilan. Namun untuk tips, dia menyarankan agar konsumen memilih leasing, fintech, atau lembaga keuangan resmi lain yang diawasi Otoritas Jasa Keuangan OJK. ( Baca juga:Ada PPnBM, Industri Otomotif Bakal Sedot Banyak Tenaga Kerja )
"Kalau sudah resmi biasanya tidak terlalu seram debt collectornya. Tapi tetap rasanya sama-sama tidak enak kalau sudah disita debt collector. Sepertinya belum ada perubahan signifikan di lapangan walaupun tidak sekasar seperti dulu," ujar Tejasari saat dihubungi MNC Portal Indonesia di Jakarta, (1/3/2021).
Dia bercerita dari pengalaman nyata salah satu stafnya di tahun 2020 lalu, yang terpaksa kehilangan motor karena disita debt collector. Walaupun sudah menggunakan leasing resmi namun tetap tidak ada ampun. Hanya karena tidak sanggup mencicil tiga kali akhirnya harus kehilangan motor.
"Kejadian nyata pada staf aku di Bogor. Motornya diambil karena tidak bisa bayar tiga kali cicilan. Jadi masih tetep seperti itu ya debt collector. Seharusnya juga pihak leasing melelang motor tersebut dan mengembalikan uang cicilan yang pernah dibayarkan nasabah. Tapi ini tidak ada," jelasnya.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi No.18/PUU-XVII/2019 tanggal 6 Januari 2020 soal Fidusia memperjelas Pasal 15 Undang-Undang (UU) No. 42 Tahun 1999 tentang Wanprestasi atau Cidera Janji antara Debitur dan Kreditur.
Keputusan tersebut berarti pihak leasing tetap bisa menarik kendaraan motor maupun mobil yang proses kreditnya tidak sesuai dengan perjanjian alias macet. Penarikan pun harus dilandaskan pada perjanjian yang jelas. Maksudnya klausul-klausulnya diketahui kedua belah pihak.
Dia juga menambahkan minat masyarakat di daerah tetap tinggi untuk membeli kendaraan namun kurang paham risiko yang harus dihadapi. Berbeda dengan masyarakat di kota besar yang lebih teredukasi dengan risiko membayar menggunakan cicilan. ( Baca juga:Dugaan Pelecehan, Dua Karyawati Perusahaan di Ancol Laporkan Bos ke Polisi )
"Karena perusahaan pembiayaan ataupun fintech juga dalam kondisi keuangan ketat jadi lebih disiplin soal cicilan. Masyarakat di daerah masih tetap minat membeli kendaraan namun literasinya masih rendah," ujarnya.
(uka)
tulis komentar anda