Asap Kena Pajak, Legislator: Kesannya Pemerintah Sudah Enggak Punya Uang
Kamis, 24 Juni 2021 - 06:31 WIB
“Jadi waktunya tidak tepat saat ini. Harus ditimbang-timbang, jangan malah bikin mereka susah dan ekonomi ikut susah,” katanya.
Sebelumnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, juga meminta pemerintah menghitung secara matang wacana pajak karbon. Sebab, banyak industri bakal terdampak kebijakan tersebut, mulai sektor otomotif hingga produsen semen.
Mardani menyebut penghitungan secara saksama diperlukan. Sebab, industri masih terdampak pandemi.
“Harus dihitung dengan saksama. Jangan malah membunuh mereka. Artinya, siapkan dulu industrinya karena masih pandemi. Penerapan kebijakan ini mestinya justru memperkuat industri bukan sebaliknya,” kata Mardani kepada wartawan, Minggu, 20 Juni 2021.
Seperti diketahui, rencana penarikan pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara tertuang dalam perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Beleid ini rencananya akan dibahas secepatnya di tahun ini sebab sudah ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) oleh parlemen.
Lebih lanjut, dari revisi UU KUP mengungkapkan, pajak karbon dipungut dari orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon.
Dari sisi administrasi perpajakannya, pajak karbon terutang dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Pajak karbon terutang pada saat pembelian barang yang mengandung karbon atau pada periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu.
Dari sisi penerimaan, nantinya uang pajak yang didapat dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Kelak, bila beleid ini diundangkan, maka pemerintah akan segera menurunkan peraturan pemerintah (PP) terkait sebagai aturan pelaksana pajak karbon antara lain terkait tarif dan penambahan objek pajak yang dikenai karbon.
Sebelumnya, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, juga meminta pemerintah menghitung secara matang wacana pajak karbon. Sebab, banyak industri bakal terdampak kebijakan tersebut, mulai sektor otomotif hingga produsen semen.
Mardani menyebut penghitungan secara saksama diperlukan. Sebab, industri masih terdampak pandemi.
“Harus dihitung dengan saksama. Jangan malah membunuh mereka. Artinya, siapkan dulu industrinya karena masih pandemi. Penerapan kebijakan ini mestinya justru memperkuat industri bukan sebaliknya,” kata Mardani kepada wartawan, Minggu, 20 Juni 2021.
Seperti diketahui, rencana penarikan pajak karbon sebesar Rp75 per kilogram karbon dioksida ekuivalen (CO2e) atau satuan yang setara tertuang dalam perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Beleid ini rencananya akan dibahas secepatnya di tahun ini sebab sudah ditetapkan dalam program legislasi nasional (prolegnas) oleh parlemen.
Lebih lanjut, dari revisi UU KUP mengungkapkan, pajak karbon dipungut dari orang pribadi atau korporasi yang membeli barang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon.
Dari sisi administrasi perpajakannya, pajak karbon terutang dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. Pajak karbon terutang pada saat pembelian barang yang mengandung karbon atau pada periode tertentu dari aktivitas menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu.
Dari sisi penerimaan, nantinya uang pajak yang didapat dari pajak karbon dapat dialokasikan untuk pengendalian perubahan iklim. Kelak, bila beleid ini diundangkan, maka pemerintah akan segera menurunkan peraturan pemerintah (PP) terkait sebagai aturan pelaksana pajak karbon antara lain terkait tarif dan penambahan objek pajak yang dikenai karbon.
Lihat Juga :
tulis komentar anda