Ekonomi Karut Marut, Warga Afghanistan: Tuhan Tolong Kami...
Senin, 23 Agustus 2021 - 08:40 WIB
JAKARTA - Sepekan setelah kelompok Taliban mengambil alih pemerintahan sah di ibu kota Kabul, seorang mantan polisi Afghanistan bercerita betapa sulitnya bertahan hidup. Dirinya yang terbiasa melindungi masyarakat kini memilih untuk bersembunyi di tengah ancaman anggota Taliban yang telah merangsek di jalanan kota.
Bersama istri dan keempat anaknya, dia harus rela kehilangan pekerjaan dan tak lagi menerima gaji sebagai aparat sebesar USD260 setara Rp3,7 juta per bulan.
"Saya benar-benar kacau, tak tahu apa yang perlu saya lakukan terlebih dahulu, apakah bertahan hidup untuk keselamatan saya pribadi atau memberi makan anak-anak dan keluarga," kata pria yang tak ingin disebutkan namanya itu, dilansir Reuters, Senin (23/8/2021).
Sebagai pegawai pemerintah, dia mengaku sulit untuk beradaptasi dengan situasi ekonomi saat ini mengingat kebutuhan hidup keluarganya yang membengkak. "Saya kontrak di apartemen, belum bayar selama tiga bulan," ungkapnya.
Selama sepekan terakhir di tengah ketidakpastian ekonomi, dia rela menjual beberapa perhiasan sang istri seperti cincin dan sepasang anting. Alih-alih mendapat uang dari hasil jualannya itu, semua pusat bisnis dan pasar ditutup. Tak ayal, tak ada uang yang masuk ke kantong. "Saya sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, saya butuh bantuan," ungkapnya.
Seminggu setelah Taliban menguasai ibu kota Kabul, banyak warga Afghanistan berjuang untuk bertahan hidup di tengah krisis hilangnya pekerjaan, bank-bank yang masih tutup, dan lonjakan harga kebutuhan pokok.
Pemerintah Afghanistan diketahui sudah tidak membayar para pekerjanya selama dua bulan terakhir sebelum Taliban mengambil-alih. Ketidakpastian politik dan ekonomi yang rapuh membuat dukungan mancanegara mulai luntur. Nilai mata uang lokal Afghani jatuh terhadap dolar dan mendorong kenaikan harga bahan pokok.
Bersama istri dan keempat anaknya, dia harus rela kehilangan pekerjaan dan tak lagi menerima gaji sebagai aparat sebesar USD260 setara Rp3,7 juta per bulan.
"Saya benar-benar kacau, tak tahu apa yang perlu saya lakukan terlebih dahulu, apakah bertahan hidup untuk keselamatan saya pribadi atau memberi makan anak-anak dan keluarga," kata pria yang tak ingin disebutkan namanya itu, dilansir Reuters, Senin (23/8/2021).
Sebagai pegawai pemerintah, dia mengaku sulit untuk beradaptasi dengan situasi ekonomi saat ini mengingat kebutuhan hidup keluarganya yang membengkak. "Saya kontrak di apartemen, belum bayar selama tiga bulan," ungkapnya.
Selama sepekan terakhir di tengah ketidakpastian ekonomi, dia rela menjual beberapa perhiasan sang istri seperti cincin dan sepasang anting. Alih-alih mendapat uang dari hasil jualannya itu, semua pusat bisnis dan pasar ditutup. Tak ayal, tak ada uang yang masuk ke kantong. "Saya sudah tak tahu lagi harus berbuat apa, saya butuh bantuan," ungkapnya.
Seminggu setelah Taliban menguasai ibu kota Kabul, banyak warga Afghanistan berjuang untuk bertahan hidup di tengah krisis hilangnya pekerjaan, bank-bank yang masih tutup, dan lonjakan harga kebutuhan pokok.
Pemerintah Afghanistan diketahui sudah tidak membayar para pekerjanya selama dua bulan terakhir sebelum Taliban mengambil-alih. Ketidakpastian politik dan ekonomi yang rapuh membuat dukungan mancanegara mulai luntur. Nilai mata uang lokal Afghani jatuh terhadap dolar dan mendorong kenaikan harga bahan pokok.
tulis komentar anda