Kementan: Aktivitas Pembibitan Sapi Perah Tidak Terkendala Covid-19
Senin, 22 Juni 2020 - 09:37 WIB
Dalam 3 tahun terakhir BBPTUHPT Baturraden telah menghasilkan bibit sapi perah sebanyak 1.155 ekor dengan rincian 477 ekor pada tahun 2017, 282 ekor pada tahun 2018 dan 396 ekor pada tahun 2019. Balai juga menghasilkan bibit kambing perah sebanyak 920 ekor dengan rincian produksi 334 ekor pada tahun 2017, 193 ekor pada tahun 2018 dan 393 ekor pada tahun 2019.
Sejalan dengan salah satu amanat UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah diubah dengan UU No. 41 tahun 2014 yang menyatakan bahwa “Bibit ternak harus bersertifikat”, balai berupaya semaksimal mungkin untuk memproduksi bibit berkualitas dengan menerapkan ISO 9001:2015, ISO 17025 maupun ISO 37001:2016 sebagai bagian dari manajemen terintegrasi dan mendaftarkan produk bibitnya ke LS-Pro untuk mendapat sertifikat bibit.
"Bibit ternak harus bebas penyakit dan memiliki sertifikat bibit sebagai jaminan mutu kualitasnya", tambah Ketut.
Terkait dengan persyaratan bebas penyakit, BBPTUHPT Baturraden telah dinyatakan sebagai kompartemen bebas penyakit Brucellosis melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 311/Kpts/Pk.400/4/2018 tanggal 27 April 2018 tentang Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden Sebagai Kompartemen Bebas Dari Penyakit Hewan Keluron Menular (Brucellosis) Pada Sapi Perah Dan Kambing Perah. Dengan ditetapkannya BBPTUHPT Baturraden sebagai kompartemen bebas penyakit Brucellosis maka semakin memudahkan balai untuk mendistribusikan bibit ternak produksinya ke seluruh wilayah Indonesia baik wilayah yang sudah dinyatakan bebas Brucellosis maupun yang belum dinyatakan bebas Brucellosis.
Permintaan bibit ternak perah semakin hari kian bertambah, pada akhir tahun 2019 dilaporkan ±700 ekor antrian pembelian bibit sapi perah di Baturraden yang masih menunggu untuk dipenuhi. Tingginya permintaan bibit sapi perah ini menunjukan bahwa animo usaha di bidang peternakan sapi perah masih diminati masyarakat, tapi masyarakat/peternak masih enggan melakukan pembesaran pedet (rearing) untuk menghasilkan bibit karena dianggap tidak menguntungkan dan membutuhkan waktu lama.
“Minimnya unit rearing ternak perah terutama sapi perah tidak sepatutnya dijadikan hambatan dalam pengembangan peternakan sapi perah. Kondisi ini justru kita jadikan semangat bagi para peternak untuk mulai melakukan rearing mandiri dan mendorong semua stakeholder terkait untuk bersama-sama saling bahu-membahu membangun peternakan perah dan persusuan nasional yang Maju, Mandiri dan Modern”, pungkas Ketut.
Sejalan dengan salah satu amanat UU No. 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang telah diubah dengan UU No. 41 tahun 2014 yang menyatakan bahwa “Bibit ternak harus bersertifikat”, balai berupaya semaksimal mungkin untuk memproduksi bibit berkualitas dengan menerapkan ISO 9001:2015, ISO 17025 maupun ISO 37001:2016 sebagai bagian dari manajemen terintegrasi dan mendaftarkan produk bibitnya ke LS-Pro untuk mendapat sertifikat bibit.
"Bibit ternak harus bebas penyakit dan memiliki sertifikat bibit sebagai jaminan mutu kualitasnya", tambah Ketut.
Terkait dengan persyaratan bebas penyakit, BBPTUHPT Baturraden telah dinyatakan sebagai kompartemen bebas penyakit Brucellosis melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 311/Kpts/Pk.400/4/2018 tanggal 27 April 2018 tentang Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul Dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden Sebagai Kompartemen Bebas Dari Penyakit Hewan Keluron Menular (Brucellosis) Pada Sapi Perah Dan Kambing Perah. Dengan ditetapkannya BBPTUHPT Baturraden sebagai kompartemen bebas penyakit Brucellosis maka semakin memudahkan balai untuk mendistribusikan bibit ternak produksinya ke seluruh wilayah Indonesia baik wilayah yang sudah dinyatakan bebas Brucellosis maupun yang belum dinyatakan bebas Brucellosis.
Permintaan bibit ternak perah semakin hari kian bertambah, pada akhir tahun 2019 dilaporkan ±700 ekor antrian pembelian bibit sapi perah di Baturraden yang masih menunggu untuk dipenuhi. Tingginya permintaan bibit sapi perah ini menunjukan bahwa animo usaha di bidang peternakan sapi perah masih diminati masyarakat, tapi masyarakat/peternak masih enggan melakukan pembesaran pedet (rearing) untuk menghasilkan bibit karena dianggap tidak menguntungkan dan membutuhkan waktu lama.
“Minimnya unit rearing ternak perah terutama sapi perah tidak sepatutnya dijadikan hambatan dalam pengembangan peternakan sapi perah. Kondisi ini justru kita jadikan semangat bagi para peternak untuk mulai melakukan rearing mandiri dan mendorong semua stakeholder terkait untuk bersama-sama saling bahu-membahu membangun peternakan perah dan persusuan nasional yang Maju, Mandiri dan Modern”, pungkas Ketut.
(atk)
tulis komentar anda