Bos BCA Preteli 3 Kesalahan yang Menyebabkan Silicon Valley Bank Ambruk
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk ( BCA ) Jahja Setiaatmadja mengungkap tiga penyebab atau kesalahan Silicon Valley Bank (SVB) bisa kolaps alias bangkrut. Jahja kemudian menguraikan tiga penyebab tersebut.
"Pertama, mereka hanya menerima nasabah-nasabah besar. Artinya, kalau nasabah-nasabah besar ini keluar, mereka harus menyediakan dana yang besar. Itu satu," kata Jahja dalam acara Fortune Indonesia Summit 2023, Rabu (15/3/2023).
Kemudian, kesalahan SVB yang kedua menurut Jahja adalah menerima uang atau simpanan dari perusahaan teknologi finansial (fintech company) dan startup. Sebenarnya, itu tidak salah, namun Jahja menilai baik fintech company maupun startup belum stabil secara perusahaan.
"Kedua, mereka menerima dari fintech company dan startup yang tanda petik ya sorry to say masih belum stabil. Beda kalau kita bicara Unilever di Indonesia, Astra, Freeport, itu adalah sederet perusahaan yang stabil. Kalau hari ini ada, 10 dan 20 tahun lagi akan stabil terus," jelas Jahja.
Ketiga, lanjut Jahja, kesalahan SVB terlalu percaya kepada obligasi tepercaya (trusted bond), yakni US Treasury. Lantaran, risiko kredit memiliki risiko nol.
"Mereka terlalu percaya yang disebut trusted bond yaitu US Treasury, gak salah dari segi kredit risk itu zero. Tetapi yang mereka lupa mereka terima funding besar dari wholesale. Wholesale itu kalau taro duit enggak mungkin ngarep bunga kecil," ujar dia.
Jahja menjelaskan, celakanya pada saat suku bunga bank sentral AS atau The Fed naik, maka akan berdampak bagi treasury bills SVB. "Bond ini rumusannya kalau interest naik, harga bond turun," kata dia.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menambahkan, terkait situasi SVB, saat ini kondisi perbankan nasional sangat solid. Posisi likuiditas sektor perbankan terjaga dengan baik serta eksposur kredit terhadap startup maupun kripto sangat kecil.
"Hal ini memperkuat pandangan kami bahwa suatu bank perlu senantiasa menjaga keseimbangan likuiditas," katanya saat dikonfirmasi MNC Portal Indonesia, Kamis (16/3/2023).
"Pertama, mereka hanya menerima nasabah-nasabah besar. Artinya, kalau nasabah-nasabah besar ini keluar, mereka harus menyediakan dana yang besar. Itu satu," kata Jahja dalam acara Fortune Indonesia Summit 2023, Rabu (15/3/2023).
Kemudian, kesalahan SVB yang kedua menurut Jahja adalah menerima uang atau simpanan dari perusahaan teknologi finansial (fintech company) dan startup. Sebenarnya, itu tidak salah, namun Jahja menilai baik fintech company maupun startup belum stabil secara perusahaan.
"Kedua, mereka menerima dari fintech company dan startup yang tanda petik ya sorry to say masih belum stabil. Beda kalau kita bicara Unilever di Indonesia, Astra, Freeport, itu adalah sederet perusahaan yang stabil. Kalau hari ini ada, 10 dan 20 tahun lagi akan stabil terus," jelas Jahja.
Ketiga, lanjut Jahja, kesalahan SVB terlalu percaya kepada obligasi tepercaya (trusted bond), yakni US Treasury. Lantaran, risiko kredit memiliki risiko nol.
"Mereka terlalu percaya yang disebut trusted bond yaitu US Treasury, gak salah dari segi kredit risk itu zero. Tetapi yang mereka lupa mereka terima funding besar dari wholesale. Wholesale itu kalau taro duit enggak mungkin ngarep bunga kecil," ujar dia.
Jahja menjelaskan, celakanya pada saat suku bunga bank sentral AS atau The Fed naik, maka akan berdampak bagi treasury bills SVB. "Bond ini rumusannya kalau interest naik, harga bond turun," kata dia.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn menambahkan, terkait situasi SVB, saat ini kondisi perbankan nasional sangat solid. Posisi likuiditas sektor perbankan terjaga dengan baik serta eksposur kredit terhadap startup maupun kripto sangat kecil.
"Hal ini memperkuat pandangan kami bahwa suatu bank perlu senantiasa menjaga keseimbangan likuiditas," katanya saat dikonfirmasi MNC Portal Indonesia, Kamis (16/3/2023).