10 Negara dengan Utang Luar Negeri Terkecil, No 1 Tetangga Dekat Indonesia
loading...
A
A
A
JAKARTA - Saat beban utang bertambah akibat dampak Pandemi Covid-19, banyak negara yang mampu menjaga rasio utang mereka terhadap PDB tetap rendah karena kuatnya kebijakan fiskal, ekonomi tumbuh positif, dan bahkan manajemen risiko yang tangguh. Berikut 10 Negara dengan Rasio Utang Terendah Terhadap PDB di Dunia.
Kehadiran pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 membuat utang global naik 30 poin secara persentase menjadi 263% dari PDB, menandai lonjakan paling signifikan sejak tahun 1970-an. Bank Dunia mencatat bahwa kenaikan ini terutama disebabkan oleh peningkatan suku bunga, inflasi tinggi dan lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Negara maju mengalami peningkatan utang sebesar 300% dari PDB, sementara Emerging markets and Developing Economies (EMDA) mengalami kenaikan hingga 200% terhadap PDB. Selain itu penelitian tentang ekonomi negara berkembang menunjukkan bahwa utang juga telah meningkat bagi mereka, terutama karena defisit primer.
Tahun berikutnya kita kembali menyaksikan utang global masih meningkat di atas tingkat pra-pandemi. Namun, IMF melaporkan, total utang publik dan swasta telah turun 10 poin secara persentase menjadi 247% dari PDB.
Perubahan rasio utang sebagian besar dapat dikaitkan dengan rebound ekonomi dari pandemi serta inflasi yang mengikutinya. Penurunan utang publik dan swasta terutama dialami di negara maju, dengan penurunan 5% dari PDB pada tahun 2021.
Pasar negara berkembang, kecuali China juga mengalami penurunan. Namun, negara-negara berkembang berpenghasilan rendah terus mengalami tingkat utang yang tinggi terutama karena lonjakan utang swasta.
Faktanya hampir 60% negara berpenghasilan rendah telah masuk atau berisiko tinggi mengalami krisis utang. Ditambah dengan kenaikan suku bunga, biaya pinjaman telah meningkat secara signifikan, menekan anggaran nasional dan membuatnya semakin sulit bagi negara-negara untuk membayar utang mereka.
Tahun 2023, ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan pengetatan kondisi keuangan. Situasi ini agak berisiko karena pembayaran utang menjadi lebih mahal bagi beberapa negara-negara.
Kehadiran pandemi Covid-19 pada awal tahun 2020 membuat utang global naik 30 poin secara persentase menjadi 263% dari PDB, menandai lonjakan paling signifikan sejak tahun 1970-an. Bank Dunia mencatat bahwa kenaikan ini terutama disebabkan oleh peningkatan suku bunga, inflasi tinggi dan lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Negara maju mengalami peningkatan utang sebesar 300% dari PDB, sementara Emerging markets and Developing Economies (EMDA) mengalami kenaikan hingga 200% terhadap PDB. Selain itu penelitian tentang ekonomi negara berkembang menunjukkan bahwa utang juga telah meningkat bagi mereka, terutama karena defisit primer.
Tahun berikutnya kita kembali menyaksikan utang global masih meningkat di atas tingkat pra-pandemi. Namun, IMF melaporkan, total utang publik dan swasta telah turun 10 poin secara persentase menjadi 247% dari PDB.
Perubahan rasio utang sebagian besar dapat dikaitkan dengan rebound ekonomi dari pandemi serta inflasi yang mengikutinya. Penurunan utang publik dan swasta terutama dialami di negara maju, dengan penurunan 5% dari PDB pada tahun 2021.
Pasar negara berkembang, kecuali China juga mengalami penurunan. Namun, negara-negara berkembang berpenghasilan rendah terus mengalami tingkat utang yang tinggi terutama karena lonjakan utang swasta.
Faktanya hampir 60% negara berpenghasilan rendah telah masuk atau berisiko tinggi mengalami krisis utang. Ditambah dengan kenaikan suku bunga, biaya pinjaman telah meningkat secara signifikan, menekan anggaran nasional dan membuatnya semakin sulit bagi negara-negara untuk membayar utang mereka.
Tahun 2023, ditandai dengan pertumbuhan yang lambat dan pengetatan kondisi keuangan. Situasi ini agak berisiko karena pembayaran utang menjadi lebih mahal bagi beberapa negara-negara.