Bukti Nyata, Utang AS Menggunung Defisit Tembus Rp26.966 Triliun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Defisit anggaran pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali mengkhawatirkan. Lonjakan pengeluaran di bawah Presiden Joe Biden menyusul pemotongan pajak di bawah Donald Trump memperbesar kesenjangan anggaran.
Sementara, lonjakan suku bunga membuat utang semakin meningkat sehingga kekhawatiran tentang defisit mulai mengguncang pasar keuangan.
1. Seberapa besar defisit federal?
Defisit federal mencapai USD1,7 triliun atau Rp26.966 triliun pada tahun fiskal 2023, naik dari USD1,38 triliun pada 2022. Lonjakan semacam itu biasanya hanya terjadi ketika pemerintah memerangi resesi, bukan ketika ekonomi tumbuh dengan baik.
Bahkan jika dilihat dalam konteks ekonomi AS, defisit tersebut sangat besar. Angka tersebut setara dengan 6,3% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023, tingkat yang tidak tersentuh selama enam dekade hingga krisis keuangan global 2008.
Mengutip Washington Post, defisit tahunan ini diperkirakan akan terus bertambah, mencapai USD2,9 triliun hingga akhir tahun ini dan setiap defisit menambah jumlah utang publik yang sudah sangat besar mencapai USD26,5 triliun pada 19 Oktober, hampir sama dengan ukuran ekonomi.
2. Apakah itu benar-benar masalah?
Defisit besar-besaran sejauh mata memandang tampak masih bisa dikendalikan ketika Federal Reserve mempertahankan suku bunga di level nol dan membeli obligasi pemerintah AS senilai ratusan miliar dolar. Namun, dengan suku bunga federal fund yang mencapai 5%, pengeluaran pemerintah, dan pasokan obligasi yang harus dijual, bertambah dengan cepat sehingga dikhawatirkan akan membebani apa yang selama ini dianggap sebagai permintaan yang tidak pernah terpuaskan untuk investasi teraman di dunia.
Lonjakan pengeluaran cenderung mendorong apa yang disebut dengan bond vigilante, yaitu investor berpendapatan tetap seperti bank dan perusahaan asuransi yang portofolionya terpukul saat pinjaman melonjak menuntut imbal hasil yang lebih tinggi dapat menekan perusahaan dan konsumen.
Sinyal dari The Fed bahwa suku bunga dapat tetap atau lebih tinggi lebih lama dari yang diantisipasi para investor untuk meredam inflasi memicu kekhawatiran baru tentang keberlanjutan utang negara.
Sementara, lonjakan suku bunga membuat utang semakin meningkat sehingga kekhawatiran tentang defisit mulai mengguncang pasar keuangan.
1. Seberapa besar defisit federal?
Defisit federal mencapai USD1,7 triliun atau Rp26.966 triliun pada tahun fiskal 2023, naik dari USD1,38 triliun pada 2022. Lonjakan semacam itu biasanya hanya terjadi ketika pemerintah memerangi resesi, bukan ketika ekonomi tumbuh dengan baik.
Bahkan jika dilihat dalam konteks ekonomi AS, defisit tersebut sangat besar. Angka tersebut setara dengan 6,3% dari produk domestik bruto (PDB) pada 2023, tingkat yang tidak tersentuh selama enam dekade hingga krisis keuangan global 2008.
Mengutip Washington Post, defisit tahunan ini diperkirakan akan terus bertambah, mencapai USD2,9 triliun hingga akhir tahun ini dan setiap defisit menambah jumlah utang publik yang sudah sangat besar mencapai USD26,5 triliun pada 19 Oktober, hampir sama dengan ukuran ekonomi.
2. Apakah itu benar-benar masalah?
Defisit besar-besaran sejauh mata memandang tampak masih bisa dikendalikan ketika Federal Reserve mempertahankan suku bunga di level nol dan membeli obligasi pemerintah AS senilai ratusan miliar dolar. Namun, dengan suku bunga federal fund yang mencapai 5%, pengeluaran pemerintah, dan pasokan obligasi yang harus dijual, bertambah dengan cepat sehingga dikhawatirkan akan membebani apa yang selama ini dianggap sebagai permintaan yang tidak pernah terpuaskan untuk investasi teraman di dunia.
Lonjakan pengeluaran cenderung mendorong apa yang disebut dengan bond vigilante, yaitu investor berpendapatan tetap seperti bank dan perusahaan asuransi yang portofolionya terpukul saat pinjaman melonjak menuntut imbal hasil yang lebih tinggi dapat menekan perusahaan dan konsumen.
Sinyal dari The Fed bahwa suku bunga dapat tetap atau lebih tinggi lebih lama dari yang diantisipasi para investor untuk meredam inflasi memicu kekhawatiran baru tentang keberlanjutan utang negara.